Kumpulan Puisi
Kumpulan Puisi
Anggoro Saronto
Hasan Aspahani
Jibsail
Nanang Suryadi
Ramon Damora
Sihar Ramses Simatupang
TS Pinang
Kata Pengantar: Ibnu Wahyudi
Anggoro Saronto
Bulan Palguna
Engkaukah pemburu tapi dimana kau simpan busurmu, ucapmu suatu waktu
panah patah gendewa lungkrah, ibu jari persembahan pada upacara yang ia selenggarakan tanpa suara, mungkin ia terbiasa mengalirkan darah pada sungai kegelisahan, memotong satu ibu jari menemani sunyi, mungkin ia menyimpannya dalam torso diantara gumpalan payudara, menjadikan ajimat tanpa riwayat, mungkin ia menanamnya di bawah arca, menjadikannya sesembahan atau sekenang purba.
aku bukan palgunadi yang memanah setyawati, aku bukan palgunadi yang memotong jemari sendiri, aku bukan palgunadi yang melarak palguna permadi
bulan palguna, sesungguhnya aku pertapa yang menunggu supraba.
Depok, April 2003
Mari Kita Bersulang Darah!
:Nanang Suryadi Abidin
Engkau mengiris nadi, tetes darah adalah pengorbanan. Lekat pada pucat traso, mencetak magenta gugur daun
ornamen kelelahan. Darah yang dituang pada mangkuk gading mamout mengunyah sejarah orang kalah. Mari kita bersulang darah dan asin ludah! Betapa pendek hidup untuk menekuri sesat langkah. Telah kau kumpulkan jutaan kata bertebaran sepenuh kesabaran kau hisap embun pada ujung daun. Menaruhnya pada tempayan tanah tempat para pelancong mereguk lelah
dingin ubin merumrum sumsum. Hingga tubuh mengalum daun. Engkau tak sempat lagi menjelajahi kegelisahan karena telah kau ungsikan pepat mumat kepala pada pohon-pohon keterikatan. Tangan dan kaki menjela-jela penuh teriak kesakitan
Berikan aku kayu, berikan aku kayu akan kubuat sajak pada tanah basah, ucap kau sengau parau
Mari kita bersulang darah dan asin ludah, sajak telah mendarah luka pada muka kita yang menua!
Muria Ujung, Maret 2003
Miji Pinilih
Engkau pemberi tanda waktu. Saat jam-jam gamang menatap matahari kusam tertutup awan. Senja yang beranjak terlalu awal. Kegelapan memicu detak-detak waktu bergerak ke arah tempat-tempat tak mengenal detik
Hingga kau menduga-duga kapan matahari pudar sepenggalan siang. Membaca angin mengabarkan kegelisahan. Dinding-dinding tempat jam-jam telah ditanggalkan. Almanak meruyak, angka-angka berjatuhan. Angka tujuh yang menusuk lantai tanpa permadani. Warna hitam dan merah menulisi sepanjang ingatan akan kekosongan wajah lantai
Wajah-wajah teraksir dari ribuan angka. Hitam pada segenap muka, merah tepat pada mata. Menyala-nyala, matahari yang muncul dari lantai. Setiap wajah dengan dua matahari merah. Orang-orang tak tunduk lagi pada aturan detik. Mereka menciptakan waktu dari matanya. Dan engkau terbata-bata membaca sang waktu.
Muria Ujung, Oktober 2002
Rumah Kertas
melipat kertas menyerupai rumah. jemari kanak mengembara ke sembarang surga. genta tepat di atas gerbang, barisan suplir memagar angan tak lompat dari jendela. pintupintu menyembunyikan penghuni yang diam ditempatnya
engkaukah duhai, antigone. lambai hijau kenanga pada bahu asing yang memikat. dahi bercahaya, juntai helai rambut kerinduan akan serbu kunangkunang. mahkota yang dihadiahkan alam atas perilaku menciumi bunga
ambrosia, bunga olimpus hembus di mekar dada. meminta nektar, menjamu cawancawan keemasan, denting piring, wadah lilin keperakan setarikan garis seperti bintang jatuh. cahaya, tak mengenal kemarau. rintik gerimis tak menjadi hujan
sungaisungai menciumi kaki yang lelah menapak rumput. sycamore yang tak beranjak tua. lamunan menyentuh rumah kertas, angan yang terbebas. duhai antigone, jemariku menulis cerita menuju sebuah rumah.
Muria Ujung, September 2002
Pohon Badam
telah patah jemari yang kujadikan pengganti pinsil
menulis dengan darah. merah sepekat wajahmu yang birahi
kertaskertas beterbangan enggan kutulisi ia dengan gamang
daundaun berjatuhan dari atas kepalaku, mengering coklat
bagaimana aku dapat menulis pada siripnya yang getas?
kertaskertas telah jadi burung mematuki tubuhku yang mulai menjadi pohon
demi tuhan, aku ingin menulis liris untukmu!
biarkan aku menulis di dadamu. di dadamu.
sebelum malam mengubahku jadi pohon badam. pohon badam!
Depok, April 2002
Kupu-Kupu Ungu
: Jibsail
Kupu-kupu ungu pada bahu melekat sebagai tanda lahir atau jilatan lidah api neraka. Mungkin kutorehkan dengan pisau kenangan, sebagai kupu-kupu berniat hinggap pada bunga susumu
rekah pada rengkuh saat kelenjar kelelakianku bagai bius menggerus segala kisah kamasutra serupa rayap melahap halaman demi halaman menjadi serbuk segala kisah penaklukkan lelaki akan perempuan
segumpal payudara yang diam menelusuri kisah anak cucu adam. Telusuri riwayat hingga sampai pada bab nelayan terdampar pada pinggir pantai. Nyanyian anak laut pada pasar malam adalah tawaran arak beserta bantal. Ikan-ikan yang dijemur adalah paha-paha yang beradu dengan lamur lampu petromak
mungkin telah kupungut sepukang paha saat malam belum genap benar. Menjadi segumpal payudara yang diam menelusuri kisah anak cucu adam.
Depok, April 2003
Pemungut Ranting
Orang-orang datang padaku dan bertanya mengapa aku memunguti ranting kering pada rimbun hutan,
aku memunguti sisa kehidupan, kematian yang masih berguna karena kelak aku membakarnya jadi api unggun. Pada bayangnya aku masih diijinkan melamun, mencuri senyummu yang hilang dibawa angin bertahun kerinduan. Aku dapat membakar surat yang tak sempat terkemas olehmu, karena hujan telah terlanjur deras saat itu
aku memunguti jejak mengarah pada sebuah tanah lapang, dimana kebebasan kerap kali menyesatkan karena kita tak lagi berpegangan tangan. Mungkin sebuah masa pembebasan menjadikan kita mulai tahu makna kerinduan. Mungkin juga tidak, karena kita terlanjur mengemas bulan sendirian
orang-orang datang padaku dan bertanya mengapa aku memunguti ranting kering pada rimbun hutan,
aku melatih diri membaca isyarat ranting patah silang agar dapat kutemukan jejak permakluman atas kesalahan masa silam.
Muria Ujung, April 2003
Bukit Pelaminan
Kitab sekedar penghias almari pertontonkan iman dalam sorban dan jubah
“Aku akan jadi ahlinya memandu kalimat yang luncur dari madu bibirmu,”janji tubuh berkelamin lelaki
Maka perempuan itu memegang ujung terompah berjalan sepanjang bukit arafah berbekal kendi dingin, tersiar kabar hingga telinga
gurun tak akan memberi setitik air bagi luka di kerongkongannya
Perjalanan ini menuju bukit pelaminan bilakah bukan mengapa bilah pedang mesti dipersiapkan bagi segerombolan penyamun gurun
tetapi apa yang mereka rampas dari ampas rasa sakit dan ketakutan yang telah bulat menjadi keberanian tanpa perhitungan?
“Sesungguhnya aku perempuan pemandu bagi lelaki yang tak pernah benar-benar menyimpan kitab dalam dadanya.”
Depok, Mei 2003
Seperti Kisah Untuk Alina
“Aku punya sekantung kerang, air laut negeri seberang,” tulismu pada surat
Aku punya batu kehijauan, kima, karang, dan pasir pakumbahan
“Aku penyuka senja, angin, jingga, serta temaramnya,” tulismu pada surat
Aku punya gunting serta dinding pucat, dan aku perlu sedikit perekat
Mungkin kita perlu duduk pada pantai yang sama pada senja yang sama, dan mulai menggunting langit seperti kisah untuk alina.
Muria Ujung, April 2003
Rumah Pasir
rumah kita adalah rumah pasir yang dibangun semasa kanakkanak pada pantai pulau lampau
berwarna putih mengkilat terkena semburat matahari walau sesungguhnya agak kecoklatan seperti kulit yang menantang panas matahari sepanjang siang
halaman kita adalah sepanjang pantai tempat kita jejak cerita akan tulisan aku mencinta senantiasa hilang tertelan buih penyerta ombak
tak ada keabadian sedemikian kau menangis saat rumah pasir
terterjang ombak ganas bulan januari
namun jemari kita selalu mencari jalan membangun rumah pasir seperti jemarimu mencari rumah keong hiasan dada dan telinga serupa leontin mas kawin
waktu merubah garis pantai semakin menjorok ke laut, merubah tubuh kita semakin tua seperti cinta yang alpa
dan kita bukan lagi kanakkanak yang tak pernah letih
menjaring mimpi.
Depok, Mei 2002
Tentangmu
Telinga yang tak lagi setia, meniupkan cerita tentangmu. Irisan kecil peristiwa serupa kaca menyayat, setiap tetes darah adalah gelisah
memetakan arah lewat isyarat-isyarat kaum buta. Tasbihkan aku sebagai peminta. Melayarkan doa-doa dalam perahu menuju subuh pelabuhan
Engkau Kekasih, luruhkan cinta pada sungai-sungai kesangsian, muara laut pembebasan. Tersekap aku dalam dekap perasaan tak bermuara. Cadik-cadik tercabik, kayak-kayak terkoyak, perahu-perahu melulu tentangmu
namun dermaga berkabut tak pernah menyambut perahu bersauh. Tikamlah cantik, tikamlah badik, agar luka ini senantiasa bercerita tentang kesedihan menuju dermagamu
Layarkanlah aku ya Kekasih pada aliran sungai-sungai keyakinan, muara laut pertautan. Menuju dermaga rasa ikhlas atas segala buruk rupaku.
Muria Ujung, Februari 2003
Sebuah Pena
Aku melingkari sunyi saat nyanyian seorang cenayang berakhir
kartu berikut telapak kubungkus dalam sekotak pandora. Tak ada yang tersisa kecuali rasa aneh karena lentera ada di ujung jemari
namun nyanyian kadang berubah jadi segulung gelombang
aku menjadi ikan tanpa insang terdampar pada pasir menggelepar-gelepar
sebuah telaga tercipta dari airmata
namun keramba menjaring tanpa tuba, ditiup nafasku ke ujung pisau saat sayat mengiris tipis sesisik igau
aku menjelma pisau yang mengetam sehelai kertas
mungkin seharusnya aku menjadi pena, agar dapat kutulis tiap lembarnya menjadi sajak cinta.
Muria Ujung, April 2003
Terkadang Kita
Sebatang rokok pernah kuselipkan pada asbak di meja perjamuan, lantas engkau mengangkat gelas
sebagai perayaan kebebasan pergi dari kepungan asap kemarahan
kita masih terjebak pada makanan pembuka namun kita telah mabuk dan meminta hidangan penutup
Demikian terkadang kita membenci agar punya alasan untuk pergi.
Muria Ujung, April 2003
Titik
Tentara-tentara yang berjajar sepanjang pelataran. Serupa barisan semut merah, semerah amarah. Kirmizi pekat ini melekat pada luka di mana luka ditusuk dengan bayonet menyeret-nyeret ke penghujung sepi
Padam amarah menyepi huni. Runtuhkan separuh bangunan. Musim gugur menjatuhkan luruh daun pada sela-sela tingkap jendela. Bau tanah dari retak ubin, meruap luka yang minta disembuhkan
Dinding-dinding sedingin wajah kematian. Kusen tak berpintu menyerukan kepergian ke lain dunia seperti tubuh-tubuh menjanjikan cerita tentang kehidupan
Seseorang mengabarkan kematian pada rumah-rumah sepanjang perjalanan, menuju suatu titik akhir. Sebuah rumah peristirahatan panjang.
Muria Ujung, Desember 2002
Sepi
Tetamburan di dadamu menguap, lenyap
sewaktu hari membasuh jadi jam mati
kesunyian rasa membiru, telaga yang menelan sepi
sebutir air jatuh sebagai jarum menghunjam lantai
Nyaring. Lantas kudekap detik agar tidak mati
Jakarta, September 2001
Berita dari Medan Pertempuran
Akan kuceritakan kisah pedih sepanjang teluk. Mencermin wajah akan luka tertusuk katakata yang dikirim dari peperangan. Aroma yang tak kunjung usai, dari belahan dunia yang tak terjamah khayal
Senandung duka yang diterjemahkan sebagai fotofoto masa mendatang. Belum tertata selagi album pernikahan menanti kekasih pulang. Kirimlah kartu pos ke alamat yang pernah kau singgahi selagi penat
Rambutku mengurai, di setiap helai terselip cemas akan beritaberita kematian. Serdaduserdadu memanggul senjata, barisan kerinduan tak tergantikan. Maka kuciptakan penantian panjang selama lamunan tak diungsikan keluar dari medan pertempuran.
Jakarta, September 2002
Sedemikian Kulihat Tuhan di Matamu
Pada meja perabuan papa, aku berdusta
Entah wajah siapa yang kukenakan, karena seringai kuinapkan
pada rumah tetangga
Berkiblat aku pada menaramenara kesepakatan, merebah
sujud ketakutan akan rasa kehilangan
Aku musafir di dalam mimpi. Telah kujungkirbalik logika. Mengembara hingga tundratundra rumahrumah persembahyangan, jamah halaman pembuka tapi kuakui memamah tanpa cela
Engkau perempuan oase padang pasirku. Aku menghamba pada teduhmu.Sedemikian aku melihat Tuhan pada matamu!
Jakarta, Juli 2002
Lumut
Belukar itu merambati pohon jati seperti kakiku yang tertanam pada rimbunnya hutan. Lumut itu hidup di pokok kayu bahuku yang telanjang
Binatangbinatang lalu lalang, mereka pikir aku sejenis perdu
Aku belukar yang melingkari sepiku sendiri akan ikrar tak terucapkan
Seekor ulat punguti serpihserpih daundaun tua masa laluku
Aku masih harus menyamar
Depok, Juli 2000
Sebagai Zulekha
Kata-kata jejarum praduga. Meluncur dari bibir prasangka. Merusak pondasi setengah jadi. Kontur tanah tak selentur kata-kata, berjatuhan pada rumput tak tersiangi. Lembab tanah menggambari pondasi, lumut dan semen retak. Bersak semen membatu kelabu, wajah kemarau percintaan
Pohon tumbang adalah tonggak sesaji, menyan, dan mawar mati. Bersemedi, memuja buah dada serupa kuldi. Tak tersentuh, tak
Arca sesembahan pada ujung belati: “Cintai aku seperti tuhan memintamu!”
Kularikan syahwat pada tawar kidung-kidung malam hari. Kitab-kitab memuji perempuan dari gurun-gurun kerelaan. Tak pernah dipintanya lelaki melata seperti ular berderik, garisi gurun dengan sisik. Angin akan mengaburkan tafsir keliru, menempatkan kita sehakekatnya
sebagai zulekha melekat pada yusuf, kesungguhan sesungguhnya.
Muria Ujung, Maret 2003
Setengah Kuldi
“Di dadamu yang kuyup
kau tangkup kedua belah telapakmu
pualam susumu
madu dan mentega sungai Yordania.”
Aku memberimu kehidupan lelakiku
saat kau suap tubuhku
Rabuk kesuburanku ialah benih semu
biji-bijian pohon kuldi punyamu
Kenikmatan yang kau rampas
dari perjanjian jaman batu
dimana lontar-lontar berkisah lingga yoni
kau nikmati kini
pada situs-situs pemuas birahi
Kekasih, aku hawa hambamu
berbagi setengah kuldi denganmu.
Depok. Desember 2000
Piano
Kesunyian perempuan
terbungkus dalam gaun berenda
jauh tersembunyi
dalam lipatan dadanya yang diam
Pengantin perempuan
yang menjemput bahagia
namun garis pantai menumpuk peti,
koper, dan piano
Payung merah tua peneduh luka pertama
pengantin pria
terlambat ke pemberkatan karena musim panen telah tiba
Camar berputaran seperti ingin meminjamkan
sedikit kebebasan
namun angkuh tebing dan pekat hujan
memenjaranya dalam sepi
Piano hanyalah pajangan seperti cermin bulat
jaman Victoria, desis pengantin pria berjas gabardin
“Piano adalah suaraku. Kau hanya akan dapatkan tubuh pucat dan layu. Tanpa getar samar dari balik korset violet.”
luka kedua, piano yang ditinggalkan
Dari atas bukit hujan menderas
piano dan garis pantai memandang ganjil ke arah bukit
nyanyian beku karena tuts-tuts tertutup terpal
“Piano adalah nyawaku. Tubuhku terhenti antara pantai dan hutan. Tubuh palsuku yang akan mengabdi sebagai mempelaimu.”
Pria itu menikahi kayu mawar. Setengah belahan jiwanya tertahan
pada pantai.
Muria Ujung, Mei 2003
Paranoid
orang-orang menjadi gila saat mereka sadar mencintaku:
maka dibangun kastil pada tebingtebing jiwa labil, pohonpohon pinus tusuk langit melingkar menara, sebuah jendela isyarat yang ditutup
namun tilam malam meniupkan namaku, berdengingdenging penuhi ruang peraduan,
maka disumpal telinga dengan kapas pencegah lirih hela nafas sekalipun, mereka pikir derita cinta akan berakhir
namun mereka punya mata, menangkap gerakku pada gerai tirai peraduan, menari seperti pelacur jantan
dan diayunkannya pedang, koyak kelambu kalbu
dengan penciuman mereka cari jejakku, para pencinta yang birahi hunus belati
aku menari menanti mereka seperti hamba sahaya yang dilecuti punggungnya, merangkak, mengerang layaknya binatang jalang
mereka mengurungku seperti segerombolan singa betina, aku berubah menjadi menjangan
aku ingin menjadi apa yang ingin mereka jadikan
mereka menerkam, birahi yang dipendam jamjam jahanam. tubuh menjanganku terkoyak delapan, masingmasing mengerat hangat tubuhku untuk diseret pulang
mereka pikir mereka menang. aku berubah jadi bakteri mengalir di aliran darah mereka
orangorang menjadi gila setiap bulan purnama, mereka bermimpi bersetubuh denganku.
aku tertawa dalam tubuh mereka: mereka beristimna
Jakarta, Mei 2002
Sebuah Kota Yang Dicoret Dari Peradaban
Sebuah kota yang dicoret dari peradaban bernama kepastian. Telah kujelajahi petapeta kuno dengan mata lelah, hingga halusinasi menyeretku ke abadmu
Tak cukup kalimat dalam lontarlontar perselingkuhan tersembunyi di bawah altar, hikayathikayat negeri istambul tentang loronglorong keraguan, papyrus yang bercerita selinap perempuan terbungkus pengabdian ke piramida
Namun tak kutemu titik kota bernama kepastian. Melanglang angin ke tenggara menjenguk pedih ribuan penantian bernama ketidakpastian. Menemu wajah, mengambang dalam kolam serupa teratai. Tak tersentuh tanah tempat kaki berpijak
Melangit, setelah penjelajahan pada bumi tak jua menemu jawab pasti pada abad manapun. Namun langit tidak memberi isyarat kota bernama kepastian. Maka kuciptakan kota itu dalam peta dadaku, semalam.
Muria Ujung, September 2002
Dimanakah Dikau Kekasih?
Kalimat-kalimat telah direnggut masa yang terlewat, hanya tersisa sebuah kata seperti tanya tentang rusuk. Kuletakkan pada tubuh yang mana, yang telah tiba, atau tak terjamah mata
menyambut dadaku pada tahun ke berapa? Tak tahukah kau, telah tersangkut aku pada ranting-ranting, menjatuhkan aku seperti daun-daun tua penjemu. Menjadikan aku masa lalu. Menulisi tubuhku dengan huruf-huruf lama. Memandang wajahku sebatas kenangan
Aku album foto tua berwarna sepia. Buku harian yang telah ditinggalkan pemiliknya. Aku serpihan kecil remah-remah kata cinta. Tak tertera namaku pada kening, atau tergurat pada telapak. Aku mencarimu
terjatuh pada belahan kota manakah dikau kekasih? Pada pinggiran sungai aku membaca sajak kesepian. Tapi tak kubaca isyarat bunga ilalang liar di sekitar. Pohon tanjung sepanjang trotoar menjatuhkan bunganya. Putih dan kecil. Tak kucium harum waktu mendatang. Kolam tengah kota menyampaikan salam teratai merah. Namun tak menjamah jantungku
Telah diikat tubuhku pada seseorang dengan tali merah tatkala di surga. Tak akan tali terlepas walau badai menghempas. Demikian aku membaca percaya. Maka aku menanti sesabar bulan berjumpa matahari
Bulan menjanjikan lelampu malam seperti matahari menjanjikan cahaya siang, tapi kerap kali cuaca menggelapkan alam. Aku meraba-raba dalam diam. Kecemasan merayap, para pengantin perempuan telah terjemput waktu
Aku menjadi angin berhembus, pada setiap kota kutitipkan kabar tentang keberadaanku. Agar kau baca isyarat angin dan melayang menujuku. Namun tubuhku tak berbau, tanpa suara, cuma desir lirih. Dapatkah kau mendengar tiupanku pada setiap lilin yang dinyalakan perempuan, saat mereka meminta belahan jiwanya? Engkaukah itu yang khusuk memintaku pada kain panjang,
segenang air di matamu danau bercahaya kemilau. Bertaburan pinta, tetaburan bintang. Katup matamu menjatuhkan embun pagi. Menetes, jatuh ke lantai, ke tanah, ke sungai, ke laut. Menjadi hujan, menjadi hujan. Beri isyarat kapankah itu
karena aku angin menggiring air matamu yang telah jadi awan. Kita jatuh pada saat yang bersamaan, pada tempat yang sama, pada belahan hati yang sama
Akan kau temu pukau hatimu, padaku. Hanya padaku.
Muria Ujung, 2 Februari 2003
Lelaki Berwajah Entah
:Anggoro Saronto
Lelaki berwajah entah, merajah tapak mengarah pijak. Dunia tergenggam dalam genangan darah. Demikian resah samarkan wajah
manusia tanpa penutup kepala, tapi ditutupnya mata dengan sekelat. Seruak semak-semak duri, goresi bahu kaki. Kaki adalah mata angin, naluri adalah peta. Jelajahi sudut-sudut keterasingan, perangi segala kemustahilan
takik kota runtuh dengan tusuk kundai, mencetak sajak pada roboh tembok. Gundukan puing, pecahan beling, kepulaga busuk, buruk wajah terbentuk. Pohon pinus mengaksir matahari langsir, bayang hitam itu luka yang terpendam. Matahari mencerahi tanah, keriangan yang diraup sepenuh khilaf
Lelaki berwajah entah, merajah tapak mengarah pijak. Tak menakar, akar di rambut berguguran. Kesunyian yang dititipkan pada punggungnya adalah keharusan. Manusia hanya penyampai kegelisahan ke penghujung nyawa. Tak dapat menolak telapak, seperti gulir almanak.
Muria Ujung, Maret 2003
Anggoro Saronto, lahir di Jakarta, 27 Februari 1973. lulusan fakultas ekonomi Universitas Brawijaya Malang ini sedari kecil gemar menulis dan menggambar. Kegemarannya menggambar mungkin pudar sejalan dengan bertambahnya usia, namun jalur menulis tetap ditekuni. Pernah aktif di organisasi pers mahasiswa, selepas kuliah memilih pekerjaan yang tak jauh-jauh dari menulis. Ia pernah menjadi reporter, announcer, scriptwriter, serta editor. Saat ini masih aktif sebagai Redaktur Naskah Lakon www.cybersastra.net, dan pengurus Yayasan Multimedia Sastra. Karya-karyanya termuat di situs cybersastra.net dan milist penyair@yahoogroups.com. Selain itu, ikut dalam antologi: Cermin Retak (1993), Tanda (1995), Noktah 11 (1998) , Graffiti Gratitude (2001), Graffiti Imaji (2002), CD Puisi Cyberpuitika (2002). Beberapa tulisannya juga termuat dalam Jurnal Puisi, Sinar Harapan, Plot. Alamat: Jalan Muria Ujung Rt 06/ Rw 06 No.13 Jakarta 12970
Hasan Aspahani
Ketika Kelak Kau Datang Ziarah
SEPANTUN kasih yang dulu pernah kau tolak
aku tak tahu menyagang kata yang nyaris runtuh
selantun tangis ke hulu meriak menganak
apa guna pasang, bila ombak lemah lumpuh
KUKUBUR aku di liang luka-luka-lukaku
kutegakkan nisan yang dulu dipahat penyair
dan sajak ini, kubacakan kutalkinkan, lalu
kelak kau datang menziarahi duka yang kuukir
batam, 2002
Sebelas Gurindam
KETIKA kau tulis sajak muram
ketika itu pula mata kata memejam
pabila tak kau tulis sebait pun sajak
ada kata yang diam-diam hendak berteriak
saat kau lahirkan sajak sebait
sejak itu kata mengenal jerit sakit
walau tak datang sajak yang kau undang
jangan kau usir kata asing yang datang
kau sembunyikan di mana sajakmu?
selalu ada kata yang rindu memaksa bertemu
ada sajak yang kautuang ke gelas
siapakah yang mereguk kata hingga tandas?
jika kau paksa juga menulis sajak
kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak
jangan ajari sajakmu mengucap dusta
sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata
biarkan sajakmu dicaci dinista
karena maki cuma kata yang cemburu buta
di mana kau simpan sajak terbaik?
di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik
pernahkan sajak meminta lebih darinya?
kata berkata: ah aku cuma kata...
Hingga Meluruh Seluruh Keluh
AKU mencari harapan
yang dulu pernah kita selipkan
di antara tanggal-tanggal,
merah hitam yang nyaris gagal
ADA yang hampir bisa kulakukan
menebak tangis setampung tangan
tiba-tiba saja jatuh angin
menyibak habis seluruh bulan-bulan
ADA yang hendak kusimpulkan
: sebuah angka yang tegas dilingkari
Maharana yang kau tunggu (atau kau hindari?)
ADA yang tak ingin kulupakan
hingga meluruh seluruh keluh
ketika kau rangkum sekuntum senyum
Batam, 82002
Seperti Perangkap pada Jejaring Galagasi
SEPERTI perangkap,
pada jejaring galagasi
lihatlah!
lidahmu bergetah, dekapmu basah
aku yang tak takluk pada kutuk
kini lunglai dalam peluk
kini bertekuk tersebab bujuk
pada kerlip matamu
seribu kelekatuku nyerbu
pada telanjang dadamu
selalu kunazamkan rindu
seperti tersekap
dalam kepompong waktu kupu-kupu
aku tabah menunggu
menggerinda seluruh ingatan
tentang pukau warna-warnimu
: hingga tiba saat itu
ketika kau buka seluruh
rahasiamu.
batam, 772002
Singgah Mengunyah Sirih Rindu
JAM yang gigih, membilang
matahari yang perih, mengulang
bumi yang ringkih, sekarang
aku yang tak juga letih
mengerang
mencarang
menepuk-nepuk dulang
mencari beranda rumah-Mu
untuk sekadar singgah
mengunyah
sirih
rindu...
batam, 2252002
Drama Pertemuan Bapa Adam dan Bunda Hawa
I
INI penantian yang sempurna. Bertahun-tahun Hawa menunggu
di sana. Tanah subur datar berbagi sisi dengan telaga. Ada dua
unggas berenang riang di beningnya. Kelak kita menyebutnya
sebagai sepasang angsa. Sepasang makhluk indah berbahagia.
II
INI kesetiaan yang tiada tara. Hawa teramat yakin, Adam akan
tiba, kembali jua hanya kepadanya. Ada sarang yang hangat
di sela rumput tinggi di tepi telaga. Ada tujuh telur yang selesai
dierami, lalu menjelma tujuh makhluk mungil lembut kuning muda.
HAWA serta merta merasa ada yang hangat dan tumbuh di dalam
rahimnya. Rindu kepada Adamnya tiba-tiba makin mengada. "Aku
terlalu mengada-ada?" Tidak, dihalaunya sendiri keraguannya. Lalu,
segera dipetiknya sehelai daun terlembut, dan menjeratkannya ke
pinggangnya. Menjaga rasa kasih yang pertama. Kelak dari rahim
yang terjaga itu, lahir suku-suku dan bangsa-bangsa.
III
INI pertemuan yang tak terperi indahnya. Sore nyaris saja senja. Langit
tanpa awan, kecuali sepotong yang bergegas lari ke utara. Telaga seperti
beku. Angin enggan menyentuh permukaannya. Dan mekarlah semesta bunga.
MENYAMBUT Adam tiba. Ia tak membawa apa-apa, kecuali setangkai bunga
berduri yang tak sengaja dipetiknya. Itulah mawar yang pertama. Itulah
persembahan yang pertama. Hawa menciumi segar merahnya, tersebab
wangi dan sesak bahagia di dadanya. Lalu keduanya meneduhkan letih
di tempat yang paling terlindung. Waktu seakaan berhenti mengabadikan
pertemuan yang hanya dicatat oleh diam itu.
DAN Tuhan, yang tak bisa menahan bahagia, nyaris saja memutuskan
untuk memerintahkan Adam dan Hawa kembali ke surga. Nyaris saja....
Apr 2003
Komik Hitam Putih
I
percakapan kosong
suara angin
beri warna senja
II
oh, sepinya
bayang kelelawar
menabrak bulan pudar
III
siapa menjerit?
aku hanya menahan rintih sakit
siapa mengaduh?
tak ada, langkah menjauh
IV
gerimis hingar, dingin memijar
bersabung gelegar, gigil kertas gambar
V
terlalu lekas malam
terlalu gegas pejam
oh, tak aus juga geram
membatu di dasar jeram
VI
betapa tebal gundah
pada komik yang sempurna menyimpan resah
hitam putih yang tak sudah-sudah
VII
kembali, percakapan kosong
suara angin
senja tanpa warna
batam, 21402
Duka Yang Tekun, Pada Sejumlah Pantun
meraba-raba nadi bumiku
mencari detak jantung gempa
gemuruh tangismu di dadaku
lambai lara nyaris menyapa
hujan menggarisbawahi selasa
matahari jingga, teramat magrib
bukan, bukan saatnya mengakui dosa
matamu senja, duh lah sudah nasib
kala kelelawar merayakan kelam
ketika burung hantu siap berburu
usia menergmu, "selamat malam"
jangan menjawab, jangan menggerutu
dangauku beku, kabutmu kuyup
Bapa Ayub, adakah doa yang lebih sayup
yang mengembalikan darah ke luka
yang mengekalkan tabah ke duka
duhai penyair yang mengundang maut
seerat apakah duka berpaut?
"genang air mata seluas laut,"
jawabku. Kau tak lagi menyahut
Batam, 032002
Kaligrafi Konsonan
TELAH kukirim padamu
kaligrafi huruf mati yang
menyimpan bunyi. Sebab
katanya, sepi telah lelah
sembunyi.
Apr 2003
Sebab Aku tak Ingin Salah Lagi
adakah yang sebenarnya ingin
kau katakan, batu?
adakah yang sesungguhnya hendak
erat kau tahan, hujan?
adakah yang mestinya tak
kau sembunyikan, malam?
aku bertanya, sebab tak ingin lagi
salah menafsirkanmu ke dalam puisi
Batam, 27/2/2002
Anakku Menggambar Perang
PIJAR bom yang jatuh entah di mana di kota mimpi indah itu
berwarna hijau sesegar seledri menggairahkan. "Wow, lihat
bentang pemandangan yang sangat memukau, bukan?"
LANGIT bergembira, dikepung kepul asap jingga. Di sela-
selanya, percik sinar mortir baja. "Ah, indahnya!" Seperti
ada paduan suara, dentum bersahut dengan gema-gema.
KAPAS dan perban putih mencium bibir-bibir luka, ada
bekas darah di tengahnya. "Hmm, bayangkan cantiknya!"
Mahkota sempurna mawar-mawar, merekah segar mekar.
LALU anakku menunjukkan kertas-kertas itu padaku.
"Abah, kayaknya ada yang salah pada gambar-gambarku..."
(Oh, anakku, bagaimana lagi aku harus membohongimu).
Apr 2003.
Sebuah Komik Perang
DENGAN gelisah yang tak nyenyak, berkelambu
asap dan peluru, aku mencari kata yang tepat
untuk efek suara yang hebat, desing dan dentum,
suara bom. Juga suara tangis, yang bukankah sama
untuk semua bahasa?
AKU sedang merancang sebuah komik perang.
KURUJUK saja buku Superman, juga dongeng Lampu
Aladin yang kudengar pada malam kesekian dari cerita
seribu satu malam. Tak ada lagi cerita raja yang
lupa membunuh istrinya. Cuma bualan entah tentang minyak
entah cadangan dinar dan dolar, lalu dengan itu alasan
pembunuhan pun diberi stempel pengesahan: lakukan!
KOMIK ini kubatalkan saja, daripada cuma sia-sia.
April 2003
Restoran Yang Lain, Lapar Yang Lain
HAUS terasa kian memekat di leher
ketika tiba-tiba kau suguhkan gelas
padahal aku tak tahu apa yang jendak kau tuangkan kali ini:
kemaraukah? atau sebuah igau
SETELAH mengunyah potongan duka
makan malam ini tak pernah berakhir
sebab pada serbet yang menyeka darah di bibir
terbaca alamat restoran yang lain
BERABAD rasanya
bertatapan dengan rasa lapar
di meja tak bernomor itu, dan
di piring yang sejak tadi kosong
kugambar denah penculikan
di mana kau hendak kusembunyikan
Batam, Agustus 2000
Belajar Memasak
KAU suguhkan untuk siapa resah itu?
tak akan ada tamu - seasing apapun -
tak akan ada tamu. semak di halamanmu
kau hampir lupa, pernah ada taman di situ.
''rumahku,
rumahku,
berapa alaf lagi
kau penjarakan siang malamku.''
setelah memasak semangkuk harapan
lapar telah jadi asing, di hati
detik detak jam mengabarkan sisa waktu
kau harus pergi mencari letih dan haus
di luar pagar rumah, di luar langkah.
''menu itu,
menu itu,
siapa dia yang
mengatur untukku.''
setumpuk sejarah kotor, di dapur
kau mesti sempat membasuhnya, sebelum
dipecah oleh waktu, dan
dikunjungi kecewa sepejal batu.
''sebelum senja,
sebelum senja,
tunjukkan padaku
arah sinar pintu.''
Keroncong Pemakaman
PULANG dari pemakamanmu, aku
membawa sekepal lempung
bekas galian liang kuburmu.
Biar beginilah kukenang kesedihanku.
Dulu kita suka menempa mainan
bersama. Gumpal liat lalu jadi apa saja:
hiu, raksasa, huruf X, tentara, biji mata,
kaki kiri, apa saja (kecuali bunga-bunga).
Pulang dari pemakamanmu, aku
melihat langit, ada banyak
sekali julur bentang benang
tanpa layang-layang.
Mungkin beginilah cara engkau
menegur kemuramanku.
Ada sisa kertas minyak, buluh
belum dipotong sama panjang,
lem kanji mengering, eh ada
yang putus (tak sempat mengerang).
Pulang dari pemakamanmu, aku
pulang ke rumah pantai, rumah yang
mengasuh anak-anak imaji kita,
ombak kembali ke laut, pasir
menggambar sendiri: bentuk-bentuk
yang amat kukenal, tapi kini
tak lagi sepenuhnya kumengerti.
Jejakku jekakmu, di sana kejar mengejar.
Mar 2003.
Keranda di Kolong Rumah
AYO, mari kita bunuh diri!
JANGAN kau anggap serius ajakan ini,
kita toh sudah berkali-kali mati?
Saat itu kita belum siap dengan puisi
hanya sempat nulis janji saling ziarahi.
MARI kuajak lagi: Ayo, main mayat-mayatan!
ADA banyak keranda di kolong rumah,
tempat favorit untuk sembunyi dari penagih cicilan umur.
Di sana sering juga kita telanjur tertidur.
Sampai terjaga, tiba-tiba, dibangunkan hidup yang ngelindur.
AYO, kita terus terang saja!
MANA yang lebih OK: hidup pura-pura atau mati sebenarnya?
"Ada pilihan ketiga," katamu, "yaitu pura-pura yang sebenarnya..."
Kita ngakak, dan sejenak benar-benar jadi lupa
ini kuburan umum, ada tanda disana: dilarang pura-pura tertawa.
Mar2003
Bahasa Paha Ludah Buaya
BAIKLAH kita bicara dengan bahasa paha
ada bekas parut di sana, sisa luka ketika
belajar naik sepeda, di lidahku juga
ada kunat yang sama, kau tak mendengar
kuucap sakitnya, kita sudah bisa bersepeda,
tapi sampai sekarang kita tak juga
bisa bicara sebenar-benarnya, kecuali
dengan bahasa paha.
BAIKLAH kita bicara lagi dengan bahasa paha
ada seksologi ngangkang dalam tas sekolah,
mari kita belajar menangkap buaya, kita
murid abadi yang tak bisa lulus ujian, ketika
meneken ijazah kita malah sudah pandai melata
dan jadi pencinta carnivora, mengenal segar daging
yang hidup di lidah kita, juga bau pangkal paha
BAIKLAH kita bicara dengan bahasa paha saja
nilai-nilai pelajaran kita sudah didongkrak,
kita pandai membuka paha dan kita boleh bangga:
mari kita tes kehamilan saja, mari buka paha
siapa saja, ada urine dan sperma mengalir jauh
sampai ke paha siapa saja, ada buaya yang netes
air ludahnya: kita!
Mar 2003
Aku Bertamu ke Rumahku Sendiri
AKU bertamu ke rumahku sendiri
''silakan masuk,'' kataku.
''di sini sejuk, ya,'' kata tamu
mengusap keringat yang tak henti
membasah setelah sekian lama mengembara.
''tapi, aku tak mengenalimu.
sebenarnya kau ingin bertemu siapa?'' tanya tuan rumah
mengasingkan sorot mata.
''ah, jangan galak, saudara.
aku hanya ingin menunggu telepon
dari masa lalu kita.''
PKU, 21501
Hari Sobek Lembar Demi Lembar
SEGEGAS februari selekas januari, di ujung
kalender: desember nunggu teramat sabar
merayakan keusangan waktu, lembar demi
lembar (tanggal yang tak sempat tergambar)
ia tertibkan debar, ia rapikan gentar
ia benci kalender -- angka-angka tak terbagi --
yang angkuh sungguh mengulur-ulur umur
ia dengar gemetar sobek hari-hari, mengingatkan
dus merahasiakan bilangan hitung mundur
begitu ngantuk, ia tak ingin tidur
Feb2003.
Di Ruang Tunggu Dokter Kandungan
TANGIS yang kutahan di mata
merintih minta kelahiran,
ini kandungan sudah cukup bulan
TAPI, ketuban air mataku
telah habis gugur
tembuni duka pun telah kukubur
dalam rahim waktu yang tak lagi subur
AKU bisa tabah kini
sampai tiba giliranku beranjak
dari ruang tunggu ini
Batam, 25-26 Oktober 1999.
Kenangan Berwarna Hijau Tua
ia datang serentak hujan, bunga mayang yang
luruh bersama setelah penyerbukan, dengung lebah
riuh bilah-bilah, rumput ditebas rebah, aih
rasanya tak cukup telinga mendengar dua belah.
(yang lebih megah dari konser sederhana ini, adakah?)
ia datang bersama arus sungai yang menuding ke wajah muara
kesanakah mengalir semuanya? dulu kutanyakan pada
anak-anak udang galah, jawabnya: tak perlu kau bertanya,
dulu kutanya juga pada angin lincah, jawabnya: tanyakan
saja pada akar kelapa, lalu kutanya pada tanah yang tabah,
jawabnya: sudahlah, nanti kau akan tahu juga.
(aku tidak bertanya pada laut jauh yang mengirim pasang waktu subuh)
masih saja, ia datang bersama hujan, bunga kenangan
yang tak mau luruh, menggenangkan aku ke tanya tak bermuara tak berhulu.
Feb 2003
Translasi Pinta Pintu
jangan rusakkan, biar saja jaring laba-laba
itu memerangkap angan inginku, sampai
kaudengar aku berkata: lihat! ada juga
yang berumah padaku yang sekadar pintu
biar saja bangkai cecak di celah engsel itu
mengeringkan lupa lalaiku, jangan lepaskan,
sampai kaudengar aku berucap: lihat! ada juga
yang mau berkubur padaku yang sekadar pintu
feb2003
Translasi Kesadaran Koran
kematianmu telah kukabarkan di halaman depan
di sebelah tawaran jasa pembesaran alat kelamin: sebuah iklan!
tak ada, tentu tak ada yang berduka, sebab di bawahnya
ada berita tentang pemerkosaan, dan TKW yang
jeritannya jadi kutipan: "ribuan aku terjaring pelacuran!"
Tuhan?
ah, setahuku, Ia tak pernah jadi langganan, tapi
kemarin Ia janji akan mengirim surat pembaca
(sama denganmu, Ia hanya mengajukan keberatan)
Feb2003
Translasi Jeritan Jembatan
jurang dan tebing ini
sudah kubuat tak punya arti
kalah dengan makna kata tabah
yang kutanam di dada dua tebah
di sini, aku tak pernah putus berharap
: suatu saat kelak pasti ada
engkau yang mau singgah
lalu berbagi kisah rumah,
bukan sekadar meludah
atau menumpah sampah
yang tak pernah sempat kuajukan
padamu, adalah sebuah tanya: kapan
aku bisa ikut kau seberangkan?
Feb2003
Our 1'st Number Book, Shiela
- bersamamu, aku kembali belajar
cara-cara membaca-
angka 1
ya, ada sebuah ceri merah
di halaman pertama, di kebunku
dulu tak ada, karena di sana
cuma ada semak merambat
berbuah kuning, yang kalau kusebut
pun namanya kau tak akan tahu, yang pasti
buah itu bukan ceri, dan tak cuma sebuah,
dan warnanya bukan merah.
angka 2
ada kolam kecil di kebunku dulu
tempat dua kodok hijau
saling menghitung, "aku satu,
dan kau dua," kata kodok pertama.
"tidak, aku satu dan kau yang dua,"
kata kodok lain yang juga ingin
disebut sebagai kodok pertama.
angka 3
nah, satu sikat gigi ini untuk siapa?
"soalnya aku sudah punya, dan yang dua
untuk kodok hijau yang tadi ada
di halaman dua."
tunggu dulu!
tunggu dulu juga!
Kita kan cuma mau bilang, sikat
giginya ada: tiga ha ha ha!
angka 4
empat ekor bebek gemuk
empat ekor bebek gemuk jantan
(aku bisa ingat dari warna sayapnya)
apakah mereka perlu diberi nama?
tidak mereka perlu diberi bebek betina
supaya mereka bertelur, dan supaya
mereka tidak berkelahi, nanti kita
susah menghitungnya...
angka 5
apalah lima angka yang istimewa?
apakah tomat buah yang istimewa?
lima tomat
yang enak dibuat jus
tak perlu diberi nama
karena dia sudah punya
: jus tomat namanya!
angka 6
enam anak ayam
kita tak tahu jantan atau betina
semuanya berbulu lembut seperti sutra
di mana induknya?
kataku, "induknya mengeram empat telur lagi."
kau bertanya lagi, lalu aku jawab dengan nyanyi
"tek kotek kotek jambul...."
angka 7
bagaimana memomong tujuh kelinci?
gendong saja satu per satu, mereka
tak pernah saling iri
pangku saja satu per satu, karena
mereka tak pernah merajuk, karena
mereka tujuh ekor kelinci
angka 8
"delapan jeruk orange, bisa
jadi berapa gelas jus?"
kau kah yang bertanya? " maaf,
aku sedang mengenang jeruk nipis
yang tumbuh di antara pohon kelapa
burung keruang bersarang di salah satu
dahannya. aku tak pernah sempat
menghitung berapa telurnya. aku tak berkenalan
dengan angka delapan di sana. juga
tidak di buku pertama yang memang
tak pernah aku punya.
angka 9
delisi stroberi; sembilan biji
ah, terlalu banyak buah asing
di buku ini.
lalu angka nol ini, Abah?
dari mana datangnya bilangan
yang asing ini?
feb2003
Jibsailz
Dada
( mimpi pertama )
bermainlah di ujung jalan kematian,
ketika embun menghidupkan kesunyian
lalu, sekumpulan kuncup memekarkan sejuk malam
bermainlah sebagai artifak daundaun,
maka arti sebuah kematian tak tampak
kecuali genangan di dalam kenang tak henti
dan segala kemenangan akan tetap berdiam disini
Isyarat Nani
( mimpi kedua)
sebait puisi tak sampai padamu, nani
kujadikan selimut dari kilat malam
menapaki wajah kita yang meluncur dari selongsong waktu
lalu menggenggam di dalam dimensi parau
labirin rintihan, candu tak berpenghuni
menyaput tubuh di hujaman darah
memenggal buih mimpi, membunuhi segala lingkaran kosong
lalu kita bangkitkan ziarah, kematian dalam senggama
bernama asap di atas sebuah kawah sunyi
mengepul, melahirkan hujan
yang membasahi ladangmu
mengekalkan sunyi ke ujung paruh waktu
kelak akan terbawa angin, nani
kerlip rambutmu membayang
seribu halilintar yang merebahkanku
di bawah cahaya manikmanik
yang melebur di antara kepakmu
segenap diriku
telah menyerupai sebilah belati
mengkilap hening di lingkaranmu
menghujam merobek menembusi bayangbayang belukar
terperangkap gerimis malam purba
sebait puisi tak sampai padamu, nani
menggelepar di atas baranya sendiri
sebinal arus dari hulu sungai mahakarya
mengaliri celahcelah kanal dan anak sungaimu
melemparkan aku ke muara
asing tak berpenghuni
menjadi sebuah kekalahan
tertambat di rahimmu.
Di Sebuah Pesta
( mimpi ketiga )
tapi engkau menyerbuku
menghancurkan seluruh rangkaian nadi
kemudian menerbarkan ribuan arca
di dalam sebuah candi yang muram
aku telah mengapung, mungkin
di pesta yang engkau tuntaskan dengan sebilah senyum
menghidupkan kematianku
dari musim kemarau tiga tahun lalu
engkau tempatkan sepasang maut, betari
memanggul cahaya dengan panji arasi
sebagai pertanda akan turunnya hujan
mengakuimu sebagai yang maha angkuh
engkau mengajariku membongkar rongga pasir
hingga engkau menjadi begitu rumit,
dan aku menjadi seorang pengkhianat
menyambut serbuanmu dengan genderang kesunyian
hingga aku tergagap
dan terbunuh di belakang sepenggal tubuhmu.
Kerinduan Musikal
: corona extra
mungkin saja, aku sebenarnya telah mendengar bisikanmu. ketika malam tumbuh mengerjap di atas laut dan hutan yang menumbangkan keinginanku.
karena aku demikian jauh. jauh. sehingga dirimu hanyalah sebuah bayang. dalam setiap detak tatapku. tak terarah.
aku lupa menimba kerinduanku sendiri. sebagai kubangan air yang tergagap menampung hujan. lalu menciptakan segala kata. dalam gelisah dedaunan dihutan. dalam gelisah camar dilautan. kebisuanku dalam pencarian demikian lekat. lekat. sehingga diriku hanyalah sebuah layangan kertas. mengambang diatas angin. tak berbekas.
aku ingin menjemputmu.rindu. walau hanya sebagai gemuruh. riuh memuncar. di dalam dada ini. hanya. hanya. hanya. hanya.
Sebuah Catatan Yang Lupa Kubawa Pulang: Ancak Yang Besar Diturunkan dari Langit
ketika Muro dan Kelian diterbangkan ke Perth dan Jakarta, pohonpohon tumbuh dan tinggal didada. akarakarnya memanjangmanjang.menjalarjalari nadi. musium berjalan. menjadikan gerobak penuh batu. istri dan anakanak dari sebagian mereka membaca baju,menulisi desingan mesin. sejarah mencekung diatas tempayan. meletakkan sunyi masmur dimejameja bambu. membongkarbongkar mata gubukgubuk mereka. perjamuan terakhir secerlang mata bayiku, yang teronggok kantuknya di beningaban. sesunyi angin melenggang. tanpa ornamen manikmanik mewarnawarni. yang biasanya dilahirkan dari rahimrahim suci tangantangan perempuannya. orangorang,seperti aku,telah mengangkut bubuh bambu besar dari sungaisungai kuningnya. orangorang,seperti aku,telah mencerabut ranum payudara kenyal dari gununggununghitamnya.meledakan perut Muro dan Kelian. menerbangkannya ke Perth dan Jakarta. menggantikannya dengan orokorok karet muda. ditahun kesepuluh. ketika waktu menunggu untuk menjadi bijaksana, di Perth dan Jakarta, isi perut Muro dan Kelian bermutasi menjadi kertaskertas berharga,menjadi layanglayang kemegahan. sinarnya tak membias ke wajahwajah dan tubuhtubuhkusamnya. tak membias kemataharap anakanaknya. tak membias kekerutkerut dikening perempuanperempuannya. sebuah prosa antara Muarateweh dan Muro,antara Jelemuk dan Kelian semakin sekarat membuat hujannya sendiri. lelakilelakinya menciptakan burung. perempuanperempuannya menciptakan awan. menjadi abjadabjad yang berputarputar diatas lawunglawung bapaknya. tari manasai,rengan tingang lahir. rengan tingang lahir,tari manasai. dimusim panas dada :
-- sebuah catatan yang lupa kubawa pulang.
Bukan Jam Malam
jarum jam terhuyung huyung menghampiri jejak malam yang kian larut.
suara suara, kekalutan yang baru saja lahir memperkosa keheningan, kelakar yang membakar dupa dengan aromanya sendiri.
darah merambat di lorong nadi yang nyaris terkunci, menzalimi malam bersama ruh
:
- puisi mu yang pertama.
sekali lagi ia memekik, jam yang membuka kantung kantung sampah, menendang
hampir seluruh isi nya ke penjuru kota. ting tong.
Segala Kesunyian
angin malam menjarah keheningan
desah dedaunan
berahi bunga
darah hangat merontaronta
menjemput Segala Kesunyian
wahai
sang pencabik malam
ketika geletar cahaya bulan
singgahilah segala laknat
dengan peluh
membara, bara!
hingga semua lintasan
adalah Kamu.
Perjalanan Ke Langit
seumpama buluh menghujam rindu
begitu kilap, menggiris.
perjalanan ke langit waktu memburu,buru !
pekat yang telah hilang akal
begitu kental tatap merekat
hingga langkah tak usai usai
kudengar gema disepanjang malam
betapa ranum masa yang akut, gaduh
gaduh
didada,gerumuh
gemuruh
didada,usia!
kau langgit yang merindu
selalu ingin dibuahi
dengan segala berahi
berapi,
api !
kau kenali saja: aku yang lupa menjalani kerinduan,
hingga silam enggan pulang.
Ketika Hujan Di Siang Hari
menginjakan kaki didaratan
bersama angin laut yang berhembus kencang
waktu menyisakan perjalanan pulang
aku merambat renta tak bertuan
siapakah Penyusun itu ?
segala waktu digambarkan menyusun begitu singkat
dan usang serpihan batang pohon kelapa
menghitung jarakku memandang
pada setiap lembar waktu
yang menghabiskan kebisuan rindu
ketika terik membunuh lamunan
merajam benih, tak tertanam
ia menerbangkannya kelangit menyusupi serpihan awan
hingga berwujud segala
tergambar
padahal, waktu sendiri telah usang
kepergianmu
menumpahkan hujan.
Buat Galuh
Galuh, aku telah berlabuh!
disebuah dermaga dari selembar catatan yang hilang
tapi rinduku,Galuh
masih mengalur dilautan. sejadi-jadinya. ia angin yang mencekik kesunyianku.
ketika setiap gemeletar bahasa kutangkap dicahaya matamu
pada jarak yang fana. dengan segala tumpahan kegelapan. Fana….
Sebuah Kemenangan
-
ketika burung burung pulang,
membelah belah mataku
tak kulihat hutan terbakar, tak kulihat asap menutupi kota
semua hilang diujung mata; menghidupkan penyakit baru di nafasku
--
ketika burung burung pulang,aku meninggalkan lambaianmu
membunuh kata diantara rasi-rasi,menjelmakan kilauan gelombang
menutupi jarak bintang
---
ketika burung burung pulang,aku telah menjadi satria kecil
membunuh malam kalut,membayangi buram dan kusutnya layar
hingga pulangku adalah kemenangan
seperti burung burung diatas laut mu.
Memburu Angin
aku memburu angin
kesurupan melintang diatas laut
panggilan malam kurasakan sia sia
segala derai, bintangbintang pecah diubun-ubun,
mendongaklah, engkau !
jilatan cahaya diwajah bumi.
Demikian Surga
(i)
sebagai sebuah kerinduan
puisi didalam surat ini begitu tenang
katakatanya menggapai kisikisi mata mautmu
sebegai ketukan jemari
yang tergagap
berkepanjangan
(ii)
aku pernah mengatakan
bahwa jeruji adalah rusuk yang mengurung jantung
sampai pada degup tepian
hingga diam, diam
diam
diam,menambat dilabuhan
(iii)
dan, aku pun surga yang kambuh
disetiap detak nadi
melarikanmu
dari bayangan sendiri,
sendiri.
Mengenang Pembunuh Rindu
: meilongsia
disetiap detik jarum jam, kutangkap rindumu dari segala peluk ketiadaan
detak jantungku,adalah dimensi tak berpenghuni; menyeberangi ruang
bergeletar, meraih bayang tubuh kita sendiri
kita semakin tak punya tempat untuk mengasuh segala suara
terhimpit diarena kaburnya katakata,
dan barangkali, tak akan pernah ada mimpi yang sanggup membuat kita terjaga
pejamkanlah dalam mata hati ; pejamkanlah tanganku yang mulai lelah mengalir
sementara tatapmu semakin gelisah meraba segala pencarian
atau mungkin,apapun yang akan kita jemput; adalah kenistaan
mei, huruf huruf ini diam
dari segala bekas yang ditinggal pergi.
kau, dengar lah
pintu diketuk dengan wangi bahasa dan terburu buru
begitu rakus segala keinginan
melumat habis rindu
yang tak pernah kita sisakan.
(mei panjang Indonesia,2002)
Mayoret
disebuah dermaga, cap!
tempat kapal perang berlabuh
angin selatan dan suara burung malam
pernah mengajak kita memancing
”dibawah lampu dermaga, kita pingsan !”
kapal kapal tanker,cap!
yang selalu kita tertawakan
tak ubahnya pulau sarat berpindah tempat
lampu lampu di kapal itu telah menjadi perempuan
menenggelamkan kita didasar kedengkian
dan malam pun pingsan
-- dengan seonggok ikan ditangan bulan.
“ha!ha!ha!”
Fajar Yang Kalut
aku menghitung jarak
setiap mata berlari tak terduga
-- daya keluar dari tubuh kita, bersatulah, bersatu
atau ia enggan?
Karena begitu renta menyiasati kenyataan zaman
ketika kita tak berhak lagi atas segala kesunyian itu
aku ingin menombak langitmu
dengan segala kegaduhan
: airmata menusuk luka
o,kau jadikanlah,
wahai keindahan yang pekat !
keinginanku,
mendekam dalam penjara beku
sampaikan aku ditujuan
belajar kepada kesunyian.
Ketika Pintu Kuketuk
ada yang masih ku ingat
ketika pintu ini kuketuk
wajah malam bersembunyi pada kesangsian
padahal, telah kautemukan
sebaris isyarat yang menenggelamkan segala ragu
jemari beku
terperangkap dingin kata kata
“bukalah pintu itu,dan aku akan menghampirimu,secepat cahaya
sehangat angin malam ini. dengan segala rasa maut. Kau ingin?”
Kutawarkan Rindu Di Pagi Hari
: dyah ekarini ratnaningtyas
angin menyentak jalang. aku rindu sampai disini. seperti engkau yang tersesak, lalu gugur pada malam. aku adalah usia dari waktu yang menggusur lembarlembar petualangan. mencuri keraguanmu yang usai dan tergeletak diatas sofa.
angin menyentak jalang. dan aku rindu sampai disini. dibatas diam,mengetuk kebisuan,
tak satupun sunyi menenggelamkan mataku, -- diperjalanan menuju pulang.
betapa ia adalah usia, seperti waktu yang tak kenal musim. dan mengeja pada cermin, lalu terbenam di air api. betapa, ia tak ada sisa. tak ada mimpi. tak ubahnya seperti gelombang pagi yang menahan gema.
dan ia, tak mampu menahan gemetarmu dikejauhan. hingga kecemasan menjelma kepakan camar. kemudian diam, membeku diketukanmu.
dan aku rindu, sampai disini.
(jkt,januari 2003)
Sebuah Mesin Dikepalaku Dari Perjalanan Menuju Pelabuhan
: melly hasdam dengan gin tonic double slokinya
disini langit gelap,senja tenggelam menyusuri kenang. tapi dimataku, titian waktu yang telah lewat, tak pernah kehilangan makna. seperti kemarin,ketika kau sisakan sepenggal kalimat, untuk kubaca sampai dibatas perjalanan pulang :
" dan langit gelap, senja tenggelam, menyusuri kenang"
kini aku tiba dipelabuhan, coretan-coretan sunyi,kasih. mengantarkan aku, untuk berani menertawakan diri sendiri.
lalu sebuah mesin dikepalaku,mengubur keinginan itu. ketika kematian telah basah oleh hujan, -- barusan.
Konserto Buluh Perindu
: rainbow in paradise
akhirnya tenggelam sudah
bersama buluh perindu
kedalam muara air hatimu, Kesal
kau merongga pada lambung tanah Mu
membenamkan diri didalam misteri pencarian
cerita-cerita hari nanti, pengantar tidur balita-balita mungil.
Setikam Musikal
: long island
kau adalah danau kecil ditengah hutan pinus. dipunggungmu tumbuh lukisan teratai.
selembar wajahmu berbayang jatuh bersama ranting dan buah pinus
memercik lelahku,berharihari,berbuihbuih,menggumpal rindu
rindu berderap dinadiku, seperti alur angin yang berdiam diriakmu. mewarnai segala rupa kesunyian musikal,suara ranting dan buah pinus yang jatuh,terdampar ditelingaku
melengkapkan wajahmu yang berjingkat di sore itu
di sore itu aku segelisah payau,sebab angin begitu sarat menguapkanmu ke udara.
menjelma partikelpartikel maya,menggantung disegelas kenang,menggerus dada
dan aku,terperangkap, diruas bidikan,menjelang senja
menjelang senja aku mencari. jemari lentikmu memantikkan batu api.memijarkan kilau ke ruang nadiku,saat usang begitu liar meracau
a ku ter ba kar
aku terbakar perlahan,meleleh ganjil kemudian . reinkarnasi bayangbayang. memecahkan bongkahan kristal kelelakianku,menyihir getir setikam disegala ngilu
tak ingin menuju perhentian
ada yang mengerang di dada ini,menyerupai suluh diwajah bulan. kepada sesakwaktu
yang enggan menyembunyikan milik kita
lagi.
Rokakata Idaman Andarmosoko
ketika kerinduan menjadi sebatang kara
cahaya bergumul disebuah sudut ruang dingin
lalu kita mewarnainya dengan segala warna apa saja
di dindingdinding hingga ke langitlangitnya
sampai pada sebuah titik terakhir mengingatkan aku
sebuah langgam komposisi ave maria
yang ditarikan pada jarak ruang
memandangi sejarah kejenuhan
aku, selalu ingin melayangkan sebuah sajak begitu saja
untuk menggantung rahasia keangkuhan segelap kenangan,
sebagai sepi kesucian
sebagai kerinduan merongga,tapi
sebuah komposisi warna selalu saja menanti
untuk diraba dan dinyalakan pada setiap lembar hidupku
lalu waktu akan memusnahkannya kembali
seperti ave roka
begitulah sejarah suci dimainkan
menjadi keliaran yang mengendus pada setiap ujung kuku
menanggalkan segala alur silsilah, kemudian meraung
menggumuli kesendirian, o
lalu melukiskah langit itu,
menghampiri dengan segala angin dari kampung
kami bermain bola dari kulit rotan
diantara anak anak sapi yang berlarian, tergambar
bertebaran diatas pohon cemara
buluh perindu, mungkin engkau itu. mungkin engkau itu.
ya, mungkin engkaulah itu
yang melayang dan meregangkan senyumku,sendiri
jangan menyerah,langitku
walau sekerat bir menyesakkan lambungmu
karena aku memang sedang tak ingin pulang
maka lukislah ia, dalam setiap kegamangan angin
menyelusupi di kedua mataku,
airmata!
Aku Menyemburnya
: sajak balasan untuk thandingsari
palkapalka mentah humanis
kercap lidah bersenyawa gigitan lunak
karung semen kosongan menulis bunyi
premature rotasi 8 gram
kugemeretak,enggan pulang
kugemeretak kemuara
bermain buncah intro frente!
palkapalka banyak dikoyak gerak geram peristaltik yang agung
tercecer tanpa mlintir kumat kelamkelam diblokblok kugantung,kesasar
terbelah kawah tulangrusuk berakhir
mengadukaduk abstraksi otot labur tuk jadi kubur
merangsang basah klepekklepek merangsang karam
kerikilkerikil berdenyutdenyut
kepak yang hidup
hidup berkepak
palkapalka menyekap parrabellum
berjungkirbalik zing zing
menangkap sesenyum pekat mencengkeram
sepetik hari melindap berserak dari crime sang papananburukrupa
meresap menyerap kulum
tersayat memanjang sepanjang armori
menghembus sinergi hingga filiformis, mengecil yang entah punya
siapa?
menggerusku kenali senyap pagi ini
720 titik
selusin jam berjalan bengis
tubuhku megatruh jeda sendiri
palkapalka berbisa penghuni kolongkolong membusur kuman artileri
nomaden mengungsi geliat senyap mencari tempat pada lingga rektum
menyusup arus menyusup mencari akhir muaranya: Haus
kerap diperkusi telingaku bernama laknat
palkapalka merongrongku mengejang hebat darderdor demarkasi
sesak sejenak mengerami ilusibias : ooh...
dendang jurik dendang boros
kumbang kubis tersangkut kropos
Booom...
epilog rekreasi tak lumat
palkapalka mengukir fermis
bulat empuk berjangkit
aku menyembulnya 'Kremasi'
tak kulihat bedilmu tersepuh mantranya
pesan untuk tuan:
kami masih penghuni loronglorong kawah basah jengah kehilangan satu
singlet: Kamu !
mengingat tengahtengah ruangmu tersusur baitbait sumpek
takjarang kau melonjaklonjak mengena
"gidy up gidy up go go"
tak peduli kulit betismu ditato kepakan lembah ambengan
namun kita masih mampu terbawa entah
terbanglah tuan
jumpai celanamu -- terbanglah megah
pada loronglorong kawah basah dan sembab
ranum hangat oleh nyala haha haha
atau ?
kau raih malam berlubang kelam menghangus ribuan tank
Jembatan Diam, Kusulut !
Jembatan Diam,kusulut! ita semi. ha! dan akulah gemuruh menikam kepenatan, menggantung sang purnama. kubah menyirat dikenanganku menguap. meluluhkan namamu sebagai hembus izzati yang menemukan jubahku kala belenggu disarang gumam. tapi masih kuraba tuba didindingmu. meski tak ada lembing bertanda mata angin. kuberikan namamu pada sebuah gua Basap. setelah menyebut yang sama memanggil gigil segala resah.
ada apa dengan diam lebam saat kusulut. muaramuara menusuk. lalu memanggilmanggil hutan dari dalam persembunyian. menjadi sebuah gambar sepi sangkakala.mengguratmu disepanjang tenda dunia.
pengukuhan, hingga akhirnya berlalu tak pernah usai dihembuskan.sekeping senyap telah aku akhiri. kau tahu, tabir gunung telah dikisahkan. lalu siasat pukau meledak. membius sulut dikecup bibir muara. binatang tumbuh dijampijampiku. sebagai tenda dan panah duta.
lalu diujung tubuh kitapun menganga. selalu gua yang terbaca. selalu gua yang terbata.
(puisi jawaban “catatan malam kabut” nya ompitabimanyu)
Elang Laut Mabuk
sudah pasti tak kau dengar gumam riuh
perca kilap bungah menanam cakar dan kepak durja
disana, ia berdiri mengosongkan pekat bara
menggantang penjelajahan langit menggusur guliran detak air
melebur risau terlepas sehelai bulu jambulnya
sahaja mengendap tak berjarak membilur kelam
meniup angin angkara tersentak pijarpijar tubuh
duduk bersimpuh tak terkepak pada sibak suluh
terpasak tubuhnya sebagai geming dera mendera nyawa
kepak menjalang mengamati sebaris rumi
memanjang cahaya genderang di ufuk mengulum lebam
durhakakah elang lautmu?
bila mengangkat seikat pesan dengan pijar cakarnya
menggelegar terbawa melimbung durja
dimana kau tak pernah berada
kerap ia kembali terbawa lonceng dunia kecilmu
atau tentang semayang teduh dicakang lembah
kemana ditulis api dalam pemakamanpemakaman sahaya
kemudian ia akan bertengger diatas perahumu
mamatukmatuki pekatmu
senyawa waktumu, seketika detak ikon mendera di sana
atau mencumbu malam hayalan menyisa
penggalan bathin kibas sang rama
terantuk kemudian menggelinjang prosa vodka lalu terlupa
sekian rimba keriap darah terjajah
ia temukan setitik kejauhan yang lekat
"aku mulai merindukan elang lautku", katamu
lalu kepak lusuhnya melintang getas
menyibak imago mencari indigo
"dimanakah terra incognita?", pekiknya
lalu ia terjebak merkuri, merayu pelanpelan
hingga tak lagi bisa memekik rumi
walau kau yakin ia telah lupa
akan rindu yang semakin serak ketika ia terperangkap di gua
akan aromamu yang berdenting sebelum ia rangkul
itulah artinya dirimu, setelah ia mengepak melusuh berkelana,
tertempa perihmu
ketika menuju lautan......
(Tue Apr 1, 2003 12:09 pm, membalas Prosa “Hilangnya Elang Laut” nya Randu Rini).
JIBSAILZ, seorang nelayan, yang banyak kegemarannya dan juga pandai melakukan okulasi tanaman keras ini adalah pecinta seni dan sastra, dilahirkan di kabupaten Tabalong - Kalimantan Selatan pada hari Minggu Legi tanggal 07 juni 1970.
Pada tahun 1996, dia mulai aktif menulis puisi di media internet. Pada tahun 1999 dia membeli domain cybersastra.com yang kemudian beberapa bulan kemudian dilepaskan dan dipindahkan ke cybersastra.net. Redaksi cybersastra.net awal itu: Nanang Suryadi, Yono Wardito, Dodi Iskandar, Anna Siti Herdiyanti, Samsul Bahri, James Falahudin, Aranggi Soemardjan, Fazmah Arif Yulianto, Dedi Hidir Trisnayadi, Medy Loekito, Donny Anggoro, TS Pinang (menyusul, yang kemudian sebagai webmaster yang membidani dan mempercantik cybersastra.net sampai sekarang) . Setahun kemudian, pada tahun 2000, dia dan beberapa rekan-rekan yang berada dimilis penyair@ mendirikan sebuah yayasan, yang saat ini dikenal dengan nama Yayasan Multimedia Sastra (YMS), dan Medy Loekito sebagai Presiden YMS.
Beberapa puisinya juga dimuat di www.poetry.com, www.bumimanusia.or.id dan di www.cybersastra.net. Selain di situs-situs tersebut, puisinya juga dimuat di antologi perdana YMS, graffiti gratitude, 2000. Pada tahun 2001 puisinya pernah dibacakan oleh penyair Agus R.Sarjono di Deutsche Welle, sebuah radio swasta berbahasa Indonesia di Jerman.
Nanang Suryadi
Mabuk Cahaya
dan akupun mabuk cahaya. selarik cahaya melesat dari jemariku. ketika kucoret namamu pada sedinding cahaya. cahaya mencahaya berpendar mencahaya cahaya. aku mabuk cahaya. seteguk demi seteguk aku tenggak cahaya. aku mabuk cahaya. igauku cahaya. mimpiku cahaya. rinduku cahaya. cintaku cahaya.
tak engkau dimabuk cahaya. tak engkau tahu di timur barat mula cahaya.
tak engkau tahu? engkau mabuk cahaya.
Kasidah Pernikahan
ada yang meneguhkan syahadah di jalan kehidupan menggenapkan hitungan dari separuh ruh yang pernah menyaksi di saat entah di tempat entah hingga bersetubuhlah jiwa cahaya pada muara lautan cahaya berlinanglah airmata cahaya berlinanglah hingga menerang terang cahaya menerangi semesta dalam dadamu yang berseru memanggil manggil penuh rindu dan cinta yang mencahaya dari matamu yang cahaya sekepak kupu-kupu cahaya beterbangan mengepak ke langit cahaya ke puncak pekik ekstase cahaya!
Di Saat Hujan
:kunthi hastorini
dedaun yang digugurkan angin berserak di halaman yang basah oleh hujan gerimis seharian tak henti menyapaku seperti juga kubaca gerimis dari matamu yang selalu menyimpan gemawan embun rindu tak henti mencurah dalam desau angin musimmusim di mana engkau menanti menanti dan menanti hingga saat disurat laksana janji laksana harapmu lunaskan segala angan mimpi yang ditulis dengan darah dalam hatimu dalam hatiku kekasihku
Karena Kita Manusia
:kunthi hastorini
karena kita manusia yang menyimpan riwayat mula-mula sejak dihembus ruh ke dalam dada penyaksian yang diucap kepada yang satu kemana kita akan berpaling kemana kita akan menuju hanya wajahnya yang terbayang di pelupuk mata walau lamat walau dalam deru tak habis digerus waktu hibuk dunia yang memabukkan dengan goda tak akan lepas tatap mata ke dalam relung jiwa terdalam dalam dada sendiri yang rintih memohon kembali senyumnya hadir dalam harihari merindu waktu-waktu merindu cahayanya menerang terang jalan hidup kembali ke asal mula kejadian akhir segala akhir perjalananan bersama kita bersama sebagai manusia yang memahat duka bahagia kembali ke peluk cintanya
Rumah Pasir
: hasan aspahani dan ibnu hs
tapi ia membangun rumah
dan menulis namanya di tubuhku, kata pasir
tapi aku cemburu, kata ombak
ya ya aku juga benci dia, kata angin badai ikut menyela
lalu dirobohkannya rumah pasir dengan deru anginnya
di atas pasir dicoretkan kembali namamu
di atas pantai dibangun kembali istana pasir mimpimu
walau berulang ombak dan angin
bersekutu menghapus dan meruntuhkan
rindu dan cinta itu tetap untukmu
Adalah Kanak-Kanakmu
kanak-kanak berlarian ke ujung cakrawala. adalah kanak-kanakmu yang memburu harap. dengan mimpinya yang tumbuh dari dalam kepala. bersulur-sulur ingin gapai pelangi, bintang, rembulan, matahari dan biru langit. adalah kanak-kanak yang berlarian telanjang kaki dengan keperihan dalam dada. menyeru nama ayah ibu. menyeru masa lalu. karena compang camping sejarah dijejalkan ke dalam tempurung kepala. sebagai perca penuh darah dan nanah. sebagai kanak-kanak mereka berlari mengejar bayang-bayang. dalam tatap bengis orang dewasa. dalam letus senapan. dalam ledak bom. mereka berlari memegang ranting zaitun. menggambar burung merpati di setiap tembok kota. mereka adalah kanak-kanakmu, menyeru namamu. merindu negeri jauh itu.
Demikianlah Sunyi
:ts pinang
dihembus sunyi bersama nafasmu, o pejalan sendiri. menembangkan suluk kerinduan pesisir pada hamparan sawah-sawah: bulir-bulir padi yang penuh padat merunduk tunduk. kusampaikan salam hangat angin garam dari lautan. seasin airmata. seasin airmata.
dihembus sunyi bersama nafasmu, o pejalan sendiri. menembangkan suluk kerinduan pesisir pada puncak merapi: o asap yang mengepul dari mulutmu, seperti kurasa gelegak di dasar bumi. kusampaikan salam hangat angin gelombang lautan. seamuk mimpimu. seamuk mimpimu.
di sebalik sunyi, sehuruf puisi menari sendiri. menemu kenangan kembali.
23:34:37 7/07/2002
malam menebarkan bunga. menyalakan lilin. mengasapkan dupa. sebisik rindu yang diucap: ingin dikekalkan segala. dalam kata.
walau kau tahu segala fana. segala fana. bahkan...
23:31:25 7/07/2002
demikian engkau kabarkan luka. sebagai halaman yang membuka. ingin diterjemahkan silam. sorot mata. lenyap di titik hitam.
sedikit lagi. sedikit lagi. di tikungan. belokan.
sebaris usia mengucapkan salam bagi upacaranya sendiri.
sampai di mana tapak dijejaki. sedikit lagi. hingga...
23:26:54 7/07/2002
ada yang ingin menerbangkan pikirannya
seperti ilalang yang ditiup angin.
pada usia yang berangkat
dengan segala sia-sia dan putus asa.
ada engkau yang menjenguk
dengan dada berdebar dari balik jendela.
menunggu jam
berdenting. tepat di titik nol.
dia datang
dengan selimut kabut. dan cucuran embun
dari matanya demikian deras menyapamu. malam itu..
Seorang Yang Menyimpan Kisahnya Sendiri
ada yang menyimpan kisahnya sendiri. di derai daun-daun jatuh. sebuah taman kota. dingin angin memagut. gerimis menyapa. sesorot mata yang jauh. ke silam yang riuh. di dada sendiri. di ingatan sendiri.
tapi mata adalah jendela. kutemu engkau menangis. sendiri. di sudut lampau. mengekal bayang. mengekal ingatan.
di baris sajak. segores luka menyimpan jejak. dirimu.
Depok, 2002
Seputih Lupa Sebiru Ingatan
seputih lupa, katamu. tapi ingatan berwarna-warna. dengan jemari kulukisi kanvas waktumu. hingga sorot matamu menerawang menerbang ke masa lalu. terowongan yang tak habis kau telusuri. hingga warna segala warna memasuki tidurmu. mimpimu yang berwarna. mungkin biru. ingatan yang biru.
ingatan demikian biru. seperti langit. seperti laut. seperti rindu dari masa lalu. tapi ada yang ingin menghapus segala kenang. seputih lupa, katamu. di sudut mata. menggenang butir airmata.
Engkau Yang Memasuki Mimpi Lautan
:jibsail
engkau yang memasuki mimpi lautan
kata-kata sepi yang menyeringai
seperti perempuan, katamu
ini malam purnama yang kesekian
di antara desau angin dan arus pasang
o, benderang bulan
berbaris puisi diapungkan
gelombang berbuih-buih memain-mainkan
seperti segelas bir, katamu
tapi sebagai kerinduan
bayang menyelinap dari daratan
: pinggul dan dada perempuan
Imaji
dia seorang perempuan
"karena ia adalah imaji. sebagai ilusi. yang telah memabukkanku. maka kuterima bayang-bayangnya menyetubuhi diriku."
dia seorang perempuan
"karena demikian indah kenangan itu. walau tak sampai. walau. maka aku tolak saja segala kenyataan. yang tak seindah imaji. ilusi yang memabukkanku hingga kini."
dia seorang perempuan
"karena ia adalah imaji. sebagai ilusi. yang telah memabukkanku. maka akan kuusir ia. jika datang sebagai daging segar lelaki!"
dia seorang perempuan di imaji lelaki
Matahari
berikan aku kepada matahari, katamu, setiap pagi melihat mencorong cahaya hingga ketakjuban menyelimuti jantung hati. tapi ia tak tahu bahwa matahari akan membakarnya jadi abu. menjadi tiada.
sungguhkah aku akan menjadi tiada, katamu tak percaya. seperti biasa, kaubacakan hukum kekekalan energi dan ayat reinkarnasi.
seperti matahari yang lain. cahayamu panas sekali. aku pun lebur dalam matahari! bermilyar trilyun matahari mengada dan meniada.
Bulan Merah
lalu ditenggak darah bulan merah
lolongnya yang serigala hingga ujung benua
sebayang lindap sebayang lindap melayar-layar
bulan merah mengucur airmata
dengusnya yang api memunahkan negeri-negeri
sebusur waktu sebusur waktu meluncur-luncur
tatap bulan merah di waktu malam merapat di ubun-ubun
hingga purnamanya penuh sempurna
sebugil bulat sebugil bulan menggigil-gigil
o, bulan merah di puncak sunyi geliat sepi amuknya!
Burung Kata-Kata
jutaan kata melesat ke angkasa
terbang tak tentu sampai ke mana
(jutaan burung kata-kata menyerbu langit mencari arah pulang menabrak mega-mega menabrak atmosfir menabrak bulan menabrak bintang menabrak nebula menabrak meteor menabrak asteroid menabrak lubang hitam)
--- di mana tahta Sang Raja kata-kata?
Batu Hitam
batu hitam. batu hitam. meluncur di malam kelam.
dari langit jauh. dari waktu yang entah.
batu hitam. batu hitam. mendiam di sudut.
seperti kenangan yang melesat. batu hitam melesat
dari ruang entah pada saat entah.
bintang jatuh katamu. pada malam yang rapuh.
menemu gigil lelaki. yang mendirikan kenangan
dari sorga yang jauh.
Memasuki Kota Menhir
memasuki kota menhir
sayatan pahat pada batu-batu
aroma purba
arus mimpi
mengundangku
datang menemu wajahmu kota tua
seperti kutemukan wajahku di situ
tubuh yang disalibkan di pancang batu
telah tersesat domba-domba beterjunan ke lumpur hitam
hingga mengembik di sekarat legam
doa doa apa yang dilontarkan ke langit
sebagai deru sebagai teriak jerit pahit
memasuki kota menhir, lingga patah, yoni retak
wajah mimpiku pecah berderak
Titik Diam
jarum jam menunjuk. waktu bergegas
dengan wajah merah padam. mungkin hatinya remuk.
detik berhenti
pada pejam dan diam. terbanglah terbang angan mimpi
dihembus napas dari lubuk dalam
demikian hibuk, ninggal biduk
sebrangi langit. ucapkan selamat malam. pada
bintang yang nyelinap di kelam
dihembus napas dari suntuk melebam
Mabuk Rembulan Keemasan
:saut dan yono
jadi kuingat penyair tua itu, mabuk dan menulis sajak tentang rembulan. sinarnya yang kuning keemasan. sampai ke jendelamu.
(siapa yang berjalan pada asap sepanjang jalan, sihiran lampu dan perempuan yang menyapa. inilah surga seribu tiga)
pada buih, berenang rembulan dalam gelas!
Kapak Merah Puisi Berdarah
diacung kapak digedor-gedor pintumu belah-belah kepalamu berdarahlah puisi berdarahlah dalam alir nadi tubuhku kata-kata dalam sumsum otakku
"habisi saja masa lalu juga segala yang bernama dosa"
lihatlah tari itu dalam genang, o, sang pemberontak, dalam tikam dalam dendam dalam kelam dalam geram
"mampuslah! mampuslah! segala yang bernama kelemahan!"
tak bermata hati hatimu membatubatu karena segala tegar adalah
dirimukah segala pasti tak ada demikiankah
"demikian, aku mencium darah puisi begitu harum terasa”
Kau Jiwa Yang Lapar
kau jiwa yang lapar dan haus menagih-nagih sekucur darah dari luka luka nganga di langit yang pecah berhamburan dalam dadamu yang rapuh tak henti keluh melempar-lempar aduhnya hingga getarnya sampai mengguncang guncang gegunung lembah bebatu berlesatan ambruk ke dalam gelegak lava yang menguapkan kepedihan dalam jiwamu yang lapar dan haus akan darah hingga wajah wajah masai tak berupa menjadi lukisan abstrak pada pasir pasir pantai dihanyutkan arus gelombang keperihan yang meraja dalam jiwamu yang lapar memagut aksara demikian liar dan nanar menyimpan rindu berdebu di buku-buku yang tak mencatatkan penanggalan di mana bermula segala riwayat derita dan bahagia manusia yang terlontar di rimba pergulatan di jalan jalan penuh dusta dan petaka di mimpi mimpi buruk tak berujung pangkal carut marut tak habis menelikung menggunting menikam dengan hunusnya yang tajam hingga kau adalah penyandang kutuk yang tak henti-henti menagih dengan cucuran airmata yang menetes di rerumputan padang-padang perburuan dan peperangan di mana dipanaskan segala mesin demi segala yang kau ingin demi tuntas segala nyeri rindu dan rasa lapar yang tak henti-henti menyayat-nyata jiwamu yang terus berteriakteriak tak henti dilecut-lecut api yang mencambuk-cambuk kepalamu sendiri hingga benak otak berhamburan di medan-medan keberanian dan kebodohan di jalan-jalan penuh lubang nganga di lubang-lubang pemakaman massal dan rumah-rumah sakit jiwa karena engkau demikian lapar dan gigil yang tak henti memanggil dirimu untuk kembali!
Narasi Pembantaian dan Nisan Tanpa Nama
: sihar ramses simatupang
seperti mimpimu:
nisan, sebuah batu duka, bertanda gambar tengkorak yang ditatah di situ. tanpa nama. tanpa tahun kelahiran dan kematian. hanya kengerian. terbayang di wajahmu. yang menziarahi dengan puisi di suatu waktu. bagaimana dapat digambarkan kebuasan, kekejian dan keliaran, dalam kata-kata.
pembantaian! bayangkan amis darah, anyir daging yang tersayat, ditusuk belati, dilubangi peluru panas, luka nganga, dan ulat yang menggeliat di sela-sela tulang dan patukan burung di lembah terbuka. inilah kengerian yang memasuki sajak-sajak yang hitam dalam kepak sayap gagak berputar meriuh di atas padang-padang berserak mayat dengan mata yang tercungkil, tangan yang hilang, kaki yang remuk dan daging dada serta kepala yang mengelupas tercabik-cabik di paruh burung gagak dan nazar.
jika malam tiba, rasakan dingin udara, hawa kematian dan bayang hantu-hantu berkeliaran, ingin mencekik lehermu yang merindingkan sebulu-bulu pada tubuhmu, hingga tak sadar bau pesing menguar dari celana.
mimpi ini demikian buruk, katamu. sambil mencatat sajak di duka batu. nisan tanpa nama. puisi hitam. mimpi kelam di hitam malam.
Puisi Mencakar Wajahmu dengan Kuku Jemarinya Yang Lentik
puisi yang diam-diam ingin kau tulis mencakar wajahmu. dengan kukunya yang tajam. dan kau menulisnya sebagai kepedihan. inilah puisi, katamu, sambil membayangkan kuku di jemarinya yang lentik. dan menyisakan perih di wajahmu.
puisi yang kau kira sebagai kucing manis. berbulu lembut halus. ingin kau timang-timang dalam untaian kata di dalam sajak-sajak. yang ingin kau tulis di sebuah senja yang indah. saat matahari menyemburatkan warna jingga di langit.
tapi tak kau tahu siapa puisi. karena kau terbius oleh mabuk kagum. dengan debar di dada. seperti debur perlahan gelombang di pantai-pantai landai berpasir putih gemerlap tertimpa cahaya. di pantai mimpimu.
dengan harap untuk dapat mengetahui segala rahasianya. kelembutannya. sebagai kedamaian yang hadir dalam hatimu. sebagai ekstase yang menuntaskan segala birahi. membuat hidup jadi demikian gairah. menyala terang seterang purnama bulan. maka kau ingin mengabadikan puisi dalam huruf-huruf, kata-kata, frasa, kalimat, bait, sajak…
sebagai puisi, katamu. tapi tak kau tahu puisi sebenar-benar puisi. seperti saat ini. tak dapat kau menuliskan puisi sesungguhnya. karena yang kau ingat hanya kuku jemarinya, yang melukai wajahmu.
maka kaupun mulai membenci puisi. dan mencoba menghapusnya dari ingatan. tapi puisi hadir di mana-mana. dengan senyumnya. dengan kerling matanya yang menggoda. dengan gerai rambutnya yang melambai-lambai. dengan suara lembutnya. dengan desah manjanya. dengan tawanya. dengan lembut jemarinya. dengan ….
puisi mengejekmu. dengan segala kenangan. dan kau tenggelam dalam pusaran arus gelombang puisi yang memabukkan.
tenggelamlah engkau dalam puisi yang menjelma jadi lautan mimpimu. hingga di dasarnya kau tahu: puisi!
Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Salah seorang redaktur di Cybersastra.net. Puisi-puisinya dimuat berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Jurnal Puisi, Bahana (Brunei) dan Perisa (Malaysia), Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos, serta disiarkan melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002). Serta di CD Antologi Puisi Digital Cyber Puitika (YMS, 2002), Email: nanangs@cybersastra.net
Ramon Damora
Perpisahan
kutulis cintaku pada sehelai papirus
kau kutunggu, dalam rindu yang aus
adakah angin telah mengirimnya
pada sia sisa doa
batu-batu penuh lumut dari fragmen purba
lentik api menari di tapal batas ini
membakar burung-burung yang menyeberang sesekali
bahkan darah yang riam
sempurna diam dalam
di sana
awan tak bergerak memandangmu
mencumbui beranda
keranda
yang sebentar lagi tiba
batam, 03
Jam Malam
batang-batang bintang
yang menyusun pagar langit
telah simpan perih menit
jam memejam
tapi marus jarum itu
masih memburuku
hingga ke balik-balik rumrum
punggung matamu
aku kesepian
batu kesekian
terundak memapah babi-babi penuh luka
di pundak sajak
sajak cinta: rahasia yang selalu kau kira
lebih renta dari usia dusta
saat paling gentar menginginkanmu adalah ketika ranting
bakau memelukmu dari belakang
sebelum kekunang menyiangi jejak bulan
dari kubang kenangan
yang pelan-pelan ruyup
dan melangkah ke tepi ranjang
menjura sekarat mimpi: hai
surup sungai
yang tak pernah sampai
mungkin dadaku akan terus menetes
di atas pualam rambutmu, kejutan dalam hidupku
serupa amsal rintik embun di ubun karang
dalam kisah para nabi
menggali liang kuburnya sendiri
setakzim malam
dan suruk pagi
batam, 03
Di Bawah Hujan
di bawah hujan angin taung
ditoreh lembab cahaya berkabung
belatung
kulihat seorang lelaki dengan senja
membusuk di matanya
berdiri di halaman sebuah sekolah sore
menelan sisa-sisa serenade
kanak-kanak berlari
mendahului lonceng terakhir
seakan tetamu kecil
yang tak betah di rumah paskah: memburu karnaval
aku mengutip pecahan-pecahan kertas
berderai dari ransel mereka
mengarsir huruf-huruf basah
tak terbaca
tapi, sesungguhnya, mulutku lebih dulu terkelupas
melebihi garis tanganku sendiri
berpiuh, mengejar takwil
tentang kebencian yang tak pernah kau miliki
hati
hati
batam, 03
Ortodoksi
tubuh yang tergenang syahwatmu
: di situ syahadat kutalkinkan
kata-kata menjauh tanpa sauh
menggetarkan rima
tapi, sungguh, aku tak memilih khianat, sayang
cinta tak selamanya berpusar
di jarum jam yang selalu menusuk rusukku
bagai mao, kita berharap pada senjata
dan malam-malam dingin di klandestin
mungkin
tapi aku kini kaca
menyembunyikan serpih lilin
antara retak dan nyala
dari tubuhmu, puisi luruh tanpa sebenangpun kain
sayang, mengapa manusia bisa demikian bahagia?
batam, 03
Prelude Hujan
malam mengalun bulan
seperti lingkar bandana di pinggangmu
yang bermanik-manik arsir hujan
bulan mengalun: aku ...
ketika masih kauketatkan pagutmu
(tiada kuduga sebiru itu)
dengan cemas kanak
yang melipat kenangan
seruas origami: rumah-rumah kertas azali
begitu ganas musim mempecundangi kita
seperti para eksil yang terusir dari negerinya
tiada bertanya dari mana ke sana
kelak di negeri yang jauh itu
desis tak lagi piatu, kau masih yang dulu:
muallaf cinta dengan scarf menyentuh bahu
batam, 03
Gurindam Setengah Mayam
abu bakau mengendap lagi dalam
gelas bekas teh mawar hitam
entah sudah berapa kali kubunuh dendam
di tungku paru di jantung malam
tapi cinta di pucuk tiba, tuba yang mengulam
ah semayam rindu semayam
kukubur saja kau di balik sekam
atau kupagut selalu nisan tanpa makam
batam, 03
Nudes
: nota untuk desember
tidurlah
rebahkan alismu yang cermin
sebab di sana peri-peri menyerlah
dan dosa pun tak ingin
tebing hilang curam
puing dulang manikam
bila kau terpejam
gagak membuang dendam
malam kian dalam
bila kau terpejam
tidurlah
dengan mimpi yang sangat kau sayangi:
tikar pandan di ladang tebu
setelah film-film biru
''apakah semalam aku mendengkur, honey?''
tidurlah, rebahlah, mendengkurlah ...
hingga kau terjaga
aku kan tetap menjaga rahasia
kelam
kelamin
batam, 03
Sebelum Aku Membunuhmu, Ibu
-satu-
ibu
kukirim surat ini pada segala ababil
di langit yang penuh humus
sungguh, aku hanya tak mau
daun-daun rindu ini hangus
sebagai tumbal
sebelum kau baca tuba batu
bermekaran di hatiku
-dua-
telah kuketam waktu sepanjang jejak
sepanjang air matamu, ibu:
memanggul doamu kembali
aku kini berdiri di beranda
penuh genangan bangkai
antara masa silam berderai
dan peperangan hari ini
yang mesti dilerai
kelopak musim gugur menggamit igauku
tentang semayam musik masa depan
kusematkan ajal yang mematung
pada puncak karang
agar segera dilamun badai
dan pecah terserak
ke segala pantai
mengapa rabi'ah adawiyah ingin menutup neraka
dengan tubuhnya
mengapa seseorang telah menutup usia
saat cinta bergetar di seluruh asma
bimbang jam, wahai, merah nafasmu
telah melarutkan persinggahan
sementara cuaca yang gaduh
kian menuntunku menghunus perlawanan
sujudku berdarah
ditikam tangismu, ibu
yang tak pernah basah
-tiga-
aku berkeras untuk tak berdusta
dengan sejarahku sendiri, ibu
yang aus dan diselubungi kabut
pernah rahangku patah menyebut namamu
sedang igaku berderak
digulung ular sakati muna
aku tak berdusta
untuk mencintaimu begitu rupa
walau hutan, sungai, segalanya
telah menyeret bangkaimu yang pengap
agar senantiasa kudekap
aku benci berdusta
dari nista pada kusta di tubuhmu, ibu
sepasang dadamu yang picak
tak boleh kubayangkan
sebagai buah ranum
bergelayut di tali kutang berenda
lemakmu hangus mendengus darahku
yang telah lama tumpah di kuala
sedang para kelenjar di selangkanganmu
terus saja mencucuk ari-ariku
yang tertanam sebagai jadah
tapi bukankah pantang seorang lelaki berdusta?
dengan perih yang masih tersisa
aku menakik dadamu
menampung susu yang tak lagi meleleh
sementara jejak darah di lingkar putingmu
telah kusirami garam
sebelum anjing dan ular dan lipan
memburumu dengan bisa terjulur
karena bagi mereka
ratapmulah ibu dari segala
-empat-
ibu
balaslah suratku
jemputlah letihku
sayatlah dagingku
lemparkan buat iblis di kubur-kubur:
sebelum aku lebih dulu membunuhmu
sambil menenggak anggur!
batam, 03
Sekarat Rindu, Sekerat Kau
biarlah kini kukepayangi dulu
derit engsel yang luruh
di ujung sajadah itu
mungkin beban paling berat adalah rindu
perhentian masa kanak
ketika kau sapa gemuruh siak
antara cecak
juga daun-daun pintu
biarkanlah kucumbui dulu
gurindam yang mengeras
di pori-pori tingkap itu
kerana entah pabila lagi
kuhirup angin yang khatam
di jala nelayan ini
ketika rahasia tersimpan
mengembarai mimpi
ke semua jauh
melempar sauh
biar, biarkanlah riuh kenangan menuba
melukai setiap igauku
aku kan selalu setia untuk tetap mengingat
karat tak karat
batam, 03
Teratai
: bagi penakluk teguh
sekali pandang
tangkaimu jadi sepotong petang
tersangkut rindu yang lusuh
sungguh
pada lanskap merah disalib senja
kesabaran waktu terbakar
kolam hitam saga
tempat unggas-unggas berkaca
membincang cinta yang mekar
antara mitos tanda jasa dan sia-sia
sekali mengapung
padamu jua sajakku relung:
diri yang dibesarkan lumpur
adalah persinggahan ikan-ikan dalam
salam dan pelipur
batam, 03
Hibahkan Satu
hibahkan satu, muhammad, padaku
cinta yang senja
agar rumah-rumah kaca
memantulkan perih sua
hibahkan satu, ahmad, cinta yang senja
agar selaksa mata kail meghunjam dada
darah kan jadi bambu, jelma pancing
padamu, aku gemburkan tanah
sebagai zikir cacing
walau jaring dunia meminta lelaba
penuh lalat dan lipas dan serangga di dalamnya
aku tetap merayumu
--seronok, seronoklah--
menghibah cinta yang senja
tengok, matahari hampir sempurna
di linangan ufuk jingga
hibahkan padaku
satu padamnya saja
jadilah
biar sinar segala
batam, 03
Sekadar Posmo
kupu dan rerama mengecup ubun darah
yang menggenang di jalanan
hujan masih belia
mengarsir peluru yang tiba sendiri
dari halaman
ibu yang telah lama menitipkan payung hitam itu
padaku, berkata:
''kalau mami menjemputnya nanti
mami sudah tak melihat kau membujang lagi.''
batam, 03
Fragmentasi Hijrah 1
aku bertanya
datang biru malammu
dengan sewirid neon
tapi mengapa selalu saja
angin bersiap menghisap
gugur laron
firmanmu sering menunjuk lebuh
tempat riuh menabal
dan diam batuku setubuh
berabad-abad telah kususun aspal
hanya seluruh nama keretakan
yang tergenapkan
aku bertanya, bertanya: mengapa dari sangkar bulan
kudus
selalu berlepasan burung rindu yang hangus
batam, 03
Fragmentasi Hijrah 2
hari demi hati
dayung rakaat sampai selat
aku tak kenang lagi mula kesumat
bila cinta dimulai
ada kerling bulan diparut parit umur
kadang berkelebat jua giring-giring kaki betina
tapi bagai tanah yang dilampaui dedaun gugur
akulah ranting yang tak lagi merindu punca
kaukenangkah sekarat lukisan rumah bunda
yang diseberangkan gerimis senja
setelah sentak dari mimpi tenung anjing jantan
ke parak-parak purba terasing dari riuh jalanan
pada mulanya adalah perempuan
amuk yang jumbuh dengan akar
di sekujur malam
dirajuk jalang yang jembut dan kelenjar
di sebuah dendam
aku tak ingat lagi tengah dosa
bila sembahyang dimulai
selama
Nya
batam, 03
Ke Hadiratmu: Perang
-satu-
di liang anyir ini, luka membilangmu penuh rindu
aku belajar jadi seseorang yang melesat jauh
dari masa depan
seperti belajar menekan pelatuk
untuk sesuatu yang telah lama tembuk
sisipus, sisipus, aku mencium bau batu
berzikir di punggungmu
-dua-
angin memang selalu gusar
dan kita lahir dari tualang sangsi
memalsukan fana: perang tak berakhir
tak pernah akan berakhir
di ujung tarikh, orang-orang mengungkai kepedihan
meyisihkan doa yang terlalu kepayang
akan kemerdekaan abadi
di ujung tarikh, orang-orang mengungkah
rahim bunda
sambil sesekali mengokang senjata:
minta dilahirkan kembali
sebagai bayi yang ranggi dan tak berdosa
-tiga-
demikianlah, bendera demi bendera kibar
menyanyikan lagu kebangsaan yang lapar
pada musim kemarau yang letih menerjemahkan debu
dengan bahasa-bahasa romantik
tak ada percakapan di sini: tak ada
kecuali tamasya sungkawa
bahwa kita harus punya tanah sendiri
menjaganya dengan apapun cara
-empat-
di lubang bacin inilah luka memanggilmu bertalu-talu
sebab tak ada yang tersisa pada biru nafas kita
kecuali gemetar kawat perbatasan
dalam hening sunyi
ditoreh kabut juga rerama
kecuali cinta yang tinggal gema
dalam kering perigi
menyudahi mimpi
menyudahi warna
pekanbaru, 03
Segigil Rindu Kau Ketatkan
hujan belum jua reda dari malammu
seperti genangan sampah bunga plastik
di pucuk parit itu
kau ludah bayang bulan dengan kutuk
sisa doa semalam
masih tersimpan dalam mantel busuk
segigil rindu kau ketatkan
antara derak seng, paku tua
dan halte yang diam
angin memang telah membentang dena
memantul-mantulkan luka
yang belum selesai dibakar
tapi seseorang telah menyimpan bara
di sebalik jas bekasnya
entah
padahal aku lama menunggu
unggun itu membeku, katamu
segigil rindu kau ketatkan
seperti menganyam derak seng dan paku tua
dihujan
hujan
entah
sudah berapa kantuk kau tunda
sekadar menunggunya
membalaskan dendam
batam, 02
Roman Tak Selesai 1
telah kudengar derit yang menyeret geletak waktu
dan sudah kupastikan pula bahwa engkau memang menangis
pada dingin subuh, azan yang mengiris
lalu kau lekatkan bibirmu di balik jendela kereta pagi
lama, dan sisa-sisa embun menguap di sana seperti memintamu untuk menuliskan sesuatu di tubuhnya
sebutlah, misalnya, seberapa syahwatkah
eranganmu malam tadi
di pelukanku
dan seberapa butuhkah butuhmu
merindukannya kembali: apakah yang lindap di pucuk hati
di pucuk-pucuk sangsi ini
akhirnya menjerit jua peluit penghabisan
sua, betapa, demikian sebentar dan bercadar
sesaat satu demi satu gerbong ungkai
angin mencela rindu yang tak sampai
di luar peron-peron alit diam meregang gegas
pintu-pintu tertutup ketika masinis melambaikan tanda
dan sebatang tembakau menyala
di jakun gerunku
kepulan asap yang menanti giliran
tanya yang tak seluruhnya lepas:
sempurnakah alamat pada karcis-karcis itu
batam, 02-03
Roman Tak Selesai 2
aku mengarsir kapal-kapal ungu
di alismu yang ranjang
menepikan gelombang
derit engsel di pintu kabin
mengaliri hawa dingin
cintaku telah lama beku
di gudang-gudang ringkih itu, sayang
berdesakan di antara karung padi
erangan buruh dan riung bawang
tapi kapal-kapal ungu di sekujur alismu
masih saja memetakan debur
dari punggur dan sekupang
aku hibur jua pelabuhan tua di hatiku
bahwa esok mercusuar tak kan pernah berhenti menyala
datanglah
sesayat ranjang menanti kita
untuk meniupkan firman-firman lama
bacalah
aku mengerti
camar-camar perbani memang seharusnya
terbang tinggi
seperti juga aku harus memahami
mengapa kau biarkan rambutmu tergerai
di gerai-gerai plaza dan lampu-lampu trotoar
yang memendarkan luka
aku akan mengarsir debu
yang kini melekat di pita kepang itu
angin malam dini hari lalu
masih menyibak tengkukmu
mari biar kuseduh
aroma mayat yang gelisah
mencari kerandanya sendiri
batam, 03
Il Fault Cultiver Notre Jardin
: bagi HJ dengan seluruh cinta
burung-burung barzanj hinggap di dahimu
langit membentur-benturkan diri ke dadaku
minta hujan, minta hujan
mari menanam bulan ke dalam taman
maka ingin resaku memeras pualam dari helamu
bayang-bayang demikian saja melengkung di tubuhmu
tapi waktu barangkali sesuatu yang lesat
matahari berpendar pada kedua mata kakimu
--irama tak tentu-
menyiakan pertemuan yang entah sampai kepan
jalan membesi berat, ayahanda, sedang di ujungnya
tak kutemukan bara!
burung-burung barzanj memang telah lebih dulu
bersarang di suaramu
sementara langit-langit menghilang dari lidahku
mana hujan, mana hujan
pecahan bulan mengirimkan jarum ke dalam badan
lalu hari menetas dari kegamangan yang hidup
seribu hasrat memencar ngepung darahku
menyisakan pencarian ke segala entah penjuru
cakrawala memucat pasi, bapanda
sedang hingga kini pun tak kutemukan cinta!
pekanbaru, 02-03
Asbak Satu Babak
pernah aku berpikir
hidup ini tak ubahnya setubir asbak
terbuka: menerima begitu saja segala
dengan bentangan dada
atau menunggu cuma
takdir tembakau menyelesaikan cerita
tanpa harus terbakar
jengkal-jengkal nikotin dan tar
lalu ketika akhirnya
puntung-puntung menumpuk
dan lubang telah penuh
tinggal soal memilih belaka:
bersiap lusuh
atau menyaksikan manusia
menjauh
batam, 03
Lagu Germo
ini kabutku
kuserahkan sehelai demi sehelai
pada pucuk-pucuk gunung di matamu
sekadar menangkup magma
yang bersemu merah itu
duhai, debar gugup dan malu-malu
sebab sekejap lagi
tarian akan dimulai
merentak sekujur risalah
gairah
mencium ubun batu
dan lentik bangkai
tanjungpinang, 03
Retur Cinta Sekujur Catur
bukan pamrih
bila kau ucap lagi cintamu
yang dulu pernah hamil tua
meregang, memerih ketuban
melahirkan kanak-kanak pion
yang kau elu menjaga raja kasihmu kelak
tapi hitam, tapi putih
kan tiba juga waktu
akhirnya terbaca: kau tak bahagia, ternyata
mengerang, di belakang,
setiap kali beri sayang
sudah, jatuhkan saja:
cumbui aku sehijau melon
atau pekikkan itu: skak!
barangkali hanya dalih
(apalagi yang lebih sembilu?)
sebab kau tak berhenti bertanya: mengapa
adakah yang tak sia-sia sesungguhnya
apakah setia
mengukur jejak kuda hutan
atau membangun benteng dari papan
pada tiap sekon
tak berjarak?
angin memang telah lerai, menyerpih
tapi burung-burung petang masih saja
menorehkan biru
seperti hujan akan selalu ada
mengilhami lumut dalam lumat ciuman
paralon
tua
tak retak
tak
batam, 03
Untuk Tak Mengatakan Setia
mengapa matamu selalu berdengung
kuat dalam lampu pucat itu
ketika rinduku berdesakan
bersama sayap-sayap laron terbakar
jatuh ke krah baju
harum lehermukah yang seperti hangus
seperti gentar
ah, aku masih pantas berkabung
rasanya
kubuka horden
hujan juga masih di sana
menghapus jejak
segalanya
menghapus esok
dan kau tiada
selebihnya adalah genangan angin
gerangan lain
menggali parit-parit air
mata
sebagai tempat terakhir
bunga-bunga
''abang, apakah nanti
aku kan menjelma bintang?''
''ya, ya. dan kau terbanting ke bumi
kita bercinta di loteng ...''
batam, 03
Dongeng
awak bilang ini rahasia:
ada seekor rimau yang rebah baringnya
ditangkup lalang dibentang padang savana
jangan cakap ke orang, jangan cakap ke orang
nanti datuk marah, mengerkah arwah
ssst, ia sedang berburu, menanti mangsa
beku dan moksa
siapa lengah kena simak
tatapnya redup mendena lengah
angin utara
kabut saja telungkup saat jarak pecah
ia menerkam lebih dulu
sebelum kita sempat kata: dia!
maka itu, baik awak diam
baik pura-pura tak nampak
belang tak sudi berbagi talam
ia pasti lebih ingin sering berburu
bila mulutmu tak henti meracau
ia membisu. tak nampak
hanya dengus-dengus lalang
dan lapar angin menyisakan arah
menyiakan jejak
sekali silap kau mengatup lidah
ia mengerkah lebih dulu
sebelum kami sempat salak: kau!
batam, 03
Philosophes
cuma misal yang lewat
melambaikan berkubur enggan
mengekalkan hasrat
daun-daun di nun menyelundup
ke sebalik perumpaan riuh angin
sayup-sayup kudengar gazali
di ujung salon
membicarakan karma seorang lelaki
yang tengah berdiri
dalam bayang-bayang utopian dan puisi
tapi hanya tanya yang lintas
tentang ambisi, mungkin antusias
beban-beban kemanusiaan abad 19
holobis kuntul baris, holobis kuntul baris
pembaruan, katamu, telah menghanguskan harapan
di jalan-jalan kerontang yang pernah menyatukan doa, kata-kata sia
bersama apapun sah
menyetubuhi ketakterhinggaan hampa
hai keasingan ini, baiklah, akan kukatakan
hanya sisa mimpi semalam
jika harus kutenggelamkan jua rindu
biarlah kukuliti dulu diri
meski tanpa catatan kaki
seperti nietzche, karl marx barangkali
mengurapi waktu dan menunggu
tuhan
sampai mati
sampai candu
batam, 02
Sihar Ramses Simatupang
Tafsir Apologia
buat: scb
perempuan dan lelaki
menafsir hidup
tak serupa debu dan daun-daun
detak malam
memburu jalan
di mulut musim yang buram
satu halte
satu trotoar
satu ngiluku
hujan rintik
satu langit
satu bintang
satu sadarku
di atas batu
sebuah surat
sebuah potret
:menuju tempat tidurmu!
Taman Ismail Marzuki, 2002
Metafora Para Pendosa
:sutan dan sajakku
yang kugeleparkan malam itu dan mengelepak ke jendela rumahmu, adalah anak-anakku.
: yang lahir bukan dari kata, melainkan kedukaan yang terus menyala, bahkan membakari jantungku. pernah aku menjadi tengkorak karena panasnya kata-kata itu.
mereka yang menyala garang, tak selalu atas namaku. mereka yang meliar, memporak-porandakan bukit kejantanan: adalah kuasa lain yang berpacu dalam kegarangan dunia dan batu-batu.
apakah lagi metafora yang kususun untuk memenjara mereka?
sebab terali telah hancur
dan bahasaku koyak ketika mereka siap pergi dan berjalan
bahkan saat aku tertidur.
mereka yang merobek selaput mimpiku,
berlari-lari di atas kepala.
adalah duka kita sendiri, yang terlanjur berdarah nanah.
: sebuah sejarah manusia, yang engkau dan aku tak akan mampu mengingkarinya.
Rawamangun, 2002
Pejalan Kaki di Sebuah Pulau
perempuan itu telah tertidur di sampingku.
tapi bukan raganya,
sebab aku hanya menari di samping jiwanya
dalam kemabukan, sebelum fajar datang
dan matahari merampok jadi mimpi-mimpi panjang.
larut malam di laut pulau jawa, aku menggelepar
sangsai. lelah mataku terbang, dari tidur satu
ke pucuk-pucuk mimpinya. di antara lekuk tubuhnya
yang putih bagaikan pualam. engkau tak lagi nyata
di mimpi ini.
aku tahu, engkau juga akan menghilang
seakan tubuhmu telah siap kau persembahkan
buat pejantan lain yang sejarahnya tak pernah
aku kenal.
tubuhku sesak, pemabuk yang menghindar dari
keterjagaan. sebab kesadaranku hanyalah kesedihan.
dari pantai ke pantai, terus kubentuk jiwanya
tapi misteri tubuhnya barangkali
tak lagi pernah bisa aku terima.
Surabaya, Awal 2002
Tentang Kesepian Nelayan
sebutlah dia, lelaki nelayan yang renta. tatkala musim-musim tak sampai di depan matanya. dari mercusuar yang beku, dari jaman purba, tak ada kapal yang datang mengabarkan tentang pulau lain yang telah tergambar dalam lautan mimpinya. tak ada yang melemparkan selendang atau saputangan, atau bendera di tengah kapal. dia yang ngelangut sendiri, pada perahu yang robek oleh duka dan aksara masa lalu. haruskah cerita ini dikabarkan? sementara laut masih saja bisa bijak dengan bahasa diam?
tidak, dia berbicara pada karang. pada bunga-bunga ganggang. pada berita yang bukan ditujukan untuk siapa-siapa. kecuali untuk dirinya sendiri.
musim dan masa lalu, haruskah datang pada kepak camar pada pinggiran bibir pantai?
Jakarta, 2002
Bunga-Bunga tak Mekar
: surat buat pablo neruda
nyatanya, hingga saat ini pun
aku masih melihat bunga-bunga tak bermekaran
kecuali lumut yang masih tumbuh dari kaki para pengemis jalanan.
gembel dan pengamen tetap saja menyiulkan
lagu-lagu bukan kebangsaan.
sejarah duka belum usai untuk pergi.
di sini, tak ada almanak yang berubah menjadi embun
para tunawisma masih menangis di sejarah yang tak lagi mereka miliki
masa depan, dongeng-dongeng tentang pedesaan
telah lenyap di aspal, sejak keberangkatan mereka yang pertama kali.
etalase kaca telah tumbuh beranak pinak, dan tangan mereka berubah
menjadi bayangan pencoleng jalanan
memperkosa kota yang tak lagi berwajah perawan.
ada desah terampas di pucuk lorong metropolitan,
orang-orang keranjingan martabatnya sendiri.
tak lagi perduli bendera,
atau mawar yang terselip di antara almanak-almanak tua para pahlawan kami.
: semua sejarah telah pergi, ketika orang-orang kota telah tersihir.
di dalam pesona kaca dan televisi.
Jakarta, 2002
Padamu, Kesucian itu Masih Kau Jaga
padamu, kesucianku itu masih kau jaga
menerbangkan merpati ke langit-langit yang
juga biru, sejak ribuan tahun yang lalu.
danau masih bening,
dan sungai masih menyenandungkan nada-nada
yang tak berubah.
padamu, kesucianku itu masih kau jaga
nada apakah yang akan kusulingkan dari sini
untuk mengirimkan kabar
buat telingamu agar bisa tertidur
dan tak terjaga oleh kesakitan demi
kesakitan yang kuberikan,
atas penantian panjangmu yang tak pernah
bisa mengantarkan diriku agar bisa kembali
ke haribaan.
Yogyakarta, 2002
Sajak Bugil Tanpa Anatomi
engkaukah fajar yang kerap menghilang
setiap kubuka kelopak mata?
kau sisihkan cahaya.
agar aku tak berupa
kau berikan malam
agar tubuhmu menghilang dalam
kesesatan dunia tanpa peta.
: aku bugil tanpa anatomi.
Jakarta, Medio Agustus, 2002
Tanpa Cahaya
misalkan bulan itu terbelah dua
ingin kurekatkan satu sisinya ke keningmu
agar ada makna
yang bisa diceritakannya tentang kegelapanku
aku haus serpihan cahaya
dari setiap anak rambutmu
: berilah aku tanda
sejak perjalanan ini
yang kuraba hanyalah kebutaan malam
dan mimpi melegam gosong
tak lagi bisa bernyala
: aku bisa apa?
Jakarta, Medio Agustus 2002
Menguntai
Untailah sajakku ini
Seirama burung
Yang berkicau
Menjelang senja
Agar sepi
Tak lagi rata
Hanya dengan kata-kata
Untailah rasaku ini
Seirama bunga
Yang tumbuh
Di kala fajar
Agar harumnya
Tak jadi pupus
Cuma dalam sekejap mata
2002
Sajak Pejantan Mabuk
: wajah saut situmorang
malam itu, kami telah menjadi pejantan di tanah perantauan
"kawan, siapkan tuak, masa silam dan parade lisoi-lisoi!"
katamu.
lalu mengalirlah jutaan
nada-nada kejantanan kita,
pada bulan, sejarah dan kegarangan
yang menancap di tubuh-tubuh perempuan
"perantau selalu punya mantera-mantera
padaku tak ada airmata
kecuali kekejaman sejarah.
seperti perjalanan yang dilebarkan
oleh nenek moyang dan datu-datu.seperti pada saat kita berangkat demikian juga sejarah kembalinya"
kataku.
mengelepak jadi elang di pulau-pulau
kita bariskan parade aek sibundong,
yang menggetarkan berahi
perempuan-perempuan malam.
: kita yang menjadi pejantan di tanah-tanah asing
seperti kekalnya persahabatan.
kukatakan: "kau saja yang melepas panah".
lalu menarilah engkau dalam tarian tor-tor buatku
saat engkau pergi ke medan cumbu
dan bergumul bersama
bulan separuh…
Agustus, 2002
Percakapan di Ujung Senja
"engkau membakar senja
buatku,
merapal kata-kata mantera
langit membuih awan
yang berlumpur di wajah
laut menggelegak
dalam pembakaran senyum kekejaman,"
ujar bidadari itu kepadaku.
(aku adalah kegetiran mata lelaki
yang berdarah di kakimu
penyair yang mengelepak
dalam kengerian bahasa diam
surga adalah wanita dan anggur
maka, jadilah dia
gua yang kesepian
sejak ratusan kelelawar
telah dirampok
dari kamar tidurnya.)
gelinjang adalah
kebiadaban,
atas masturbasi yang padam
oleh luka yang digarami
pada suatu senja:
awal pertemuan kita.
Jakarta, 2002
Tentang Rahasia
Aku lelah membuat peta-peta
Menggerus kwas pada kanvas lukisanmu
Engkau tak menghadirkan warna lain
Kecuali merah
Yang terus tercatat
Amarah itu menjadi api
Engkau terus bergerak
Dalam kelok-kelok
Kebencian dan dendam masa lalu
Bagaimana mungkin kuceritakan
semua rahasia
seperti aku yang menyerahkan rahasiamu
untuk dikubur pada kekakuan
senja
: biar seribu pertanyaan terbungkam
agar nyala
agar aku tetap memeluk
atau mencumbu
lihatlah, malam jadi beku bila engkau tak cemburu.
(bulan jadi mirip perawan kaku).
Jakarta, 30 Agustus 2002
Dukamu Adalah Perjalanan
dukamu adalah perjalanan
roda kereta yang hitam menuju malam.
engkau pergi, ketika senja belum usai
kulukis di atas marmer stasiun.
Tak ada grafiti namamu.
Kecuali lamunku yang menjelma serigala,
ketakutan telah bersarang
hingga ke persembunyian dewa.
Engkau pergi saat waktu
belum selesai kucatat
di atas tugu kota.
dari stasiun,
waktu mengalir bersamamu.
Bidadari pergi tak lagi
dengan kesedihan masa lalu.
Cuma hiasan bunga padma
yang menghias di biru hatimu.
Jika Menghitung Puisi di Tubuhmu
jika menghitung puisi di tubuhmu
maka berkelepasanlah rembulan
: sisa peradabanmu di tengah malam
ketika terkenang aku
yang masih bergelut matahari.
2001
Amorphophallus Titanum
danau sepi,
bangku taman jadi keranda
aku merangkai indah kematian
senada kelopak yang berlepasan
lalu akar menjuntai
pemandangan purba
membuat luka menganga
kelopak jatuh lagi
terdekap berat penghabisan
dilempar
ke jurang
dunia berpagut kelu
langit kotor,
malam terpupus warna
kelelawar terbang dari gua
burung-burung pulang
hinggap di pohon
: semua memburam.
mulutku cuma pengantin malam
sia-sia
menyusur jejak,
dan tanda-tanda
angin enggan membisik rahasia
terbeku sekarat musim
yang lata
renungan tanpa cerita
menyunyi seketika
(waktu tertebar racun dan jelaga).
Bogor, 2002
Dari Perjanjian di Tepi Danau
: perantau yang tak kembali
(sugari boi ahu nian
tarsongon lali habang ahu
tariparakku lauti
lao mandapothon ho tu si…)*
sayap yang kukepak melintas waktu
menimang untaian rindu
mengukir huruf-huruf jadi namamu
“pernahkah kau tahu”
sepi merayap
di atas lekuk-lekuk danau toba
sejarahmu kutimbang
dari bukit hingga petiduranku
nyanyi getir
berdenting dari dawai gitar
sunyiku menghempas ganas
melahap kenanganku padamu
“kau katakan, engkau merindu”
di pinggir bukit simanjarunjung
kutunggu kebenaranmu
menjadi penjaga
merangkai cinta
di desau angin
di rerindang pohon
: sunyi yang meraja
menguatkan aku
pada kenangan tentangmu
Jakarta, 2002
*) lagu populer yang saya lupa penciptanya, bermakna: seandainya bisa seperti elang aku ini, akan kuterjang lautan itu, untuk mendapatkan kau disana…
Histeria
kepada hitam, aku telah bersedia menjadikan gelap sebagai
rumah yang paling dapat dipercaya.
dan engkau, pasti tak akan
pernah mengenal wajahku lagi.
Depok, 1996
Doa Gelandangan di Malam Natal Bersalju
“Tuhanku berilah aku kehangatanMu
untuk kita rasakan berdua,
melewati malam-malam natal ini”
(esoknya, dia ditemukan mati di pinggir
jalan. Di dekat sebatang pohon cemara tua)
“inilah sebabnya, mengapa Tuhan
tidak selalu mendengar
doa-doa kita”
ucap cemara,
nyaris tanpa suara.
Surabaya, 1995
Berburu Masa Lalu
biarkan matahari memasuki mata
dan rembulan jadi wajahnya
sebab cahaya yang kugenggam akan padam
disantap angin tujuh penjuru
yang terus menderu di sepanjang labirin waktu.
Manado, 1992
Sajak Laut
kau buat laut
dari airmata
ku campur lautmu
dengan tetesan-tetesan darah
: tapi mengapa tak kunjung ada camar yang melintasinya?
Surabaya, 6-11-1995
Epitaf Tanpa Ujung
: Sitor Situmorang
tak bisa begitu saja engkau lantakkan
persemayamanku hanya dengan gerimis satu malam
ayo kita pasang dan kepakkan: ribuan tortor
di atas kepala yang berkunang-kunang
ribuan tahun cahaya aku menantimu seperti
rengek anak dari kejauhan pada sejarah.
ribuan tahun cahaya engkau menghilang
dalam pekikan penderitaan.
engkaulah batu, masih ada terpercik sisa larutan air
yang sempat membawa tubuhmu
pada sebuah negeri, tatkala senja tak lagi melayarkan dongeng
para ibu.
dan aku sama sekali menjaga kesunyian,
bukan atas namamu.
nanggar tullo nyatanya tetap menari sepanjang sejarah
di atas ulos dan hamparan rumput dan bukit berbatu
di antara segara dan pantulan airmukamu.
engkau adalah duniamu sendiri, seperti aku yang lahir
dari peradaban kosong.
ku sibak riak-riak kata yang mengalir dari suratmu,
serasa engkau penguasa negeri datu-datu.
tak ada tersisa nostalgia tentang danau
atau sarune
atau sigale-gale dan bukit
gundul di antara batu kering.
sebab telah lama kita berpisah di antara pejalan kaki.
memetik edelweis merah muda yang kesepian
karena lama tak engkau pagut dengan bibirmu.
bukitmu memang bukan bukitku,
namun entah mengapa bayangannya jadi pekat
ketika lereng terjal tak lagi kujumpai di depan mata.
tidak sadari engkau terus lahir
di antara duka dan perjalanan
dari ribuan halte yang menyisakan perjalananmu
masih tersisa beberapa puisi yang kutanam
dalam taman-taman sejarah besarmu.
Agustus, 2001
Ode Gerimis Satu Menit
buat: m.m
dari rerimbunan ilalang yang masih setia menjamu perjalanan kita
engkau masih menjadi mawar yang tertiup angin beribu musim
ada sisa anak rambut dan batu-batu yang menjadi jantung
pada tubuhku dan dadamu
rinai gerimis memancar dari sungai-sungai masa lalu
berkelok menembus samudera wajahmu
kita melayarkan batu kaca pada laut yang tak lagi manis
menguntai tembang-tembang kehidupan.
satu menit, dari ribuan detik waktu yang berpacu
dalam desah nafas senja
bangkit berani mengupasi kerak langit yang berjelaga
waktu bukan lagi persembahan para dewa
habis tandas kesunyian batu-batu.
kita mencicip keperihan masa lalu
dengan gairah yang lahir dari kerinduan langit pada matahari
barangkali sisanya masih bersarang di tubuh kita.
barangkali masih ada dongeng nawangwulan dalam peta sejarah dunia
hidup bukan apa-apa, lantak masa lalu di hadapan kita.
anak-anak menatap dengan pandangan muram. satu demi satu berlepasan
dan pergi dari rahimmu. Kita menghayati perjalanan, dengan bahasa
yang kita timang
: sampai pagi. kita terbangun.
bersandar kelelahan yang tanpa prasangka.
Jakarta, September 2001
Lithani Dewa-Dewi (1)
ketakutanku terbesar adalah ketika engkau berlari dari taman itu
menjangkau bunga-bunga perdu dan tak lagi mau menyebut namaku
janganlah pergi, atau melambai, seperti masa lalu
yang lahir dari sebuah almanak tua
kerinduan tak ada gunanya ketika dia tak lagi bisa dilahirkan
mari kita membuat rahim seperti sebuah persetubuhan
sepanjang umur bumi
aku mencintai seperti mencintai kematian
dari lumpur-lumpur yang memerah telah tercetak tubuhmu
dari kerataan tulangku masih terdengar namamu di panggil
dari sini, di sebelah kamar ini
aku masih setia mengulang namamu
malam membusuk dalam cawan-cawan kesunyian
satu tetes airmata mengalir bersama waktu
pisau menancap di ujung dadaku, adakah engkau
yang terus mengirimnya. pada dendam yang keberapa.
sementara senja kita masih dilayarkan dari selimut-selimut perjalanan
hangat, mengeringkan tubuhku, mencairkan salju.
terlafalkan namamu, menyusut doa yang sangsai
ketakutanku terbesar adalah ketika engkau kelelahan
berjalan di atas pigura-pigura kaca yang terus kita cetak bersama
nyatanya suaramu masih mengguncang nadiku,
mengikuti detak bumi, tertatih di batas garis ujung ajal dan usia
kecuplah aku seperti membina kesunyian
pertapaan kita masih panjang, mari kita petik kebijakan
dari para brahmana. jadilah engkau matahariku
sebab aku masih kanak-kanak dalam pelajaran masa lalu
Kagulan-Jombang, medio 2001
Lithani Dewa-Dewi (2)
pada kita bukan lagi gemuruh nafas manusia
ada yang meniup keningku
tapi bukan angin
ada yang menggores jantungku
tetapi bukan duri --- bahkan bukan sekedar karang
sebab dari ujung kota telah kita terbangkan
sebuah berita
matahari yang berdarah di ujung telapak kita
suaramu yang lirih mengoyak mimpi dewa-dewa
sebuah orkestra kesunyian
menembus udara yang berkeriapan.
di antara nafas kita
tertangkap isyarat yang kau kirim dari pelayaran itu
Lithani Dewa-Dewi (3)
ada kau sisakan:
anak rambutmu melambai
yang mengelepak menjadi camar
merindu waktu dan perjalanan senja
anak rambutmu yang bersimpuh,
di bawah dadaku melebar jadi cakrawala
seribu bidadari telah dilayarkan
seribu kelepak duka dan kesunyian
terhanyut dari pulau-pulau keheningan
terbukalah semesta malam di dahimu
: seperti perjalanan ratusan bintang,
engkau terus melahirkan anak-anak kenangan kita.
Kagulan-Jombang, medio 2001
Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah bergabung di Teater Puska dan Teater Gapus di Surabaya dan Komunitas Seni Tanah Depok. Karya antologi puisinya antara lain Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Keberangkatan (KSTD, 2002), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, 2002) dan Antologi Lampung Kenangan “Krakatau Award” (Dewan Kesenian Lampung, 2002), "Dian Sastro for President" (Terbitan ON/OFF Yogyakarta, 2002) dan Malam Bulan (Masyarakat Sastra Jakarta, 2002). Salah satu cerpennya dibukukan bersama penulis lain pada antologi Tak Ada Pilihan Lain (Sumbu, 1998). Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Ikut baca puisi demonstrasi sejak awal menjadi mahasiswa di Surabaya hingga selesai. Tulisannya berupa essei, cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di majalah kampus Suara Airlangga Unair, Gatra F. Sastra Unair, majalah Amigos dan Dedicatio. Pernah memenangkan Pekan Seni Mahasiswa Regional juara II Jawa Timur tahun 1995. Karyanya berupa esai, cerpen dan puisi juga dimuat di harian umum Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Surabaya Post, Warta Kota, Harian Banten, Memorandum, Karya Darma, Pos Kota, Sinar Harapan, majalah Plot, Radio Nederland dan Trans-TV. Karyanya termuat di situs sastra antara lain www.cybersastra.net dan www.poeticallyspeaking.net. Penulis saat ini sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan.
TS Pinang
Tak Adakah Metafora Lain Buat Cinta?
menjawab kerinduanmu aku teringat kisah tentang batu dan lumut. ada batu dan lumut di keriap rambut yang marah oleh ketombe. meski tetabuhan tetap bertalu, ulat bulu masih tertidur di kepompongnya, berjanji akan menjadi kupu-kupu yang indah dalam lukisan Shiela kecil yang asyik dengan pensil krayonnya. itulah gambar peristiwa yang sedang ditanggung oleh matahari. lelah. seperti mereka, kelelahan itu pun tampak belaka, terhentak oleh sol sepatu kerja yang mereka kenakan, mendaki tangga gedung-gedung kantor. semua elevator macet hari itu. kemarahan rindu seorang pencemburu telah menurunkan layar panggung. ganti adegan. sutradara tersenyum, juga juru lampu
demikianlah, kisah teater tak pernah berganti. juga hikayat lumut dan batu. meski begitu, rumput perlu disiram teratur agar semut betah bersembunyi di sela rimbunan rizomanya. siapa itu diam-diam mengunyah sebongkah umbi?
lantai retak. meja kantor berserak. kertas kerja menjadi klilip pada mata kaki. brankas terbuka kuncinya dengan paksa. mari bercerita tentang negeri kita. di sudut kelas ada yang membaca hak-hak warganegara. pak guru harus buru-buru, ada janji mancing di empang sore nanti. televisi matikan saja. saatnya mengirim telegram indah
aku harus pulang. selalu ada cinta untuk mereka yang haus. tapi aku tak punya kulkas, hanya selimut hadiah pacar kesekian. patah hati kesekian. puisi kesekian. marah kesekian. mereka bukan yang pertama. kita ini pecinta mesin fotokopi, kan?
ibu, ada terasi di dapurmu? aku akan membawa banyak tamu di beranda. jangan percaya kalau ada yang melamarmu jadi mertua. kau tahu, aku tak pandai memanjat kelapa: semua bisa dibeli di supermarket, juga santan dalam kemasan
tapi aku ini memang perindu. ada tiket di saku jaket. aku benci kereta, tak adakah metafora lain buat cinta?
*2003
Babad Kalacakra
menganga
gua kalacakra membuka pintunya. mengalir sungai dari rawa di dalam kemihnya. gua itu tertawa pada setiap kupu-kupu yang singgah, atau dengung lebah. ada yang runtuh di kejauhan. para ibu riuh di titian. ini subuh tak bertuan. sepasang gadis kembar membuka kain lembar demi lembar membuka rahasia paling nanar: ada hutan sedang terbakar
bintang bajak kusebut lagi dalam sajak ini karena di sana sembunyi para raksasa mengasah gigi seri, para petani menyeduh kopi. semoga dewi sri masih setia tak tergoda rayuan media massa. di dalam pelukan bintang bajak itu kanak-kanak bermain roda, mengajari para orang tua cara berbahagia bahkan jika hujan tak juga tiba
tangga kayu,
bawakan sebakul nasi merah menuju perhelatan para pujangga. juga tuak dalam botol-botol aqua. mereka sedang menggambar bendera, mungkin sedang berlumba memanah rembulan warna sumba
di ambang pintu
ada yang mengintip, sepasang payudara ingin menghirup udara. malam masih begini muda, ke mana perginya para jejaka? dara-dara pun beterbangan meninggalkan gundukan jerami, musim panen belum lagi usai. pelangi tampak kusut, masai. bedug dari surau di televisi menandai jejak matahari. apa kelanjutan kisah ini?
lalu berangkatlah merpati. ada janji-janji yang harus ditepati pada bumi. ada telur yang harus ditetasi dan pacuan yang harus dilintasi. mungkin ini halusinasi sebuah puisi tetapi merpati tak pernah menyimpan kerikil di lemari besi. meski tak bisa menyanyi, mereka percaya reinkarnasi
ada yang sedang mengaji
mungkin dari surau di televisi, atau gambar minaret masjid wali di koran pagi. di radio para kyai menawarkan resep mustajab: cara instan menjadi sufi
lalu saat maghrib tiba akan terdengar sayup-sayup suluk para wali yang tertinggal di angin kali. anak-anak menyimak. para gadis masih mengikatkan tali jerami di pangkal jari. para jejaka masih berolok sambil menggosok punggung sapi. ini mungkin juga ilusi
lalu semua kisah pun hanyut di kali senja itu. ada yang mengendap di cangkir kopi. sebatas daya ingat. tertulis kembali dalam puisi ini
*2003
Fermentasi Puisi
1.
sepasang mata itu menatapku seperti kedip venus pada bulan yang terlambat bangun. daun talas sobek tepinya. embun menetes di salah satu sudutnya, bersamanya melayang kartupos
bergambar cangkir retak dan langit warna pasir
seperti takdir: warna orange bajumu pun mubazir
2.
imajinasi tentangmu selalu membangunkanku pagi-pagi, juga warna sabun mandi. aku kehilangan warna bunga-bunga. mungkin karena hujan semalam. warna-warna memudar. juga cintamu
imajinasi tentangmu kini makin kelabu, seperti gurun pasir di gambar kartupos. gradasi ini bukan pelangi
3.
aku ingin mengiris puisimu untuk bumbu. aku sedang memasak. kenangan tentangmu mulai mendidih, saatnya memasukkan catatan harian dan surat-surat. sedikit takut-takut. ini pertama kali aku memasak sup
kompor itu menyala dalam paru-paru kiri. gedoran pada pintu, atau degub jantungmu? aku masih menunggu. hujan akan bertamu
4.
engkau sedang sembahyang, kutahu. ada kaus bergambar menara jam. demi waktu, katamu. aku juga tahu, tuhan telah hidup kembali. reinkarnasi dalam bank berjenis kelamin perempuan. aku ingin sembahyang, sayang. memuja wajahmu kembali
*2003
Memori Hujan Malam
hujan telah menjadi senyuman bagi rambutku sejak mulai kukenali bau tanah dan batu. aku tampung hujan itu dengan dadaku, dengan pusarku, dengan lutut dan mata kakiku. aku mengerti bahasa hujan seperti aku bicara dengan rasi bintang bajak dan jembatan susu, jauh sebelum aku belajar bahasa ibu
hujan yang jatuh malam bercerita dongeng yang beda. tentang rahasia dari setetes ingus hingga birahi yang hangus, dari dering telepon hingga sabun tergelincir di lubang kakus, tentang gosip tikus-tikus di lubang telinga, di bulu mata
hujan yang jatuh malam tak pernah bohong, karena gelap melindungi wajahnya. ia suka kisah misteri. aku berkenalan dengan hujan malam ketika ia menyodorkan sekupas durian yang wangi
dengannya aku berbagi rahasia. kuceritakan juga padanya tentang ibu yang mencuci celanaku, atau belaiannya menjelang tidur. aku tahu, hujan jatuh malam suka bersekongkol dengan para ibu, dengan ibuku. tapi bahasa hujan tidak seperti omelan ibu. hujan malam suaranya lebih merdu
aku cinta pada hujan. aku cinta pada hujan yang jatuh malam. ribuan tahun kami membangun persahabatan. malam menjadi pelindung kami dari dusta anak kali, kaca jendela jadi saksi
malam ini hujan jatuh. daun rambutan juga jatuh. aku ingin bermain hujan, telanjang. lalu bersama hujan aku jatuh, melayang bersama daun rambutan, meluncur di celah dada: punyamu
*2003
Merindukan Kekasih
siapa itu mengetuk pintu? aku ular sawah sedang menisik lumut di kulitku, masih ada seekor bebek di dalam perut. senja telah datang. ada dewa melayang dengan guci dan air hujan
kekasih telah mati terbunuh oleh film biru dan ilmu jiwa. tetapi buku suci tetap dipuja, seperti dongengan satwa menjelang tidur. atau wastafel yang setia kita kunjungi: penyegar muka pagi-pagi
siapa memanggilku? mungkin aku pernah punya kekasih. telah kubungkus dalam sampul surat. salah alamat. lalu kita berjabat tangan tanpa melepas sarung. kadang-kadang potret pahlawan terasa menggetarkan semangat, juga gambar-gambar erotis di majalah pria
ah, kita lelaki. kekasih mungkin hanya mitos yang kita rindu sembari kita ingkari, cukuplah ia dibingkai oleh doa dan buku teologi. ayolah, ada rumput mesti dipangkas, juga alang-alang di ladang
"di punggungku kutulis tattoo. ada dewi cantik telanjang memeluk bumi. di kepalanya menyala daun seledri dan mahkota duri. di sebelah kiri kugambar sulur-sulur dan buah kuldi. sekedar pengingat. juga anak panah dan tombak, berjajar dengan tulisan kaligrafi. di sebelah kanan gambar hati"
aku tak percaya pada kecantikan kupu-kupu. atau pesona ular laut di malam hari. jendela kubiarkan tetap terbuka. angin lebih cantik dan lembut, tetapi kekasihku hujan telanjang
maka kuulur kabel telepon ke dalam kamar, agar bisa kujerat lehermu dengan bisikan saat tidur
*2003
Lagu Nostalgia
minta meja untuk dua orang, ya. ada yang harus kami bicarakan. penting. tentu saja bukan soal puisi. ini soal hidup dan mati. masa depan kami
kalau nanti kami berciuman di sini, tolong tak usah peduli. kami ini remaja. belum begitu percaya pada agama, atau bahkan sudah lupa. bawakan saja hidangan anda yang paling istimewa. juga lagu nostalgia tentang cinta
kalau nanti ada airmata mengalir di pipi kami, biarkan saja. itulah cara kami menulis prasasti, agar ada bahan untuk buku diary. tetapi jika anda punya sedikit saran yang bijak, boleh juga kami dengar, siapa tahu jalan kami ini kurang benar, atau terlalu kurangajar. kami ini remaja. masih perlu banyak belajar
minta meja untuk dua orang, ya. kami ingin mendengarkan Frank Sinatra. lagu kesukaan orang tua kami saat pacaran. siapa tahu lagu itu membawa berkah, bagi kami yang sedang dirundung gairah. ada yang ingin tumpah, tapi kami belum mau menyerah
kalau ada orang tua kami mencari, dan kami tak ada lagi di sini, katakan saja kami sudah mengerti. bagi kami Romeo-Juliet adalah kisah basi
*2003
Berita Pernikahan
kepada EOM
ada tukak di lambung buku harianku. di sana mengalir Musi dan kota yang tenggelam dalam asap hutan yang dibakar. potretmu meloncat-loncat ingin melayangkan sebuah ciuman tetapi kau sudah tak punya perangko tersisa. di lidahku masih ada decap rasa kopi Pagaralam nomor satu, ungkapan cintamu padaku seperti aku masih menyimpan nomor teleponmu dalam daftar VIP juga puisi-puisi cinta atau foto-foto kita
aku tak pernah mengharapkan legenda perempuan gurun atau kesetiaan Otsu, di duniamu sungailah yang mengabarkan berita para perantau, tak ada angin berpasir di sana sedangkan aku adalah Sahara, atau anak gembala, atau sebutir pasirnya. kita telah begitu saling mengerti: kisah asap dan sisip kopi, juga puisi
engkau memang bukan perempuan gurun. telah engkau tetapkan batas penantianmu bersama daun yang jatuh, ada yang rontok di sini suatu tempat yang sama kita mengerti. aku hanya ingin menjadi si gembala domba yang mengejar mimpi. mimpimu telah berganti. aku mengerti
ada selembar uban yang jatuh, aku merayakannya bersama cicak dan pensil arang. biarlah kunikmati sepiring cerita sekarang dan kutimbun kenang sebagai kompos atau pupuk kandang, karena cintamu aku tak ragu. aku hanya rindu terik mentari: belajar bahasa ini bisa lama sekali dan aku senang engkau mengerti. aku ini Musashi, engkau bukan Fatima, bukan pula Otsu. engkaulah Musi. kucintai engkau karena tetap mengalirmu
dan aku akan tetap belajar bicara dalam bahasa angin, bahasa gurun, bahasa semesta
*2003
-32° C
(sore datang dini)
sendi ruas jemari kaki gemeretuk kaku nyeri oleh jepitan gigil winter, frost meruncing di ujung rumputan. sore ini aku datang di gerbang dairy farm-mu disambut bau kencing sapi dan kompos jerami, hanya ada sepi dan kristal-kristal salju melayang sesekali, tak ada keramahan. kehangatan seperti apa mungkin hadir dalam musim dingin begini?
tetapi ada hangat uap nafas menyapa bibir tropisku yang membiru beku dan sedikit kilat lip-gloss menjelma jadi birahi. hidung siapa itu menyala di sebelah pipi? sedangkan aku mulai bosan menjadi musafir, negeri ini terlalu beku dan tak lagi menyisakan peduli, tapi basa-basi apa lagi yang kuperlukan dari pelukanmu yang terperam berhari-hari?
(ada yang retak di sini)
seperti gergaji es dan garam pasir, seperti pisau sepatu luncurmu menggores permukaan yang mengeras oleh musim yang lain di album mimpi, mari kita masuk ke ruang yang hangat di mana ada kayu api, secangkir cider panas dan sekerat roti: kita akan membakar banyak kalori sore ini
(setelah pagutan pertama, dan sedikit percakapan basa-basi)
biarlah kita tunda dulu makan malam, aku masih mengeringkan kaos kaki. "asal jangan kau keringkan hati," bisikmu sambil kaunyalakan televisi. aku membayangkan dirimu menari, dalam langkah empat ketukan yang rapi, tetapi ada yang meloncat-loncat di jilatan api
mataku. mungkin juga di tungku api, atau radio melaporkan ramalan cuaca: badai akan datang besok pagi
(maafkan sayang, di mana kamar mandi?)
"mari kita merayakan natal lebih awal," katamu, karena desember akan membawa bau tubuhku pergi dari ruangan ini. lalu kaukenakan topi merah santa dan jaket tebal serat biri-biri
ah, betapa kurindu matahari
*vanderhoof 1995 – jogja 2003
Belajar Melukis
mungkin di sinilah asal mula kata-kata
mata air ini, rahim air mata: nutfah kata yang pertama
darinya meleleh air ketubannya menjelma sungai menghanyutkan kitab-kitab suci di setiap anak airnya, sedangkan bayi yang terlahir itu kelak berkalung ribuan nama yang ditulis dengan huruf besar dan lagu-lagu puja
ribuan hikayat ribuan tahun menguap
menggumpal lalu rintik, menderas dalam hujan menyiram humus menyuburkan sawah-sawah dalam hati para petani yang tiada henti mencari bayi: dalam diri
imajinasi menyeruak berupa bulir-bulir padi, harumnya melahirkan dewa-dewi, malaikat, dan piring sesaji. lalu matahari datang dengan seperangkat bunyi-bunyi dan sepotong foto bergambar fajar pagi. maka siang dan malam tak lagi seputih-hitam lukisan di dinding kuil-kuil para padri
kini, saat kata-kata begitu berwarna-warni
mengapa tak kita rayakan pelangi?
*2003
Prasasti Kelahiran
mungkin aku terlahir dengan sebongkah batu dalam dada agar rindu selalu terpelihara, pada terik kemarau dan geredap hujan pada atap, lalu keduanya melahirkan butir-butir pasir yang hanyut dalam aliran sungai tanpa muara, sementara kerikilnya menciptakan riam di setiap simpang aortaku
mungkin aku adalah anak kandung gunung karena dari rahimnya batu-batu bertapa dan kemudian terlahir dengan letupan penuh semangat, lengking tangisan paling kuat. mungkin aku adalah anak kandung langit karena di sana juga terkubur batu-batu sebanyak butir pasir dalam sulur-sulur darahku
maka sungai pun terasa sangat akrab, tak henti menyetubuhi batu dalam dadaku, seperti kisah incest Sangkuriang dan perempuan Sumbi. dan di pucuk-pucuk gunung bersemayam para lelaki menarikan ritual lingga atas nganga yoni di celah pusar bumi
sementara aku masih didera pertanyaan purba tentang ayah-ibu dan hikayat kelahiranku
lalu malam pun menjelma, menjadi kekasih setia karena siang dan matahari adalah dendam, sedangkan bulan dan gerhana malam adalah kenangan atas masa depan. semacam déjà vu, kukumpulkan serpih-serpih ingatan pada bau setiap kelopak rambutmu dan warna kerakap yang gigih mengikis batu dalam dadaku
dan butir-butir pasir masih tetap menjalari setiap buluh dalam diriku, denyarnya seperti riak gelombang lautan yang menghanyutkan, lalu menghempaskan tubuhku pada bibir pesisir:
mungkin aku adalah pokok pandan
atau sebongkah karang tua
tiba-tiba kulihat pasir di mana-mana
dan sebongkah batu masih di sana, dalam dada
adakah di situ kau baca
terpahat sebuah nama?
*2003
Breeding Season
karma
demam
rindu
kandung
tanah
langit
mega
pasir
koma
titik
ruas-ruas jari memanas oleh sel-sel darah yang mendidih. buku-buku belulangku berderak ngilu dalam tubuh manja. seperti mimpi-mimpi buruk yang mencubiti sulur-sulur otak. ada ular menggerogoti pencernaan dan demam masih menyembur dari ujung-ujung jari. aku leleh menjadi air. atau bubur kental. adakah tuhan yang kekal?
lempeng jam bayang mengukur panjang jejak dalam pantulan yang tumbuh. layar itu berwarna coklat tua. mitos kain mori adalah kebohongan yang pedih. tak ada yang suci selain darah yang mengering. bayang-bayang tak pernah berani menyapa dengan sapuan mata. mengapa repot melambai?
karma membentuk liat lempung yang kaucuri dari tanah kubur menjadi jambangan rindu bergambar kandung langit. arsir pasir menggores mega dengan ribuan titik ribuan koma. aku masih demam, sayang.
(telepon berdering lagi)
pulsa
rindu
kelapa
hijau
sungai juga meriang
gunung gerah ingin melepas kutang
laut memicing mata
pasir hilang kata
*2003
Katakanlah
katakanlah tentang monster vampir bermata merah tentang pisau bara menyayat-nyayat jantung tanpa basa-basi tentang malam-malam kehilangan mimpi tentang lelaki yang rongsok oleh debu kosmik terguyur di kepalanya tentang burung gagak dan burung pelatuk tentang daun jeruk dan kisah-kisah misteri tentang angka-angka di gambar proyeksi ilmu falaq tentang bilangan-bilangan biner yang mati menjadi bangkai dalam kotak komputer tentang rumah yang nyaman dan dapur bersih tentang gelegak birahi dalam setiap puisi tentang setiap pelukan tertunda tentang rentang tangan menunggu lepas belenggu tentang dada yang tercabik-cabik kuku pancanaka tentang rajah palsu kalacakra tentang malam tak diharap tentang romantika ibunda tentang kaki-kaki keranda yang timpang tentang punggung yang kejang tentang perempuan yang menyaksikan tentang mereka yang tertawa tentang panggung teater dan puisi tentang bayi yang tertidur pulas tentang sahabat yang datang tentang dada yang nyeri tentang pantai yang ingkar janji tentang lelaki laut dan nelayan yang masih bayang tentang para pejalan malam tentang cuping telinga yang haus darah tentang malaikat pembagi uang tentang hutang piutang tentang naskah perjanjian tentang hasrat yang mendingin tentang kulkas yang menyimpan remah-remah sayuran tentang masturbasi dan persekongkolan bintang-bintang atau sinkronisasi debu angkasa tentang telepon mesra dan sms cinta untuk sarapan pagi tentang selimut yang tebal tentang percakapan makan malam tentang roti bakar isi tuna keju tentang kopi tentang topi pemancing tentang sepeda motor bersadel kuning tentang puisi-puisi yang semakin ringkih tentang tanda titik di dalam larik tentang mata yang sebentar binar sebentar layu tentang apa saja juga tentang ramalan zodiak tentang jodoh
katakanlah tentang kaus bergambar menara jam tentang pangkal ujung tanda tanya yang melingkar-lingkar tentang senyuman yang mengulum buah dadamu!
*2003
Belajar Membaca Bima
betapapun kau ceritakan kisah Kurusetra
aku akan tetap bergeming dan mencoba hening
bila harus kutanggung dosa pertapaanku ini, akan kuberitakan hanya kepada daun-daun nyiur di pekarangan belakang rumah nenekku. perang tak pernah mengusik tidurku. seperti kebodohanmu mencintaiku, kebodohanku mencintai gigimu.
kelelahan tak begitu nyata mengganggu urat-urat, seperti papan ketik yang tetap berketuk oleh ujung jemari. mengulang ritual sehari-hari. seperti kesibukan di padang Kuru. ritual yang begitu kita kenal. seperti mandi pagi dan sikat gigi.
selongsong panahku telah kusimpan lama di para-para jantungmu. kini aku memuja rambut sendiri, lalu menyemai puisi di setiap ujungnya. seperti gigimu menabur debar di dada kiriku. tetapi aku bukan ksatria yang mengejan nyali oleh api pertempuran: kita menghafalnya sebagai doa.
jika aku adalah Bima yang gersang merindu air suci, maka biarlah engkau menjadi Sang Ruci. lalu aku menyibak lebat rambutmu mencuri pintu di telingamu. seperti kalpataru kaugendong di pinggang, di dalam dadamu kuingin mengunyah rembulan.
maka jadilah. di samudera itu bayangan peristiwa tenggelam dilarung ombak. riaknya terpercik di ufuk matamu. lalu menguap dalam rangkuman kabut kelabu dini hari. senyap. tinggal derap ladam kuda bedebam di ladang dada.
lebam. torehan bara di dinding rusukku masih terasa perihnya. hujan tak cukup basah. air mata bersembunyi di lumbung padi. katakan padaku bila kautemukan Ruci dalam samudera dadamu. agar segera kurasuk relung telingamu. dan aku segera belajar jajaran huruf. aksara yang menuliskan seluruh kisah ini.
suatu saat. akan kubacakan untuk mengantar tidurmu. tidur kita.
*2003
Sajak Jangkrik dalam Kotak Sepatu
erangan semalam adalah gelegak bubur putih untuk sesaji hari ini. ada baji mengunci kedua bahu lenganku. dari mulutku yang kering masih mengepul asap tembakau tropika, imitasi cinta dan agama, kuhembuskan pelahan seperti catatan harian. rahasia. lingga yang manja menjelma rudal-rudal para jenderal yang terbahak dalam masturbasi di kamar mandi. lalu puisi menjadi asap yang sublim dalam gelas kopi. perbincangan dalam hujan, semacam diskusi. fiksi. aku membenci televisi karena debunya menjadi klilip mengganggu mataku yang rabun. jangan tawari aku impian yang membuatku tertawa. aku mau berenang, dalam dirimu. maka kutuklah aku menjadi seekor jangkrik melompat-lompat dalam kotak sepatu!
*2003
Luruh Puisi
luruh. luruh seluruh kisah runtuh dari lembar-lembar daun tal. dan ngengat. sekelebat tersiar sepotong demi sepotong. ingat. rimbun daun pohon beringin dan sulur-sulur akar angin, melibat sepasang pecinta. seperti rambut ikal menyimpan anak kunci ke negeri antah. luruh. tukak kambium lepuh. hamil sekuncup tunas. akar angin. luruh. hikayat babad terungkap selapik demi selapik. tersuguh di cangkir kopi. bibirmu. selamat pagi, sayang. luruh. bapak mengayun kapak. kita perlu persediaan kayu bakar. tungku. tungku dari batu bata. dan wajan raksasa. ada perhelatan apa, pak? luruh. lengan ini sudah tua, anak. kita harus bersiap. musim dingin sebentar lagi tiba. dan pohon beringin mulai rontok. luruh. ini memang bukan negeri utara. musim rontok. tetapi lidah yang pahit telah kelu. gejala flu. jatuh. cerita-cerita tua. berulang. luruh. di televisi.
*2003
Sebuah Negeri Berwarna Merah di Seberang Sungai
kepada Randu
adalah Gangga. dan di tepian itu gadis kecil menggumamkan cerita pada bayang-bayang merah. mereka mendengar, katanya. aku tersedu. seperti kisah yang direbut dari dongeng keluarga, aku mendengar gumam yang sama. sungai itu mencatat diam-diam. pembicaraan ini seperti perzinaan yang tak semestinya. kamar tidur pun menjadi kulkas. mengawetkan remah-remah sayuran.
adalah Gangga, dan layar memantulkan bayang-bayang merah: senja yang beku, juga fajar yang marah. tetapi gadis kecil itu tak lagi percaya kisah Cinderella. ada anak tangga yang patah. juga dongeng pengantar tidur.
dan gadis kecil itu takut pada jendela. aku tersedu. di meja, sebungkus rokok dan secangkir kopi. siapa itu mengetuk pintu?
*2003
Sajak Demam
1.
demam ini menjadi kepompong bagi tubuhku yang rubuh oleh musim sungsang. langit berisik, para dewa dan malaikat sedang berdebat tentang garis nasib. telapak tanganku adalah air, katamu di dalam taksi. maka ia mengalir di pundak-pundak yang letih oleh batu. mengapa suka sekali memikulnya? demam ini kepompong dan aku ulat bulu. menggeliat menggapai kupu-kupu berwarna kuning di teras rumah. ada empat mata di sayap-sayapnya. kilasan-kilasan sekejap tentang garis lingkar tahun di batang jati menghitung patok-patok menandai jejak-jejak kejadian. dalam kepompongku aku membaca buku peristiwa. aku masih demam. suhu yang meninggi ini hanyalah tanda. aku tak risau. tetapi aku masih demam. kupu-kupu kuning pun masih hinggap di lelangit teras rumah sewa. mirip lelawa. akukah?
2.
mungkin ini aku. demam tak pergi juga. sms dari keponakan yang manis membelai kupu-kupu kuning di teras rumah itu. tak banyak yang percaya cinta. aku percaya demam di dada. juga debarnya. seperti selimut, ia membantumu terlelap. sedikit gesekan saja pada paha. lama sudah tak kudengar cerita. mari berkisah tentang fabel rimba. sungguh jauh lebih mudah ketimbang jadi manusia. aku ulat bulu. engkau kepompong. aku demam. engkau panasnya.
*2003
Minggu Pagi
/1/
telepon jarak jauh. menggambar subuh. kita dulu kartunis. pasti mengerti betul fungsi kuping dalam komik (bukan strip). itulah mengapa kupanjangkan rambutku. kuping bisa panas kalau telepon kelamaan. imbas elektromagnetik. kau tak henti menggelitik. kau suka ciuman di leher. lalu aku masturbasi dengan gambar seks di majalah indie. pada awalnya adalah puisi, pada akhirnya senggama basi. klik.
/2/
pembacaan puisi di acara ulang tahun. kau bacakan sepenggal roman tempat tidur. menghitung tanggal. berdebar. damn! sial!
/3/
selamat berfantasi. ini negeri kabel. adalah telepon yang menulis puisi. semua adalah setting yang pas untuk sebuah percintaan. juga cerpen koran minggu pagi. minggu pagi yang agak mendung. cocok untuk melakukan puisi.
/4/
maka puisi. klik.
*2003
Pada Akhirnya Adalah Waktu
aku memang sedang belajar membaca. membaca dada. konon di belahannya terletak jalan menuju langit. aku memang penari tetapi bukan tarian mimpi. aku menarikan puisi. puisi birahi. bukan sufi, karena aku pecinta kopi. dalam suaramu resah aku dengarkan keraguan. kita diikat oleh cinta yang jahat. tetapi biarlah aku mencintaimu dengan sebongkah jambangan tanah liat. tanpa harus diisi bunga. aku hanyalah penyemai kata-kata yang demam, merencanakan kencan perzinaan yang mendebarkan. persetubuhan haram yang nikmat. lalu senyum tanpa sesal. memaku waktu dalam lenguhan jarum-jarum jam. tetapi ada yang menulis kaligrafi di dada. padahal aku tak lancar membaca. lalu semua menua. pada akhirnya adalah waktu.
*2003
Arsitektur Cangkir Kopi
menara eiffel dan louvre kubaca dalam buku-buku teks arsitektur. anak-anak yang bergairah membangun istana pasir. bukan di pantai. di ruang-ruang kuliah. ada i.m. pei yang mencintai baja dan sekrup sebagai kuas dan kanvas. aku mengantuk. tetapi kita adalah anak-anak cuaca. mestinya kita bangun rumah panggung dan atap rumbia. tetapi kita lebih mencintai batu dan dinding. tak ada eiffel dalam lukisan di atas tempat tidurku. hanya langit hijau dan petani yang mencangkuli sepi. sedangkan louvre telah takluk oleh situs-situs candi, dalam riam-riam darah: museum itu. tak ada lukisan. tak ada lelang. tak ada lelang lukisan. di dadaku ada juga museum itu. di sana tersimpan buku-buku gambar masa kanak-kanak. dari potret pahlawan gundala hingga ki ageng selo. aku melukis petir di ujung rambutmu. arsitekturku telah kutafsir dalam puisi. meskipun selalu ada garis yang salah, perspektif yang tidak menjumpa titik. sedangkan mataku bukan milik burung, atau ikan. di sini tak ada ruang dalam, tak ada eksterior. ruang lahir dari cahaya. lalu terciptalah bayang-bayang. tetapi bukan eiffel. bukan paris. ia tak jauh. museum itu. sedang bergoyang. petir. gempa bumi. lalu aku melihat kelahiran semesta dan asal-usul puisi: pada secangkir kopi!
*2003
Komposisi Gagal Untuk Blues Harp dalam B Mol
kepada Cecil Mariani
ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam parau harmonika bluesku yang masih saja enggan melagukan warna biru. mungkin karena baju warna merah jambu bermotif cakram waktu, mungkin karena bibirku telah lelah menceritakan kisah-kisah dari sejarah Mataram Islam dan sisa batu gilang. mungkin pula karena jemariku yang gagu memeluk harmonika bluesku, karena telah terbiasa memeluk tabu di dada mungilmu.
ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam kenangan atas lukisan-lukisan tua, meski tinggal satu tersisa: potret kesepian petani dan langit hijau, teman tidur yang meredam mimpi-mimpi buruk. mungkin karena telah gagal kumainkan komposisi musik untukmu, dan telah menyerah aku pada kuasa harmonika bluesku yang telah menuliskan puisinya sendiri untuk bekal perjalananmu kembali besok pagi. semacam sarapan dalam kereta, atau ciuman perpisahan yang cukup lama. mungkin aku memang bukan petarung yang cukup heroik bagimu seperti tertuang dalam kisah-kisah saga dalam sejarah masing-masing kita. tetapi aku tetap mainkan juga harmonika sialan ini, dalam komposisi tak tercatat, sekedar menggaduhkan bilik malam ini, agar tak terdengar hingar-bingar di kepala kita, gelegar debar di jantung kita.
ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam catatan-catatan kecil yang kita tuliskan di remah-remah tembakau sigaret yang melekat di sudut-sudut bibirmu, semacam alasan bagiku menyentuh dagumu. lalu senyummu juga kedipan matamu akan mengisyaratkan sebuah percakapan makan malam, atau kita akan disibukkan oleh kesendirian kita masing-masing, kau dengan pensil grafit lunak dan kerrtas sketsa, aku dengan harmonika blues b-mol dan khayalan eros. maka secangkir kopi instan, seperti biasa, akan mengambil alih semua liukan nada dan mengajarkan padaku cara bermain blues yang sesungguhnya.
*kaliurang 2003
Ada Sehelai Rambut di Pahamu Yang Kurus
kepada Cecil Mariani
ada sehelai rambut di pahamu yang kurus. bersilang seperti sumbu-sumbu koordinat dalam gambar peta gairah. kautuliskan simbol-simbol dalam guratan garis menelusuri rautku yang letih oleh debu jalanan Jogja. polusi timbal hingga psikoanalisis mengalir bersama asap rokok yang bubung dalam meditasi kita atau tergelincirnya kopi instan hangat ke dalam lorong tenggorokanku. ada sehelai rambut di pahamu yang kurus. paha itu yang padanya tak bosan kutitipkan kepala tanpa jaminan, tanpa kontrak perjanjian. seperti lirik-lirik Noa yang kauhayati dalam senyummu yang murah hati. rambut di pahamu itu telah bercerita tentang cinta, kekasih setia yang pernah kaucandu seperti puisi-puisimu. begitu pun jemari tanganmu yang merekam gurat keringat bau hormon dan angin yang mulai kemarau, gerah gairah yang acak, kacau. kini di pahaku telah kupinjam kekasihmu agar aku bisa menuliskan puisi untukmu, dan kesaksianku atas rambut sehelai yang melekat di pahamu. paha yang bersilang seperti tanda jejak anak-anak pramuka di hutan kata. kini di pahaku telah kuheningkan sikapku agar menjelma menjadi sketsa yang brutal di buku gambar murah yang telah lama tak kugambari. masih putih, seperti guci porselen Dinasti Ming yang bertuliskan puisi cinta, pahamu telah menjadi kertas di mana kuketikkan puisi ini. kertas itu pula pengganti majelis Paskah yang tak sempat kauhadiri, demi puisi. maka sehelai rambut di pahamu yang kurus itu pun telah menjadi semiotika kita. akan tercatat sebagai dokumentasi jejak sejenak perjalanan menghindar, mengitar, mencari titik tengah. tetapi lingkaran kala pula telah mengembalikan kita pada ziarah di kota lama, di sana kautunjukkan kepadaku makara di ambang gerbang rumah Kalang. aroma perak menjelang Maghrib di masjid tua itu menggariskan jejala menakar skala peta kosmik yang sekian lama kita bahas dalam perbincangan. juga angin sejuk di pekarangan belakang istana raja, dalam kipasan beringin dan tudung ketapang, lalu kuhiasi dengan polusi asap rokok dari sigaret Amerika dari celah bibirku. kini di pahaku telah kupinjam kekasihmu untuk menyanyikan jazz itu, agar dapat kutuliskan puisi ini. lelaki renta yang kalah dalam permainan yang tak diikutinya, terpuruk oleh kesombongan senyummu yang lucu, juga ciuman-ciuman tanpa basa-basi. lalu semua cerita sehari ini akan menyusut nanti dalam segores garis yang kaugambar di buku sketsa murahan anak sekolah dasar, atau segaris rambut sehelai yang menempel di paha kurusmu yang porselen, yang kurus.
*kaliurang 2003
Sajak Uap Nafas*
dada ini keranjang yang mencoba menangguk air
tetapi bulan belum penuh, maka bersabarlah
setiap malam kita begitu lepuh, rebus dalam marah
ringas yang kerontang. lalu telah diperkenalkan
kembali danau di tanduk-tanduk kepala kita
setiap kesumat telah dijudulkan dalam sajak
tetapi ada yang meringkuk di sudut sel, menolak
menjadi musuh bagi matahari yang mencuri masuk
dari kisi-kisi. pintu telah lama ingkar terkuak
wajah yang tengadah telah mengelupas, mengerak
kita terkutuk sebagai saudara rahasia. membagi
aliran darah dalam bibir cangkir minuman kita
begitu pula lingkaran doa, malam tetap harus didada
dengan kemarahan sekali masa, isak tangis seketika
tetapi selalu ada yang bersembunyi di balik tirai
ketika cermin terbalik dan cahaya menusuk lubang
hidung. mata kita telah rabun, cekung melumpang
oleh derap hari-hari yang meninggalkan, melayang
kadang-kadang tangan ini rindu menggambar kembang
dan sayap kupu-kupu yang mulai cabik dan berlubang
ketika usia terkuak dan topeng kita telah luntur
bedaknya. tinggal debu yang tersisa di klilip mata
lalu pedas yang kita rasakan itu kita ingkari sia-sia
di mana genggaman tangan itu akan kita simpan
bila setelah perjamuan kita akan kembali tidur
dalam kandung ibu yang selamanya tak pernah kita
tinggalkan. seperti denting piano yang selalu terbaca
sebagai sobekan foto tua warna sephia: emulsi doa
mungkin waktu telah menipu selama ini, mungkin saja
pelukan kita tak akan mudah dipahami, kecuali oleh puisi
tetapi sudahlah. dada ini memang keranjang berjala
renggang. dan air biarlah tetap mengalir, atau melinang
dan seperti gembala piatu yang telah kauceritakan
semalam, bocah itu akan kembali menekur dirinya dalam
ringkuk di sudut sel. mencoba menepis matahari yang mencuri
masuk lewat kisi-kisi. menghangatkan bola mata yang pucat
hingga terbasuh semua kisah riang, semua kisah luka
lalu himne akan terdengar dari kuntum-kuntum bibir
sambil jemari kita mengurai benang-benang, menggulungnya
kembali dalam jentera yang telah kita kenali iramanya
*2003 (judul oleh Cecil Mariani)
Lomba Menggambar
kepada Shiela Aspahani
lihatlah Shiela dan meja pikniknya
ada kertas di atas meja itu. Shiela sedang menggambar
Shiela menggambar pohon. daunnya biru. ia tak suka menggambar api. Shiela suka menggambar matahari kuning oranye. Shiela menggambar perahu di dalam akuarium, dan putri duyung berwarna ungu. "dia sedang flu," kata Shiela malu-malu
Shiela menggambar balon warna maron. "warna merahku telah habis," kata Shiela. kemarin ia memang menggambar perang. Shiela menggambar mega. ia tampak ragu mewarnainya
Shiela menggambar petak sudahmanda. merah, kuning, hijau muda. seorang anak duduk di pinggirnya. "kakinya luka," kata Shiela. mungkin kena pecahan kaca. Shiela menggambar laut, ada gawang sepak bola di sana. "lapangannya terbakar bom," Shiela tersenyum simpul
Shiela menggambar langit
senyumnya menguap seketika
*2003
Doa Rumah Yang Rapuh
wahai rumah yang rapuh
dengan ujung telunjukku
ingin kutuliskan sepotong nama
pada lapisan debu di dindingmu
sesuatu yang kelak akan terlupa
tetapi setidaknya setiap penggal
jalan mesti ditandai
seperti gigil demam ini
bukan karena virus flu
tetapi aku mendengar bisik
seperti tonikum untuk debar dada
menjelang sarapan pagi
segalanya sempurna
siapakah berani menyuarakan
bisikan semesta, seolah kesucian
hati adalah mahkota yang layak
dibanggakan. bersahabat dengan malaikat
sedangkan aku ingin memelihara setan
dalam deru darah di rumah yang hampir rubuh
agar ada yang selalu membuatku menangis
saat malam yang rabun menggoyang tiang
di ruang tengah. hingga hanya ranjang
tertinggal dengan kelambu bergoyang
dinding bilik tidurku telah terbakar
kayunya di sana-sini, berlubang nanar
aku merindukan mimpi, dan sengguk tangisan
tengah malam. membangunkanku dari lelap
dengan sesak dada dan panas saluran nafas
wahai rumah yang rapuh
dari lubang di tingkap atap
aku melihat bintang-bintang menari
mengejekku dalam dendam yang binal
sedangkan demam ini bukan metafora
yang kutulis dalam sajak-sajakku
lantai tanah telah mengelupas
rengkah seperti tulisan rajah
mengikat kisah-kisah pertempuran
dari padang kurusetra
hingga ladang dada
sepertinya ini puisi doa
memang bukan dalam suci sajadah
atau butiran biji tasbih
tetapi cinta yang berdebu
di pipi yang langut oleh alir
air yang jatuh sebutir-sebutir
tangisan itu datang dari planet venus
yang lama bersemayam dalam pusarmu
cintaku mungkin akan ditolak oleh surga
bahkan juga neraka. tetapi telah diberikan kepadaku
sebungkus bekal ini, tak adakah ruang untuk
sebuah anomali, bayi yang ingkar ini?
wahai rumah yang rapuh
di ranjang ini ada naskah belum selesai
bila ingin kulukiskan namamu dalam kaligrafi
aku akan menggambar sebuah garis
semacam tanda yang hanya engkau mengerti
memang bukan sebuah ayat yang suci
tetapi ada lantai yang masih hangat
oleh cerita terjebak di sarang laba-laba
(rumah yang rapuh itu kini bergoyang
pelahan oleh lambaian pucuk daun alang-alang
bunyi seruling gembala akan membuatnya
menangis lagi malam ini)
*2003
Blues Harp
dua ujung musim yang kerontang telah merabuk ladang gandum kita. seperti catu jagung tergantung di para-para lumbung. kerinduan kita yang ronin, tanpa alamat pasti. perniagaan sepi. kita pun bertukar hasrat. sekedar meramaikan kamar jantung kita. sebuah salsa dan ketukan telapak kaki tanpa sepatu. kita bersijingkat mencoba endap dari hiruk-pikuk di benak kita. masing-masing membelokkan cerita. tetapi ranting akan tetap berderik oleh gravitasi tubuh kita. lalu malam pun bunting, siap meledak pada purnama yang kita sepakati. siapakah pungguk di antara kita?
sering kali kita percayai gumam birahi sebagai puisi. mungkin ada yang sedang kita lupakan. sesuatu yang selama ini kita cari. entah itu darah yang mendidih, entah blues harp yang merintih.
*2003
Teguh Setiawan Pinang (TSP) adalah seorang pecinta puisi, meskipun bukan penyair. Dilahirkan dari seorang ibu guru SD dan ayah petani, di desa Semirejo, kecamatan Gembong, kabupaten Pati, Jawa Tengah, 1971. Tidak pernah mengenyam bangku sekolah TK dan menjalani masa sekolah sampai SMA di Pati. Menyelesaikan kuliah arsitektur di UGM Yogyakarta, yang sempat 6 tahun ditinggalkannya demi memanjakan kegelisahan dan kemalasannya, namun tidak cukup percaya diri untuk menjual ijasahnya di lapangan kerja. Alih-alih, ia memilih menjadi buruh lepas dan paruh waktu di sana-sini demi menafkahi dirinya sendiri. TSP mempercayai cinta sebagai agamanya, dan puisi (kadang-kadang) sebagai sembahyangnya, meski diakuinya ia bukan orang yang rajin sembahyang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar