Kumpulan Puisi

Kumpulan Puisi Anggoro Saronto Hasan Aspahani Jibsail Nanang Suryadi Ramon Damora Sihar Ramses Simatupang TS Pinang Kata Pengantar: Ibnu Wahyudi Anggoro Saronto Bulan Palguna Engkaukah pemburu tapi dimana kau simpan busurmu, ucapmu suatu waktu panah patah gendewa lungkrah, ibu jari persembahan pada upacara yang ia selenggarakan tanpa suara, mungkin ia terbiasa mengalirkan darah pada sungai kegelisahan, memotong satu ibu jari menemani sunyi, mungkin ia menyimpannya dalam torso diantara gumpalan payudara, menjadikan ajimat tanpa riwayat, mungkin ia menanamnya di bawah arca, menjadikannya sesembahan atau sekenang purba. aku bukan palgunadi yang memanah setyawati, aku bukan palgunadi yang memotong jemari sendiri, aku bukan palgunadi yang melarak palguna permadi bulan palguna, sesungguhnya aku pertapa yang menunggu supraba. Depok, April 2003 Mari Kita Bersulang Darah! :Nanang Suryadi Abidin Engkau mengiris nadi, tetes darah adalah pengorbanan. Lekat pada pucat traso, mencetak magenta gugur daun ornamen kelelahan. Darah yang dituang pada mangkuk gading mamout mengunyah sejarah orang kalah. Mari kita bersulang darah dan asin ludah! Betapa pendek hidup untuk menekuri sesat langkah. Telah kau kumpulkan jutaan kata bertebaran sepenuh kesabaran kau hisap embun pada ujung daun. Menaruhnya pada tempayan tanah tempat para pelancong mereguk lelah dingin ubin merumrum sumsum. Hingga tubuh mengalum daun. Engkau tak sempat lagi menjelajahi kegelisahan karena telah kau ungsikan pepat mumat kepala pada pohon-pohon keterikatan. Tangan dan kaki menjela-jela penuh teriak kesakitan Berikan aku kayu, berikan aku kayu akan kubuat sajak pada tanah basah, ucap kau sengau parau Mari kita bersulang darah dan asin ludah, sajak telah mendarah luka pada muka kita yang menua! Muria Ujung, Maret 2003 Miji Pinilih Engkau pemberi tanda waktu. Saat jam-jam gamang menatap matahari kusam tertutup awan. Senja yang beranjak terlalu awal. Kegelapan memicu detak-detak waktu bergerak ke arah tempat-tempat tak mengenal detik Hingga kau menduga-duga kapan matahari pudar sepenggalan siang. Membaca angin mengabarkan kegelisahan. Dinding-dinding tempat jam-jam telah ditanggalkan. Almanak meruyak, angka-angka berjatuhan. Angka tujuh yang menusuk lantai tanpa permadani. Warna hitam dan merah menulisi sepanjang ingatan akan kekosongan wajah lantai Wajah-wajah teraksir dari ribuan angka. Hitam pada segenap muka, merah tepat pada mata. Menyala-nyala, matahari yang muncul dari lantai. Setiap wajah dengan dua matahari merah. Orang-orang tak tunduk lagi pada aturan detik. Mereka menciptakan waktu dari matanya. Dan engkau terbata-bata membaca sang waktu. Muria Ujung, Oktober 2002 Rumah Kertas melipat kertas menyerupai rumah. jemari kanak mengembara ke sembarang surga. genta tepat di atas gerbang, barisan suplir memagar angan tak lompat dari jendela. pintupintu menyembunyikan penghuni yang diam ditempatnya engkaukah duhai, antigone. lambai hijau kenanga pada bahu asing yang memikat. dahi bercahaya, juntai helai rambut kerinduan akan serbu kunangkunang. mahkota yang dihadiahkan alam atas perilaku menciumi bunga ambrosia, bunga olimpus hembus di mekar dada. meminta nektar, menjamu cawancawan keemasan, denting piring, wadah lilin keperakan setarikan garis seperti bintang jatuh. cahaya, tak mengenal kemarau. rintik gerimis tak menjadi hujan sungaisungai menciumi kaki yang lelah menapak rumput. sycamore yang tak beranjak tua. lamunan menyentuh rumah kertas, angan yang terbebas. duhai antigone, jemariku menulis cerita menuju sebuah rumah. Muria Ujung, September 2002 Pohon Badam telah patah jemari yang kujadikan pengganti pinsil menulis dengan darah. merah sepekat wajahmu yang birahi kertaskertas beterbangan enggan kutulisi ia dengan gamang daundaun berjatuhan dari atas kepalaku, mengering coklat bagaimana aku dapat menulis pada siripnya yang getas? kertaskertas telah jadi burung mematuki tubuhku yang mulai menjadi pohon demi tuhan, aku ingin menulis liris untukmu! biarkan aku menulis di dadamu. di dadamu. sebelum malam mengubahku jadi pohon badam. pohon badam! Depok, April 2002 Kupu-Kupu Ungu : Jibsail Kupu-kupu ungu pada bahu melekat sebagai tanda lahir atau jilatan lidah api neraka. Mungkin kutorehkan dengan pisau kenangan, sebagai kupu-kupu berniat hinggap pada bunga susumu rekah pada rengkuh saat kelenjar kelelakianku bagai bius menggerus segala kisah kamasutra serupa rayap melahap halaman demi halaman menjadi serbuk segala kisah penaklukkan lelaki akan perempuan segumpal payudara yang diam menelusuri kisah anak cucu adam. Telusuri riwayat hingga sampai pada bab nelayan terdampar pada pinggir pantai. Nyanyian anak laut pada pasar malam adalah tawaran arak beserta bantal. Ikan-ikan yang dijemur adalah paha-paha yang beradu dengan lamur lampu petromak mungkin telah kupungut sepukang paha saat malam belum genap benar. Menjadi segumpal payudara yang diam menelusuri kisah anak cucu adam. Depok, April 2003 Pemungut Ranting Orang-orang datang padaku dan bertanya mengapa aku memunguti ranting kering pada rimbun hutan, aku memunguti sisa kehidupan, kematian yang masih berguna karena kelak aku membakarnya jadi api unggun. Pada bayangnya aku masih diijinkan melamun, mencuri senyummu yang hilang dibawa angin bertahun kerinduan. Aku dapat membakar surat yang tak sempat terkemas olehmu, karena hujan telah terlanjur deras saat itu aku memunguti jejak mengarah pada sebuah tanah lapang, dimana kebebasan kerap kali menyesatkan karena kita tak lagi berpegangan tangan. Mungkin sebuah masa pembebasan menjadikan kita mulai tahu makna kerinduan. Mungkin juga tidak, karena kita terlanjur mengemas bulan sendirian orang-orang datang padaku dan bertanya mengapa aku memunguti ranting kering pada rimbun hutan, aku melatih diri membaca isyarat ranting patah silang agar dapat kutemukan jejak permakluman atas kesalahan masa silam. Muria Ujung, April 2003 Bukit Pelaminan Kitab sekedar penghias almari pertontonkan iman dalam sorban dan jubah “Aku akan jadi ahlinya memandu kalimat yang luncur dari madu bibirmu,”janji tubuh berkelamin lelaki Maka perempuan itu memegang ujung terompah berjalan sepanjang bukit arafah berbekal kendi dingin, tersiar kabar hingga telinga gurun tak akan memberi setitik air bagi luka di kerongkongannya Perjalanan ini menuju bukit pelaminan bilakah bukan mengapa bilah pedang mesti dipersiapkan bagi segerombolan penyamun gurun tetapi apa yang mereka rampas dari ampas rasa sakit dan ketakutan yang telah bulat menjadi keberanian tanpa perhitungan? “Sesungguhnya aku perempuan pemandu bagi lelaki yang tak pernah benar-benar menyimpan kitab dalam dadanya.” Depok, Mei 2003 Seperti Kisah Untuk Alina “Aku punya sekantung kerang, air laut negeri seberang,” tulismu pada surat Aku punya batu kehijauan, kima, karang, dan pasir pakumbahan “Aku penyuka senja, angin, jingga, serta temaramnya,” tulismu pada surat Aku punya gunting serta dinding pucat, dan aku perlu sedikit perekat Mungkin kita perlu duduk pada pantai yang sama pada senja yang sama, dan mulai menggunting langit seperti kisah untuk alina. Muria Ujung, April 2003 Rumah Pasir rumah kita adalah rumah pasir yang dibangun semasa kanakkanak pada pantai pulau lampau berwarna putih mengkilat terkena semburat matahari walau sesungguhnya agak kecoklatan seperti kulit yang menantang panas matahari sepanjang siang halaman kita adalah sepanjang pantai tempat kita jejak cerita akan tulisan aku mencinta senantiasa hilang tertelan buih penyerta ombak tak ada keabadian sedemikian kau menangis saat rumah pasir terterjang ombak ganas bulan januari namun jemari kita selalu mencari jalan membangun rumah pasir seperti jemarimu mencari rumah keong hiasan dada dan telinga serupa leontin mas kawin waktu merubah garis pantai semakin menjorok ke laut, merubah tubuh kita semakin tua seperti cinta yang alpa dan kita bukan lagi kanakkanak yang tak pernah letih menjaring mimpi. Depok, Mei 2002 Tentangmu Telinga yang tak lagi setia, meniupkan cerita tentangmu. Irisan kecil peristiwa serupa kaca menyayat, setiap tetes darah adalah gelisah memetakan arah lewat isyarat-isyarat kaum buta. Tasbihkan aku sebagai peminta. Melayarkan doa-doa dalam perahu menuju subuh pelabuhan Engkau Kekasih, luruhkan cinta pada sungai-sungai kesangsian, muara laut pembebasan. Tersekap aku dalam dekap perasaan tak bermuara. Cadik-cadik tercabik, kayak-kayak terkoyak, perahu-perahu melulu tentangmu namun dermaga berkabut tak pernah menyambut perahu bersauh. Tikamlah cantik, tikamlah badik, agar luka ini senantiasa bercerita tentang kesedihan menuju dermagamu Layarkanlah aku ya Kekasih pada aliran sungai-sungai keyakinan, muara laut pertautan. Menuju dermaga rasa ikhlas atas segala buruk rupaku. Muria Ujung, Februari 2003 Sebuah Pena Aku melingkari sunyi saat nyanyian seorang cenayang berakhir kartu berikut telapak kubungkus dalam sekotak pandora. Tak ada yang tersisa kecuali rasa aneh karena lentera ada di ujung jemari namun nyanyian kadang berubah jadi segulung gelombang aku menjadi ikan tanpa insang terdampar pada pasir menggelepar-gelepar sebuah telaga tercipta dari airmata namun keramba menjaring tanpa tuba, ditiup nafasku ke ujung pisau saat sayat mengiris tipis sesisik igau aku menjelma pisau yang mengetam sehelai kertas mungkin seharusnya aku menjadi pena, agar dapat kutulis tiap lembarnya menjadi sajak cinta. Muria Ujung, April 2003 Terkadang Kita Sebatang rokok pernah kuselipkan pada asbak di meja perjamuan, lantas engkau mengangkat gelas sebagai perayaan kebebasan pergi dari kepungan asap kemarahan kita masih terjebak pada makanan pembuka namun kita telah mabuk dan meminta hidangan penutup Demikian terkadang kita membenci agar punya alasan untuk pergi. Muria Ujung, April 2003 Titik Tentara-tentara yang berjajar sepanjang pelataran. Serupa barisan semut merah, semerah amarah. Kirmizi pekat ini melekat pada luka di mana luka ditusuk dengan bayonet menyeret-nyeret ke penghujung sepi Padam amarah menyepi huni. Runtuhkan separuh bangunan. Musim gugur menjatuhkan luruh daun pada sela-sela tingkap jendela. Bau tanah dari retak ubin, meruap luka yang minta disembuhkan Dinding-dinding sedingin wajah kematian. Kusen tak berpintu menyerukan kepergian ke lain dunia seperti tubuh-tubuh menjanjikan cerita tentang kehidupan Seseorang mengabarkan kematian pada rumah-rumah sepanjang perjalanan, menuju suatu titik akhir. Sebuah rumah peristirahatan panjang. Muria Ujung, Desember 2002 Sepi Tetamburan di dadamu menguap, lenyap sewaktu hari membasuh jadi jam mati kesunyian rasa membiru, telaga yang menelan sepi sebutir air jatuh sebagai jarum menghunjam lantai Nyaring. Lantas kudekap detik agar tidak mati Jakarta, September 2001 Berita dari Medan Pertempuran Akan kuceritakan kisah pedih sepanjang teluk. Mencermin wajah akan luka tertusuk katakata yang dikirim dari peperangan. Aroma yang tak kunjung usai, dari belahan dunia yang tak terjamah khayal Senandung duka yang diterjemahkan sebagai fotofoto masa mendatang. Belum tertata selagi album pernikahan menanti kekasih pulang. Kirimlah kartu pos ke alamat yang pernah kau singgahi selagi penat Rambutku mengurai, di setiap helai terselip cemas akan beritaberita kematian. Serdaduserdadu memanggul senjata, barisan kerinduan tak tergantikan. Maka kuciptakan penantian panjang selama lamunan tak diungsikan keluar dari medan pertempuran. Jakarta, September 2002 Sedemikian Kulihat Tuhan di Matamu Pada meja perabuan papa, aku berdusta Entah wajah siapa yang kukenakan, karena seringai kuinapkan pada rumah tetangga Berkiblat aku pada menaramenara kesepakatan, merebah sujud ketakutan akan rasa kehilangan Aku musafir di dalam mimpi. Telah kujungkirbalik logika. Mengembara hingga tundratundra rumahrumah persembahyangan, jamah halaman pembuka tapi kuakui memamah tanpa cela Engkau perempuan oase padang pasirku. Aku menghamba pada teduhmu.Sedemikian aku melihat Tuhan pada matamu! Jakarta, Juli 2002 Lumut Belukar itu merambati pohon jati seperti kakiku yang tertanam pada rimbunnya hutan. Lumut itu hidup di pokok kayu bahuku yang telanjang Binatangbinatang lalu lalang, mereka pikir aku sejenis perdu Aku belukar yang melingkari sepiku sendiri akan ikrar tak terucapkan Seekor ulat punguti serpihserpih daundaun tua masa laluku Aku masih harus menyamar Depok, Juli 2000 Sebagai Zulekha Kata-kata jejarum praduga. Meluncur dari bibir prasangka. Merusak pondasi setengah jadi. Kontur tanah tak selentur kata-kata, berjatuhan pada rumput tak tersiangi. Lembab tanah menggambari pondasi, lumut dan semen retak. Bersak semen membatu kelabu, wajah kemarau percintaan Pohon tumbang adalah tonggak sesaji, menyan, dan mawar mati. Bersemedi, memuja buah dada serupa kuldi. Tak tersentuh, tak Arca sesembahan pada ujung belati: “Cintai aku seperti tuhan memintamu!” Kularikan syahwat pada tawar kidung-kidung malam hari. Kitab-kitab memuji perempuan dari gurun-gurun kerelaan. Tak pernah dipintanya lelaki melata seperti ular berderik, garisi gurun dengan sisik. Angin akan mengaburkan tafsir keliru, menempatkan kita sehakekatnya sebagai zulekha melekat pada yusuf, kesungguhan sesungguhnya. Muria Ujung, Maret 2003 Setengah Kuldi “Di dadamu yang kuyup kau tangkup kedua belah telapakmu pualam susumu madu dan mentega sungai Yordania.” Aku memberimu kehidupan lelakiku saat kau suap tubuhku Rabuk kesuburanku ialah benih semu biji-bijian pohon kuldi punyamu Kenikmatan yang kau rampas dari perjanjian jaman batu dimana lontar-lontar berkisah lingga yoni kau nikmati kini pada situs-situs pemuas birahi Kekasih, aku hawa hambamu berbagi setengah kuldi denganmu. Depok. Desember 2000 Piano Kesunyian perempuan terbungkus dalam gaun berenda jauh tersembunyi dalam lipatan dadanya yang diam Pengantin perempuan yang menjemput bahagia namun garis pantai menumpuk peti, koper, dan piano Payung merah tua peneduh luka pertama pengantin pria terlambat ke pemberkatan karena musim panen telah tiba Camar berputaran seperti ingin meminjamkan sedikit kebebasan namun angkuh tebing dan pekat hujan memenjaranya dalam sepi Piano hanyalah pajangan seperti cermin bulat jaman Victoria, desis pengantin pria berjas gabardin “Piano adalah suaraku. Kau hanya akan dapatkan tubuh pucat dan layu. Tanpa getar samar dari balik korset violet.” luka kedua, piano yang ditinggalkan Dari atas bukit hujan menderas piano dan garis pantai memandang ganjil ke arah bukit nyanyian beku karena tuts-tuts tertutup terpal “Piano adalah nyawaku. Tubuhku terhenti antara pantai dan hutan. Tubuh palsuku yang akan mengabdi sebagai mempelaimu.” Pria itu menikahi kayu mawar. Setengah belahan jiwanya tertahan pada pantai. Muria Ujung, Mei 2003 Paranoid orang-orang menjadi gila saat mereka sadar mencintaku: maka dibangun kastil pada tebingtebing jiwa labil, pohonpohon pinus tusuk langit melingkar menara, sebuah jendela isyarat yang ditutup namun tilam malam meniupkan namaku, berdengingdenging penuhi ruang peraduan, maka disumpal telinga dengan kapas pencegah lirih hela nafas sekalipun, mereka pikir derita cinta akan berakhir namun mereka punya mata, menangkap gerakku pada gerai tirai peraduan, menari seperti pelacur jantan dan diayunkannya pedang, koyak kelambu kalbu dengan penciuman mereka cari jejakku, para pencinta yang birahi hunus belati aku menari menanti mereka seperti hamba sahaya yang dilecuti punggungnya, merangkak, mengerang layaknya binatang jalang mereka mengurungku seperti segerombolan singa betina, aku berubah menjadi menjangan aku ingin menjadi apa yang ingin mereka jadikan mereka menerkam, birahi yang dipendam jamjam jahanam. tubuh menjanganku terkoyak delapan, masingmasing mengerat hangat tubuhku untuk diseret pulang mereka pikir mereka menang. aku berubah jadi bakteri mengalir di aliran darah mereka orangorang menjadi gila setiap bulan purnama, mereka bermimpi bersetubuh denganku. aku tertawa dalam tubuh mereka: mereka beristimna Jakarta, Mei 2002 Sebuah Kota Yang Dicoret Dari Peradaban Sebuah kota yang dicoret dari peradaban bernama kepastian. Telah kujelajahi petapeta kuno dengan mata lelah, hingga halusinasi menyeretku ke abadmu Tak cukup kalimat dalam lontarlontar perselingkuhan tersembunyi di bawah altar, hikayathikayat negeri istambul tentang loronglorong keraguan, papyrus yang bercerita selinap perempuan terbungkus pengabdian ke piramida Namun tak kutemu titik kota bernama kepastian. Melanglang angin ke tenggara menjenguk pedih ribuan penantian bernama ketidakpastian. Menemu wajah, mengambang dalam kolam serupa teratai. Tak tersentuh tanah tempat kaki berpijak Melangit, setelah penjelajahan pada bumi tak jua menemu jawab pasti pada abad manapun. Namun langit tidak memberi isyarat kota bernama kepastian. Maka kuciptakan kota itu dalam peta dadaku, semalam. Muria Ujung, September 2002 Dimanakah Dikau Kekasih? Kalimat-kalimat telah direnggut masa yang terlewat, hanya tersisa sebuah kata seperti tanya tentang rusuk. Kuletakkan pada tubuh yang mana, yang telah tiba, atau tak terjamah mata menyambut dadaku pada tahun ke berapa? Tak tahukah kau, telah tersangkut aku pada ranting-ranting, menjatuhkan aku seperti daun-daun tua penjemu. Menjadikan aku masa lalu. Menulisi tubuhku dengan huruf-huruf lama. Memandang wajahku sebatas kenangan Aku album foto tua berwarna sepia. Buku harian yang telah ditinggalkan pemiliknya. Aku serpihan kecil remah-remah kata cinta. Tak tertera namaku pada kening, atau tergurat pada telapak. Aku mencarimu terjatuh pada belahan kota manakah dikau kekasih? Pada pinggiran sungai aku membaca sajak kesepian. Tapi tak kubaca isyarat bunga ilalang liar di sekitar. Pohon tanjung sepanjang trotoar menjatuhkan bunganya. Putih dan kecil. Tak kucium harum waktu mendatang. Kolam tengah kota menyampaikan salam teratai merah. Namun tak menjamah jantungku Telah diikat tubuhku pada seseorang dengan tali merah tatkala di surga. Tak akan tali terlepas walau badai menghempas. Demikian aku membaca percaya. Maka aku menanti sesabar bulan berjumpa matahari Bulan menjanjikan lelampu malam seperti matahari menjanjikan cahaya siang, tapi kerap kali cuaca menggelapkan alam. Aku meraba-raba dalam diam. Kecemasan merayap, para pengantin perempuan telah terjemput waktu Aku menjadi angin berhembus, pada setiap kota kutitipkan kabar tentang keberadaanku. Agar kau baca isyarat angin dan melayang menujuku. Namun tubuhku tak berbau, tanpa suara, cuma desir lirih. Dapatkah kau mendengar tiupanku pada setiap lilin yang dinyalakan perempuan, saat mereka meminta belahan jiwanya? Engkaukah itu yang khusuk memintaku pada kain panjang, segenang air di matamu danau bercahaya kemilau. Bertaburan pinta, tetaburan bintang. Katup matamu menjatuhkan embun pagi. Menetes, jatuh ke lantai, ke tanah, ke sungai, ke laut. Menjadi hujan, menjadi hujan. Beri isyarat kapankah itu karena aku angin menggiring air matamu yang telah jadi awan. Kita jatuh pada saat yang bersamaan, pada tempat yang sama, pada belahan hati yang sama Akan kau temu pukau hatimu, padaku. Hanya padaku. Muria Ujung, 2 Februari 2003 Lelaki Berwajah Entah :Anggoro Saronto Lelaki berwajah entah, merajah tapak mengarah pijak. Dunia tergenggam dalam genangan darah. Demikian resah samarkan wajah manusia tanpa penutup kepala, tapi ditutupnya mata dengan sekelat. Seruak semak-semak duri, goresi bahu kaki. Kaki adalah mata angin, naluri adalah peta. Jelajahi sudut-sudut keterasingan, perangi segala kemustahilan takik kota runtuh dengan tusuk kundai, mencetak sajak pada roboh tembok. Gundukan puing, pecahan beling, kepulaga busuk, buruk wajah terbentuk. Pohon pinus mengaksir matahari langsir, bayang hitam itu luka yang terpendam. Matahari mencerahi tanah, keriangan yang diraup sepenuh khilaf Lelaki berwajah entah, merajah tapak mengarah pijak. Tak menakar, akar di rambut berguguran. Kesunyian yang dititipkan pada punggungnya adalah keharusan. Manusia hanya penyampai kegelisahan ke penghujung nyawa. Tak dapat menolak telapak, seperti gulir almanak. Muria Ujung, Maret 2003 Anggoro Saronto, lahir di Jakarta, 27 Februari 1973. lulusan fakultas ekonomi Universitas Brawijaya Malang ini sedari kecil gemar menulis dan menggambar. Kegemarannya menggambar mungkin pudar sejalan dengan bertambahnya usia, namun jalur menulis tetap ditekuni. Pernah aktif di organisasi pers mahasiswa, selepas kuliah memilih pekerjaan yang tak jauh-jauh dari menulis. Ia pernah menjadi reporter, announcer, scriptwriter, serta editor. Saat ini masih aktif sebagai Redaktur Naskah Lakon www.cybersastra.net, dan pengurus Yayasan Multimedia Sastra. Karya-karyanya termuat di situs cybersastra.net dan milist penyair@yahoogroups.com. Selain itu, ikut dalam antologi: Cermin Retak (1993), Tanda (1995), Noktah 11 (1998) , Graffiti Gratitude (2001), Graffiti Imaji (2002), CD Puisi Cyberpuitika (2002). Beberapa tulisannya juga termuat dalam Jurnal Puisi, Sinar Harapan, Plot. Alamat: Jalan Muria Ujung Rt 06/ Rw 06 No.13 Jakarta 12970 Hasan Aspahani Ketika Kelak Kau Datang Ziarah SEPANTUN kasih yang dulu pernah kau tolak aku tak tahu menyagang kata yang nyaris runtuh selantun tangis ke hulu meriak menganak apa guna pasang, bila ombak lemah lumpuh KUKUBUR aku di liang luka-luka-lukaku kutegakkan nisan yang dulu dipahat penyair dan sajak ini, kubacakan kutalkinkan, lalu kelak kau datang menziarahi duka yang kuukir batam, 2002 Sebelas Gurindam KETIKA kau tulis sajak muram ketika itu pula mata kata memejam pabila tak kau tulis sebait pun sajak ada kata yang diam-diam hendak berteriak saat kau lahirkan sajak sebait sejak itu kata mengenal jerit sakit walau tak datang sajak yang kau undang jangan kau usir kata asing yang datang kau sembunyikan di mana sajakmu? selalu ada kata yang rindu memaksa bertemu ada sajak yang kautuang ke gelas siapakah yang mereguk kata hingga tandas? jika kau paksa juga menulis sajak kata memang tiba, tapi makna jauh bertolak jangan ajari sajakmu mengucap dusta sebab mulutmu akan dibungkam kata-kata biarkan sajakmu dicaci dinista karena maki cuma kata yang cemburu buta di mana kau simpan sajak terbaik? di hati, lalu biarkan kata mengucap tabik pernahkan sajak meminta lebih darinya? kata berkata: ah aku cuma kata... Hingga Meluruh Seluruh Keluh AKU mencari harapan yang dulu pernah kita selipkan di antara tanggal-tanggal, merah hitam yang nyaris gagal ADA yang hampir bisa kulakukan menebak tangis setampung tangan tiba-tiba saja jatuh angin menyibak habis seluruh bulan-bulan ADA yang hendak kusimpulkan : sebuah angka yang tegas dilingkari Maharana yang kau tunggu (atau kau hindari?) ADA yang tak ingin kulupakan hingga meluruh seluruh keluh ketika kau rangkum sekuntum senyum Batam, 82002 Seperti Perangkap pada Jejaring Galagasi SEPERTI perangkap, pada jejaring galagasi lihatlah! lidahmu bergetah, dekapmu basah aku yang tak takluk pada kutuk kini lunglai dalam peluk kini bertekuk tersebab bujuk pada kerlip matamu seribu kelekatuku nyerbu pada telanjang dadamu selalu kunazamkan rindu seperti tersekap dalam kepompong waktu kupu-kupu aku tabah menunggu menggerinda seluruh ingatan tentang pukau warna-warnimu : hingga tiba saat itu ketika kau buka seluruh rahasiamu. batam, 772002 Singgah Mengunyah Sirih Rindu JAM yang gigih, membilang matahari yang perih, mengulang bumi yang ringkih, sekarang aku yang tak juga letih mengerang mencarang menepuk-nepuk dulang mencari beranda rumah-Mu untuk sekadar singgah mengunyah sirih rindu... batam, 2252002 Drama Pertemuan Bapa Adam dan Bunda Hawa I INI penantian yang sempurna. Bertahun-tahun Hawa menunggu di sana. Tanah subur datar berbagi sisi dengan telaga. Ada dua unggas berenang riang di beningnya. Kelak kita menyebutnya sebagai sepasang angsa. Sepasang makhluk indah berbahagia. II INI kesetiaan yang tiada tara. Hawa teramat yakin, Adam akan tiba, kembali jua hanya kepadanya. Ada sarang yang hangat di sela rumput tinggi di tepi telaga. Ada tujuh telur yang selesai dierami, lalu menjelma tujuh makhluk mungil lembut kuning muda. HAWA serta merta merasa ada yang hangat dan tumbuh di dalam rahimnya. Rindu kepada Adamnya tiba-tiba makin mengada. "Aku terlalu mengada-ada?" Tidak, dihalaunya sendiri keraguannya. Lalu, segera dipetiknya sehelai daun terlembut, dan menjeratkannya ke pinggangnya. Menjaga rasa kasih yang pertama. Kelak dari rahim yang terjaga itu, lahir suku-suku dan bangsa-bangsa. III INI pertemuan yang tak terperi indahnya. Sore nyaris saja senja. Langit tanpa awan, kecuali sepotong yang bergegas lari ke utara. Telaga seperti beku. Angin enggan menyentuh permukaannya. Dan mekarlah semesta bunga. MENYAMBUT Adam tiba. Ia tak membawa apa-apa, kecuali setangkai bunga berduri yang tak sengaja dipetiknya. Itulah mawar yang pertama. Itulah persembahan yang pertama. Hawa menciumi segar merahnya, tersebab wangi dan sesak bahagia di dadanya. Lalu keduanya meneduhkan letih di tempat yang paling terlindung. Waktu seakaan berhenti mengabadikan pertemuan yang hanya dicatat oleh diam itu. DAN Tuhan, yang tak bisa menahan bahagia, nyaris saja memutuskan untuk memerintahkan Adam dan Hawa kembali ke surga. Nyaris saja.... Apr 2003 Komik Hitam Putih I percakapan kosong suara angin beri warna senja II oh, sepinya bayang kelelawar menabrak bulan pudar III siapa menjerit? aku hanya menahan rintih sakit siapa mengaduh? tak ada, langkah menjauh IV gerimis hingar, dingin memijar bersabung gelegar, gigil kertas gambar V terlalu lekas malam terlalu gegas pejam oh, tak aus juga geram membatu di dasar jeram VI betapa tebal gundah pada komik yang sempurna menyimpan resah hitam putih yang tak sudah-sudah VII kembali, percakapan kosong suara angin senja tanpa warna batam, 21402 Duka Yang Tekun, Pada Sejumlah Pantun meraba-raba nadi bumiku mencari detak jantung gempa gemuruh tangismu di dadaku lambai lara nyaris menyapa hujan menggarisbawahi selasa matahari jingga, teramat magrib bukan, bukan saatnya mengakui dosa matamu senja, duh lah sudah nasib kala kelelawar merayakan kelam ketika burung hantu siap berburu usia menergmu, "selamat malam" jangan menjawab, jangan menggerutu dangauku beku, kabutmu kuyup Bapa Ayub, adakah doa yang lebih sayup yang mengembalikan darah ke luka yang mengekalkan tabah ke duka duhai penyair yang mengundang maut seerat apakah duka berpaut? "genang air mata seluas laut," jawabku. Kau tak lagi menyahut Batam, 032002 Kaligrafi Konsonan TELAH kukirim padamu kaligrafi huruf mati yang menyimpan bunyi. Sebab katanya, sepi telah lelah sembunyi. Apr 2003 Sebab Aku tak Ingin Salah Lagi adakah yang sebenarnya ingin kau katakan, batu? adakah yang sesungguhnya hendak erat kau tahan, hujan? adakah yang mestinya tak kau sembunyikan, malam? aku bertanya, sebab tak ingin lagi salah menafsirkanmu ke dalam puisi Batam, 27/2/2002 Anakku Menggambar Perang PIJAR bom yang jatuh entah di mana di kota mimpi indah itu berwarna hijau sesegar seledri menggairahkan. "Wow, lihat bentang pemandangan yang sangat memukau, bukan?" LANGIT bergembira, dikepung kepul asap jingga. Di sela- selanya, percik sinar mortir baja. "Ah, indahnya!" Seperti ada paduan suara, dentum bersahut dengan gema-gema. KAPAS dan perban putih mencium bibir-bibir luka, ada bekas darah di tengahnya. "Hmm, bayangkan cantiknya!" Mahkota sempurna mawar-mawar, merekah segar mekar. LALU anakku menunjukkan kertas-kertas itu padaku. "Abah, kayaknya ada yang salah pada gambar-gambarku..." (Oh, anakku, bagaimana lagi aku harus membohongimu). Apr 2003. Sebuah Komik Perang DENGAN gelisah yang tak nyenyak, berkelambu asap dan peluru, aku mencari kata yang tepat untuk efek suara yang hebat, desing dan dentum, suara bom. Juga suara tangis, yang bukankah sama untuk semua bahasa? AKU sedang merancang sebuah komik perang. KURUJUK saja buku Superman, juga dongeng Lampu Aladin yang kudengar pada malam kesekian dari cerita seribu satu malam. Tak ada lagi cerita raja yang lupa membunuh istrinya. Cuma bualan entah tentang minyak entah cadangan dinar dan dolar, lalu dengan itu alasan pembunuhan pun diberi stempel pengesahan: lakukan! KOMIK ini kubatalkan saja, daripada cuma sia-sia. April 2003 Restoran Yang Lain, Lapar Yang Lain HAUS terasa kian memekat di leher ketika tiba-tiba kau suguhkan gelas padahal aku tak tahu apa yang jendak kau tuangkan kali ini: kemaraukah? atau sebuah igau SETELAH mengunyah potongan duka makan malam ini tak pernah berakhir sebab pada serbet yang menyeka darah di bibir terbaca alamat restoran yang lain BERABAD rasanya bertatapan dengan rasa lapar di meja tak bernomor itu, dan di piring yang sejak tadi kosong kugambar denah penculikan di mana kau hendak kusembunyikan Batam, Agustus 2000 Belajar Memasak KAU suguhkan untuk siapa resah itu? tak akan ada tamu - seasing apapun - tak akan ada tamu. semak di halamanmu kau hampir lupa, pernah ada taman di situ. ''rumahku, rumahku, berapa alaf lagi kau penjarakan siang malamku.'' setelah memasak semangkuk harapan lapar telah jadi asing, di hati detik detak jam mengabarkan sisa waktu kau harus pergi mencari letih dan haus di luar pagar rumah, di luar langkah. ''menu itu, menu itu, siapa dia yang mengatur untukku.'' setumpuk sejarah kotor, di dapur kau mesti sempat membasuhnya, sebelum dipecah oleh waktu, dan dikunjungi kecewa sepejal batu. ''sebelum senja, sebelum senja, tunjukkan padaku arah sinar pintu.'' Keroncong Pemakaman PULANG dari pemakamanmu, aku membawa sekepal lempung bekas galian liang kuburmu. Biar beginilah kukenang kesedihanku. Dulu kita suka menempa mainan bersama. Gumpal liat lalu jadi apa saja: hiu, raksasa, huruf X, tentara, biji mata, kaki kiri, apa saja (kecuali bunga-bunga). Pulang dari pemakamanmu, aku melihat langit, ada banyak sekali julur bentang benang tanpa layang-layang. Mungkin beginilah cara engkau menegur kemuramanku. Ada sisa kertas minyak, buluh belum dipotong sama panjang, lem kanji mengering, eh ada yang putus (tak sempat mengerang). Pulang dari pemakamanmu, aku pulang ke rumah pantai, rumah yang mengasuh anak-anak imaji kita, ombak kembali ke laut, pasir menggambar sendiri: bentuk-bentuk yang amat kukenal, tapi kini tak lagi sepenuhnya kumengerti. Jejakku jekakmu, di sana kejar mengejar. Mar 2003. Keranda di Kolong Rumah AYO, mari kita bunuh diri! JANGAN kau anggap serius ajakan ini, kita toh sudah berkali-kali mati? Saat itu kita belum siap dengan puisi hanya sempat nulis janji saling ziarahi. MARI kuajak lagi: Ayo, main mayat-mayatan! ADA banyak keranda di kolong rumah, tempat favorit untuk sembunyi dari penagih cicilan umur. Di sana sering juga kita telanjur tertidur. Sampai terjaga, tiba-tiba, dibangunkan hidup yang ngelindur. AYO, kita terus terang saja! MANA yang lebih OK: hidup pura-pura atau mati sebenarnya? "Ada pilihan ketiga," katamu, "yaitu pura-pura yang sebenarnya..." Kita ngakak, dan sejenak benar-benar jadi lupa ini kuburan umum, ada tanda disana: dilarang pura-pura tertawa. Mar2003 Bahasa Paha Ludah Buaya BAIKLAH kita bicara dengan bahasa paha ada bekas parut di sana, sisa luka ketika belajar naik sepeda, di lidahku juga ada kunat yang sama, kau tak mendengar kuucap sakitnya, kita sudah bisa bersepeda, tapi sampai sekarang kita tak juga bisa bicara sebenar-benarnya, kecuali dengan bahasa paha. BAIKLAH kita bicara lagi dengan bahasa paha ada seksologi ngangkang dalam tas sekolah, mari kita belajar menangkap buaya, kita murid abadi yang tak bisa lulus ujian, ketika meneken ijazah kita malah sudah pandai melata dan jadi pencinta carnivora, mengenal segar daging yang hidup di lidah kita, juga bau pangkal paha BAIKLAH kita bicara dengan bahasa paha saja nilai-nilai pelajaran kita sudah didongkrak, kita pandai membuka paha dan kita boleh bangga: mari kita tes kehamilan saja, mari buka paha siapa saja, ada urine dan sperma mengalir jauh sampai ke paha siapa saja, ada buaya yang netes air ludahnya: kita! Mar 2003 Aku Bertamu ke Rumahku Sendiri AKU bertamu ke rumahku sendiri ''silakan masuk,'' kataku. ''di sini sejuk, ya,'' kata tamu mengusap keringat yang tak henti membasah setelah sekian lama mengembara. ''tapi, aku tak mengenalimu. sebenarnya kau ingin bertemu siapa?'' tanya tuan rumah mengasingkan sorot mata. ''ah, jangan galak, saudara. aku hanya ingin menunggu telepon dari masa lalu kita.'' PKU, 21501 Hari Sobek Lembar Demi Lembar SEGEGAS februari selekas januari, di ujung kalender: desember nunggu teramat sabar merayakan keusangan waktu, lembar demi lembar (tanggal yang tak sempat tergambar) ia tertibkan debar, ia rapikan gentar ia benci kalender -- angka-angka tak terbagi -- yang angkuh sungguh mengulur-ulur umur ia dengar gemetar sobek hari-hari, mengingatkan dus merahasiakan bilangan hitung mundur begitu ngantuk, ia tak ingin tidur Feb2003. Di Ruang Tunggu Dokter Kandungan TANGIS yang kutahan di mata merintih minta kelahiran, ini kandungan sudah cukup bulan TAPI, ketuban air mataku telah habis gugur tembuni duka pun telah kukubur dalam rahim waktu yang tak lagi subur AKU bisa tabah kini sampai tiba giliranku beranjak dari ruang tunggu ini Batam, 25-26 Oktober 1999. Kenangan Berwarna Hijau Tua ia datang serentak hujan, bunga mayang yang luruh bersama setelah penyerbukan, dengung lebah riuh bilah-bilah, rumput ditebas rebah, aih rasanya tak cukup telinga mendengar dua belah. (yang lebih megah dari konser sederhana ini, adakah?) ia datang bersama arus sungai yang menuding ke wajah muara kesanakah mengalir semuanya? dulu kutanyakan pada anak-anak udang galah, jawabnya: tak perlu kau bertanya, dulu kutanya juga pada angin lincah, jawabnya: tanyakan saja pada akar kelapa, lalu kutanya pada tanah yang tabah, jawabnya: sudahlah, nanti kau akan tahu juga. (aku tidak bertanya pada laut jauh yang mengirim pasang waktu subuh) masih saja, ia datang bersama hujan, bunga kenangan yang tak mau luruh, menggenangkan aku ke tanya tak bermuara tak berhulu. Feb 2003 Translasi Pinta Pintu jangan rusakkan, biar saja jaring laba-laba itu memerangkap angan inginku, sampai kaudengar aku berkata: lihat! ada juga yang berumah padaku yang sekadar pintu biar saja bangkai cecak di celah engsel itu mengeringkan lupa lalaiku, jangan lepaskan, sampai kaudengar aku berucap: lihat! ada juga yang mau berkubur padaku yang sekadar pintu feb2003 Translasi Kesadaran Koran kematianmu telah kukabarkan di halaman depan di sebelah tawaran jasa pembesaran alat kelamin: sebuah iklan! tak ada, tentu tak ada yang berduka, sebab di bawahnya ada berita tentang pemerkosaan, dan TKW yang jeritannya jadi kutipan: "ribuan aku terjaring pelacuran!" Tuhan? ah, setahuku, Ia tak pernah jadi langganan, tapi kemarin Ia janji akan mengirim surat pembaca (sama denganmu, Ia hanya mengajukan keberatan) Feb2003 Translasi Jeritan Jembatan jurang dan tebing ini sudah kubuat tak punya arti kalah dengan makna kata tabah yang kutanam di dada dua tebah di sini, aku tak pernah putus berharap : suatu saat kelak pasti ada engkau yang mau singgah lalu berbagi kisah rumah, bukan sekadar meludah atau menumpah sampah yang tak pernah sempat kuajukan padamu, adalah sebuah tanya: kapan aku bisa ikut kau seberangkan? Feb2003 Our 1'st Number Book, Shiela - bersamamu, aku kembali belajar cara-cara membaca- angka 1 ya, ada sebuah ceri merah di halaman pertama, di kebunku dulu tak ada, karena di sana cuma ada semak merambat berbuah kuning, yang kalau kusebut pun namanya kau tak akan tahu, yang pasti buah itu bukan ceri, dan tak cuma sebuah, dan warnanya bukan merah. angka 2 ada kolam kecil di kebunku dulu tempat dua kodok hijau saling menghitung, "aku satu, dan kau dua," kata kodok pertama. "tidak, aku satu dan kau yang dua," kata kodok lain yang juga ingin disebut sebagai kodok pertama. angka 3 nah, satu sikat gigi ini untuk siapa? "soalnya aku sudah punya, dan yang dua untuk kodok hijau yang tadi ada di halaman dua." tunggu dulu! tunggu dulu juga! Kita kan cuma mau bilang, sikat giginya ada: tiga ha ha ha! angka 4 empat ekor bebek gemuk empat ekor bebek gemuk jantan (aku bisa ingat dari warna sayapnya) apakah mereka perlu diberi nama? tidak mereka perlu diberi bebek betina supaya mereka bertelur, dan supaya mereka tidak berkelahi, nanti kita susah menghitungnya... angka 5 apalah lima angka yang istimewa? apakah tomat buah yang istimewa? lima tomat yang enak dibuat jus tak perlu diberi nama karena dia sudah punya : jus tomat namanya! angka 6 enam anak ayam kita tak tahu jantan atau betina semuanya berbulu lembut seperti sutra di mana induknya? kataku, "induknya mengeram empat telur lagi." kau bertanya lagi, lalu aku jawab dengan nyanyi "tek kotek kotek jambul...." angka 7 bagaimana memomong tujuh kelinci? gendong saja satu per satu, mereka tak pernah saling iri pangku saja satu per satu, karena mereka tak pernah merajuk, karena mereka tujuh ekor kelinci angka 8 "delapan jeruk orange, bisa jadi berapa gelas jus?" kau kah yang bertanya? " maaf, aku sedang mengenang jeruk nipis yang tumbuh di antara pohon kelapa burung keruang bersarang di salah satu dahannya. aku tak pernah sempat menghitung berapa telurnya. aku tak berkenalan dengan angka delapan di sana. juga tidak di buku pertama yang memang tak pernah aku punya. angka 9 delisi stroberi; sembilan biji ah, terlalu banyak buah asing di buku ini. lalu angka nol ini, Abah? dari mana datangnya bilangan yang asing ini? feb2003 Jibsailz Dada ( mimpi pertama ) bermainlah di ujung jalan kematian, ketika embun menghidupkan kesunyian lalu, sekumpulan kuncup memekarkan sejuk malam bermainlah sebagai artifak daundaun, maka arti sebuah kematian tak tampak kecuali genangan di dalam kenang tak henti dan segala kemenangan akan tetap berdiam disini Isyarat Nani ( mimpi kedua) sebait puisi tak sampai padamu, nani kujadikan selimut dari kilat malam menapaki wajah kita yang meluncur dari selongsong waktu lalu menggenggam di dalam dimensi parau labirin rintihan, candu tak berpenghuni menyaput tubuh di hujaman darah memenggal buih mimpi, membunuhi segala lingkaran kosong lalu kita bangkitkan ziarah, kematian dalam senggama bernama asap di atas sebuah kawah sunyi mengepul, melahirkan hujan yang membasahi ladangmu mengekalkan sunyi ke ujung paruh waktu kelak akan terbawa angin, nani kerlip rambutmu membayang seribu halilintar yang merebahkanku di bawah cahaya manikmanik yang melebur di antara kepakmu segenap diriku telah menyerupai sebilah belati mengkilap hening di lingkaranmu menghujam merobek menembusi bayangbayang belukar terperangkap gerimis malam purba sebait puisi tak sampai padamu, nani menggelepar di atas baranya sendiri sebinal arus dari hulu sungai mahakarya mengaliri celahcelah kanal dan anak sungaimu melemparkan aku ke muara asing tak berpenghuni menjadi sebuah kekalahan tertambat di rahimmu. Di Sebuah Pesta ( mimpi ketiga ) tapi engkau menyerbuku menghancurkan seluruh rangkaian nadi kemudian menerbarkan ribuan arca di dalam sebuah candi yang muram aku telah mengapung, mungkin di pesta yang engkau tuntaskan dengan sebilah senyum menghidupkan kematianku dari musim kemarau tiga tahun lalu engkau tempatkan sepasang maut, betari memanggul cahaya dengan panji arasi sebagai pertanda akan turunnya hujan mengakuimu sebagai yang maha angkuh engkau mengajariku membongkar rongga pasir hingga engkau menjadi begitu rumit, dan aku menjadi seorang pengkhianat menyambut serbuanmu dengan genderang kesunyian hingga aku tergagap dan terbunuh di belakang sepenggal tubuhmu. Kerinduan Musikal : corona extra mungkin saja, aku sebenarnya telah mendengar bisikanmu. ketika malam tumbuh mengerjap di atas laut dan hutan yang menumbangkan keinginanku. karena aku demikian jauh. jauh. sehingga dirimu hanyalah sebuah bayang. dalam setiap detak tatapku. tak terarah. aku lupa menimba kerinduanku sendiri. sebagai kubangan air yang tergagap menampung hujan. lalu menciptakan segala kata. dalam gelisah dedaunan dihutan. dalam gelisah camar dilautan. kebisuanku dalam pencarian demikian lekat. lekat. sehingga diriku hanyalah sebuah layangan kertas. mengambang diatas angin. tak berbekas. aku ingin menjemputmu.rindu. walau hanya sebagai gemuruh. riuh memuncar. di dalam dada ini. hanya. hanya. hanya. hanya. Sebuah Catatan Yang Lupa Kubawa Pulang: Ancak Yang Besar Diturunkan dari Langit ketika Muro dan Kelian diterbangkan ke Perth dan Jakarta, pohonpohon tumbuh dan tinggal didada. akarakarnya memanjangmanjang.menjalarjalari nadi. musium berjalan. menjadikan gerobak penuh batu. istri dan anakanak dari sebagian mereka membaca baju,menulisi desingan mesin. sejarah mencekung diatas tempayan. meletakkan sunyi masmur dimejameja bambu. membongkarbongkar mata gubukgubuk mereka. perjamuan terakhir secerlang mata bayiku, yang teronggok kantuknya di beningaban. sesunyi angin melenggang. tanpa ornamen manikmanik mewarnawarni. yang biasanya dilahirkan dari rahimrahim suci tangantangan perempuannya. orangorang,seperti aku,telah mengangkut bubuh bambu besar dari sungaisungai kuningnya. orangorang,seperti aku,telah mencerabut ranum payudara kenyal dari gununggununghitamnya.meledakan perut Muro dan Kelian. menerbangkannya ke Perth dan Jakarta. menggantikannya dengan orokorok karet muda. ditahun kesepuluh. ketika waktu menunggu untuk menjadi bijaksana, di Perth dan Jakarta, isi perut Muro dan Kelian bermutasi menjadi kertaskertas berharga,menjadi layanglayang kemegahan. sinarnya tak membias ke wajahwajah dan tubuhtubuhkusamnya. tak membias kemataharap anakanaknya. tak membias kekerutkerut dikening perempuanperempuannya. sebuah prosa antara Muarateweh dan Muro,antara Jelemuk dan Kelian semakin sekarat membuat hujannya sendiri. lelakilelakinya menciptakan burung. perempuanperempuannya menciptakan awan. menjadi abjadabjad yang berputarputar diatas lawunglawung bapaknya. tari manasai,rengan tingang lahir. rengan tingang lahir,tari manasai. dimusim panas dada : -- sebuah catatan yang lupa kubawa pulang. Bukan Jam Malam jarum jam terhuyung huyung menghampiri jejak malam yang kian larut. suara suara, kekalutan yang baru saja lahir memperkosa keheningan, kelakar yang membakar dupa dengan aromanya sendiri. darah merambat di lorong nadi yang nyaris terkunci, menzalimi malam bersama ruh : - puisi mu yang pertama. sekali lagi ia memekik, jam yang membuka kantung kantung sampah, menendang hampir seluruh isi nya ke penjuru kota. ting tong. Segala Kesunyian angin malam menjarah keheningan desah dedaunan berahi bunga darah hangat merontaronta menjemput Segala Kesunyian wahai sang pencabik malam ketika geletar cahaya bulan singgahilah segala laknat dengan peluh membara, bara! hingga semua lintasan adalah Kamu. Perjalanan Ke Langit seumpama buluh menghujam rindu begitu kilap, menggiris. perjalanan ke langit waktu memburu,buru ! pekat yang telah hilang akal begitu kental tatap merekat hingga langkah tak usai usai kudengar gema disepanjang malam betapa ranum masa yang akut, gaduh gaduh didada,gerumuh gemuruh didada,usia! kau langgit yang merindu selalu ingin dibuahi dengan segala berahi berapi, api ! kau kenali saja: aku yang lupa menjalani kerinduan, hingga silam enggan pulang. Ketika Hujan Di Siang Hari menginjakan kaki didaratan bersama angin laut yang berhembus kencang waktu menyisakan perjalanan pulang aku merambat renta tak bertuan siapakah Penyusun itu ? segala waktu digambarkan menyusun begitu singkat dan usang serpihan batang pohon kelapa menghitung jarakku memandang pada setiap lembar waktu yang menghabiskan kebisuan rindu ketika terik membunuh lamunan merajam benih, tak tertanam ia menerbangkannya kelangit menyusupi serpihan awan hingga berwujud segala tergambar padahal, waktu sendiri telah usang kepergianmu menumpahkan hujan. Buat Galuh Galuh, aku telah berlabuh! disebuah dermaga dari selembar catatan yang hilang tapi rinduku,Galuh masih mengalur dilautan. sejadi-jadinya. ia angin yang mencekik kesunyianku. ketika setiap gemeletar bahasa kutangkap dicahaya matamu pada jarak yang fana. dengan segala tumpahan kegelapan. Fana…. Sebuah Kemenangan - ketika burung burung pulang, membelah belah mataku tak kulihat hutan terbakar, tak kulihat asap menutupi kota semua hilang diujung mata; menghidupkan penyakit baru di nafasku -- ketika burung burung pulang,aku meninggalkan lambaianmu membunuh kata diantara rasi-rasi,menjelmakan kilauan gelombang menutupi jarak bintang --- ketika burung burung pulang,aku telah menjadi satria kecil membunuh malam kalut,membayangi buram dan kusutnya layar hingga pulangku adalah kemenangan seperti burung burung diatas laut mu. Memburu Angin aku memburu angin kesurupan melintang diatas laut panggilan malam kurasakan sia sia segala derai, bintangbintang pecah diubun-ubun, mendongaklah, engkau ! jilatan cahaya diwajah bumi. Demikian Surga (i) sebagai sebuah kerinduan puisi didalam surat ini begitu tenang katakatanya menggapai kisikisi mata mautmu sebegai ketukan jemari yang tergagap berkepanjangan (ii) aku pernah mengatakan bahwa jeruji adalah rusuk yang mengurung jantung sampai pada degup tepian hingga diam, diam diam diam,menambat dilabuhan (iii) dan, aku pun surga yang kambuh disetiap detak nadi melarikanmu dari bayangan sendiri, sendiri. Mengenang Pembunuh Rindu : meilongsia disetiap detik jarum jam, kutangkap rindumu dari segala peluk ketiadaan detak jantungku,adalah dimensi tak berpenghuni; menyeberangi ruang bergeletar, meraih bayang tubuh kita sendiri kita semakin tak punya tempat untuk mengasuh segala suara terhimpit diarena kaburnya katakata, dan barangkali, tak akan pernah ada mimpi yang sanggup membuat kita terjaga pejamkanlah dalam mata hati ; pejamkanlah tanganku yang mulai lelah mengalir sementara tatapmu semakin gelisah meraba segala pencarian atau mungkin,apapun yang akan kita jemput; adalah kenistaan mei, huruf huruf ini diam dari segala bekas yang ditinggal pergi. kau, dengar lah pintu diketuk dengan wangi bahasa dan terburu buru begitu rakus segala keinginan melumat habis rindu yang tak pernah kita sisakan. (mei panjang Indonesia,2002) Mayoret disebuah dermaga, cap! tempat kapal perang berlabuh angin selatan dan suara burung malam pernah mengajak kita memancing ”dibawah lampu dermaga, kita pingsan !” kapal kapal tanker,cap! yang selalu kita tertawakan tak ubahnya pulau sarat berpindah tempat lampu lampu di kapal itu telah menjadi perempuan menenggelamkan kita didasar kedengkian dan malam pun pingsan -- dengan seonggok ikan ditangan bulan. “ha!ha!ha!” Fajar Yang Kalut aku menghitung jarak setiap mata berlari tak terduga -- daya keluar dari tubuh kita, bersatulah, bersatu atau ia enggan? Karena begitu renta menyiasati kenyataan zaman ketika kita tak berhak lagi atas segala kesunyian itu aku ingin menombak langitmu dengan segala kegaduhan : airmata menusuk luka o,kau jadikanlah, wahai keindahan yang pekat ! keinginanku, mendekam dalam penjara beku sampaikan aku ditujuan belajar kepada kesunyian. Ketika Pintu Kuketuk ada yang masih ku ingat ketika pintu ini kuketuk wajah malam bersembunyi pada kesangsian padahal, telah kautemukan sebaris isyarat yang menenggelamkan segala ragu jemari beku terperangkap dingin kata kata “bukalah pintu itu,dan aku akan menghampirimu,secepat cahaya sehangat angin malam ini. dengan segala rasa maut. Kau ingin?” Kutawarkan Rindu Di Pagi Hari : dyah ekarini ratnaningtyas angin menyentak jalang. aku rindu sampai disini. seperti engkau yang tersesak, lalu gugur pada malam. aku adalah usia dari waktu yang menggusur lembarlembar petualangan. mencuri keraguanmu yang usai dan tergeletak diatas sofa. angin menyentak jalang. dan aku rindu sampai disini. dibatas diam,mengetuk kebisuan, tak satupun sunyi menenggelamkan mataku, -- diperjalanan menuju pulang. betapa ia adalah usia, seperti waktu yang tak kenal musim. dan mengeja pada cermin, lalu terbenam di air api. betapa, ia tak ada sisa. tak ada mimpi. tak ubahnya seperti gelombang pagi yang menahan gema. dan ia, tak mampu menahan gemetarmu dikejauhan. hingga kecemasan menjelma kepakan camar. kemudian diam, membeku diketukanmu. dan aku rindu, sampai disini. (jkt,januari 2003) Sebuah Mesin Dikepalaku Dari Perjalanan Menuju Pelabuhan : melly hasdam dengan gin tonic double slokinya disini langit gelap,senja tenggelam menyusuri kenang. tapi dimataku, titian waktu yang telah lewat, tak pernah kehilangan makna. seperti kemarin,ketika kau sisakan sepenggal kalimat, untuk kubaca sampai dibatas perjalanan pulang : " dan langit gelap, senja tenggelam, menyusuri kenang" kini aku tiba dipelabuhan, coretan-coretan sunyi,kasih. mengantarkan aku, untuk berani menertawakan diri sendiri. lalu sebuah mesin dikepalaku,mengubur keinginan itu. ketika kematian telah basah oleh hujan, -- barusan. Konserto Buluh Perindu : rainbow in paradise akhirnya tenggelam sudah bersama buluh perindu kedalam muara air hatimu, Kesal kau merongga pada lambung tanah Mu membenamkan diri didalam misteri pencarian cerita-cerita hari nanti, pengantar tidur balita-balita mungil. Setikam Musikal : long island kau adalah danau kecil ditengah hutan pinus. dipunggungmu tumbuh lukisan teratai. selembar wajahmu berbayang jatuh bersama ranting dan buah pinus memercik lelahku,berharihari,berbuihbuih,menggumpal rindu rindu berderap dinadiku, seperti alur angin yang berdiam diriakmu. mewarnai segala rupa kesunyian musikal,suara ranting dan buah pinus yang jatuh,terdampar ditelingaku melengkapkan wajahmu yang berjingkat di sore itu di sore itu aku segelisah payau,sebab angin begitu sarat menguapkanmu ke udara. menjelma partikelpartikel maya,menggantung disegelas kenang,menggerus dada dan aku,terperangkap, diruas bidikan,menjelang senja menjelang senja aku mencari. jemari lentikmu memantikkan batu api.memijarkan kilau ke ruang nadiku,saat usang begitu liar meracau a ku ter ba kar aku terbakar perlahan,meleleh ganjil kemudian . reinkarnasi bayangbayang. memecahkan bongkahan kristal kelelakianku,menyihir getir setikam disegala ngilu tak ingin menuju perhentian ada yang mengerang di dada ini,menyerupai suluh diwajah bulan. kepada sesakwaktu yang enggan menyembunyikan milik kita lagi. Rokakata Idaman Andarmosoko ketika kerinduan menjadi sebatang kara cahaya bergumul disebuah sudut ruang dingin lalu kita mewarnainya dengan segala warna apa saja di dindingdinding hingga ke langitlangitnya sampai pada sebuah titik terakhir mengingatkan aku sebuah langgam komposisi ave maria yang ditarikan pada jarak ruang memandangi sejarah kejenuhan aku, selalu ingin melayangkan sebuah sajak begitu saja untuk menggantung rahasia keangkuhan segelap kenangan, sebagai sepi kesucian sebagai kerinduan merongga,tapi sebuah komposisi warna selalu saja menanti untuk diraba dan dinyalakan pada setiap lembar hidupku lalu waktu akan memusnahkannya kembali seperti ave roka begitulah sejarah suci dimainkan menjadi keliaran yang mengendus pada setiap ujung kuku menanggalkan segala alur silsilah, kemudian meraung menggumuli kesendirian, o lalu melukiskah langit itu, menghampiri dengan segala angin dari kampung kami bermain bola dari kulit rotan diantara anak anak sapi yang berlarian, tergambar bertebaran diatas pohon cemara buluh perindu, mungkin engkau itu. mungkin engkau itu. ya, mungkin engkaulah itu yang melayang dan meregangkan senyumku,sendiri jangan menyerah,langitku walau sekerat bir menyesakkan lambungmu karena aku memang sedang tak ingin pulang maka lukislah ia, dalam setiap kegamangan angin menyelusupi di kedua mataku, airmata! Aku Menyemburnya : sajak balasan untuk thandingsari palkapalka mentah humanis kercap lidah bersenyawa gigitan lunak karung semen kosongan menulis bunyi premature rotasi 8 gram kugemeretak,enggan pulang kugemeretak kemuara bermain buncah intro frente! palkapalka banyak dikoyak gerak geram peristaltik yang agung tercecer tanpa mlintir kumat kelamkelam diblokblok kugantung,kesasar terbelah kawah tulangrusuk berakhir mengadukaduk abstraksi otot labur tuk jadi kubur merangsang basah klepekklepek merangsang karam kerikilkerikil berdenyutdenyut kepak yang hidup hidup berkepak palkapalka menyekap parrabellum berjungkirbalik zing zing menangkap sesenyum pekat mencengkeram sepetik hari melindap berserak dari crime sang papananburukrupa meresap menyerap kulum tersayat memanjang sepanjang armori menghembus sinergi hingga filiformis, mengecil yang entah punya siapa? menggerusku kenali senyap pagi ini 720 titik selusin jam berjalan bengis tubuhku megatruh jeda sendiri palkapalka berbisa penghuni kolongkolong membusur kuman artileri nomaden mengungsi geliat senyap mencari tempat pada lingga rektum menyusup arus menyusup mencari akhir muaranya: Haus kerap diperkusi telingaku bernama laknat palkapalka merongrongku mengejang hebat darderdor demarkasi sesak sejenak mengerami ilusibias : ooh... dendang jurik dendang boros kumbang kubis tersangkut kropos Booom... epilog rekreasi tak lumat palkapalka mengukir fermis bulat empuk berjangkit aku menyembulnya 'Kremasi' tak kulihat bedilmu tersepuh mantranya pesan untuk tuan: kami masih penghuni loronglorong kawah basah jengah kehilangan satu singlet: Kamu ! mengingat tengahtengah ruangmu tersusur baitbait sumpek takjarang kau melonjaklonjak mengena "gidy up gidy up go go" tak peduli kulit betismu ditato kepakan lembah ambengan namun kita masih mampu terbawa entah terbanglah tuan jumpai celanamu -- terbanglah megah pada loronglorong kawah basah dan sembab ranum hangat oleh nyala haha haha atau ? kau raih malam berlubang kelam menghangus ribuan tank Jembatan Diam, Kusulut ! Jembatan Diam,kusulut! ita semi. ha! dan akulah gemuruh menikam kepenatan, menggantung sang purnama. kubah menyirat dikenanganku menguap. meluluhkan namamu sebagai hembus izzati yang menemukan jubahku kala belenggu disarang gumam. tapi masih kuraba tuba didindingmu. meski tak ada lembing bertanda mata angin. kuberikan namamu pada sebuah gua Basap. setelah menyebut yang sama memanggil gigil segala resah. ada apa dengan diam lebam saat kusulut. muaramuara menusuk. lalu memanggilmanggil hutan dari dalam persembunyian. menjadi sebuah gambar sepi sangkakala.mengguratmu disepanjang tenda dunia. pengukuhan, hingga akhirnya berlalu tak pernah usai dihembuskan.sekeping senyap telah aku akhiri. kau tahu, tabir gunung telah dikisahkan. lalu siasat pukau meledak. membius sulut dikecup bibir muara. binatang tumbuh dijampijampiku. sebagai tenda dan panah duta. lalu diujung tubuh kitapun menganga. selalu gua yang terbaca. selalu gua yang terbata. (puisi jawaban “catatan malam kabut” nya ompitabimanyu) Elang Laut Mabuk sudah pasti tak kau dengar gumam riuh perca kilap bungah menanam cakar dan kepak durja disana, ia berdiri mengosongkan pekat bara menggantang penjelajahan langit menggusur guliran detak air melebur risau terlepas sehelai bulu jambulnya sahaja mengendap tak berjarak membilur kelam meniup angin angkara tersentak pijarpijar tubuh duduk bersimpuh tak terkepak pada sibak suluh terpasak tubuhnya sebagai geming dera mendera nyawa kepak menjalang mengamati sebaris rumi memanjang cahaya genderang di ufuk mengulum lebam durhakakah elang lautmu? bila mengangkat seikat pesan dengan pijar cakarnya menggelegar terbawa melimbung durja dimana kau tak pernah berada kerap ia kembali terbawa lonceng dunia kecilmu atau tentang semayang teduh dicakang lembah kemana ditulis api dalam pemakamanpemakaman sahaya kemudian ia akan bertengger diatas perahumu mamatukmatuki pekatmu senyawa waktumu, seketika detak ikon mendera di sana atau mencumbu malam hayalan menyisa penggalan bathin kibas sang rama terantuk kemudian menggelinjang prosa vodka lalu terlupa sekian rimba keriap darah terjajah ia temukan setitik kejauhan yang lekat "aku mulai merindukan elang lautku", katamu lalu kepak lusuhnya melintang getas menyibak imago mencari indigo "dimanakah terra incognita?", pekiknya lalu ia terjebak merkuri, merayu pelanpelan hingga tak lagi bisa memekik rumi walau kau yakin ia telah lupa akan rindu yang semakin serak ketika ia terperangkap di gua akan aromamu yang berdenting sebelum ia rangkul itulah artinya dirimu, setelah ia mengepak melusuh berkelana, tertempa perihmu ketika menuju lautan...... (Tue Apr 1, 2003 12:09 pm, membalas Prosa “Hilangnya Elang Laut” nya Randu Rini). JIBSAILZ, seorang nelayan, yang banyak kegemarannya dan juga pandai melakukan okulasi tanaman keras ini adalah pecinta seni dan sastra, dilahirkan di kabupaten Tabalong - Kalimantan Selatan pada hari Minggu Legi tanggal 07 juni 1970. Pada tahun 1996, dia mulai aktif menulis puisi di media internet. Pada tahun 1999 dia membeli domain cybersastra.com yang kemudian beberapa bulan kemudian dilepaskan dan dipindahkan ke cybersastra.net. Redaksi cybersastra.net awal itu: Nanang Suryadi, Yono Wardito, Dodi Iskandar, Anna Siti Herdiyanti, Samsul Bahri, James Falahudin, Aranggi Soemardjan, Fazmah Arif Yulianto, Dedi Hidir Trisnayadi, Medy Loekito, Donny Anggoro, TS Pinang (menyusul, yang kemudian sebagai webmaster yang membidani dan mempercantik cybersastra.net sampai sekarang) . Setahun kemudian, pada tahun 2000, dia dan beberapa rekan-rekan yang berada dimilis penyair@ mendirikan sebuah yayasan, yang saat ini dikenal dengan nama Yayasan Multimedia Sastra (YMS), dan Medy Loekito sebagai Presiden YMS. Beberapa puisinya juga dimuat di www.poetry.com, www.bumimanusia.or.id dan di www.cybersastra.net. Selain di situs-situs tersebut, puisinya juga dimuat di antologi perdana YMS, graffiti gratitude, 2000. Pada tahun 2001 puisinya pernah dibacakan oleh penyair Agus R.Sarjono di Deutsche Welle, sebuah radio swasta berbahasa Indonesia di Jerman. Nanang Suryadi Mabuk Cahaya dan akupun mabuk cahaya. selarik cahaya melesat dari jemariku. ketika kucoret namamu pada sedinding cahaya. cahaya mencahaya berpendar mencahaya cahaya. aku mabuk cahaya. seteguk demi seteguk aku tenggak cahaya. aku mabuk cahaya. igauku cahaya. mimpiku cahaya. rinduku cahaya. cintaku cahaya. tak engkau dimabuk cahaya. tak engkau tahu di timur barat mula cahaya. tak engkau tahu? engkau mabuk cahaya. Kasidah Pernikahan ada yang meneguhkan syahadah di jalan kehidupan menggenapkan hitungan dari separuh ruh yang pernah menyaksi di saat entah di tempat entah hingga bersetubuhlah jiwa cahaya pada muara lautan cahaya berlinanglah airmata cahaya berlinanglah hingga menerang terang cahaya menerangi semesta dalam dadamu yang berseru memanggil manggil penuh rindu dan cinta yang mencahaya dari matamu yang cahaya sekepak kupu-kupu cahaya beterbangan mengepak ke langit cahaya ke puncak pekik ekstase cahaya! Di Saat Hujan :kunthi hastorini dedaun yang digugurkan angin berserak di halaman yang basah oleh hujan gerimis seharian tak henti menyapaku seperti juga kubaca gerimis dari matamu yang selalu menyimpan gemawan embun rindu tak henti mencurah dalam desau angin musimmusim di mana engkau menanti menanti dan menanti hingga saat disurat laksana janji laksana harapmu lunaskan segala angan mimpi yang ditulis dengan darah dalam hatimu dalam hatiku kekasihku Karena Kita Manusia :kunthi hastorini karena kita manusia yang menyimpan riwayat mula-mula sejak dihembus ruh ke dalam dada penyaksian yang diucap kepada yang satu kemana kita akan berpaling kemana kita akan menuju hanya wajahnya yang terbayang di pelupuk mata walau lamat walau dalam deru tak habis digerus waktu hibuk dunia yang memabukkan dengan goda tak akan lepas tatap mata ke dalam relung jiwa terdalam dalam dada sendiri yang rintih memohon kembali senyumnya hadir dalam harihari merindu waktu-waktu merindu cahayanya menerang terang jalan hidup kembali ke asal mula kejadian akhir segala akhir perjalananan bersama kita bersama sebagai manusia yang memahat duka bahagia kembali ke peluk cintanya Rumah Pasir : hasan aspahani dan ibnu hs tapi ia membangun rumah dan menulis namanya di tubuhku, kata pasir tapi aku cemburu, kata ombak ya ya aku juga benci dia, kata angin badai ikut menyela lalu dirobohkannya rumah pasir dengan deru anginnya di atas pasir dicoretkan kembali namamu di atas pantai dibangun kembali istana pasir mimpimu walau berulang ombak dan angin bersekutu menghapus dan meruntuhkan rindu dan cinta itu tetap untukmu Adalah Kanak-Kanakmu kanak-kanak berlarian ke ujung cakrawala. adalah kanak-kanakmu yang memburu harap. dengan mimpinya yang tumbuh dari dalam kepala. bersulur-sulur ingin gapai pelangi, bintang, rembulan, matahari dan biru langit. adalah kanak-kanak yang berlarian telanjang kaki dengan keperihan dalam dada. menyeru nama ayah ibu. menyeru masa lalu. karena compang camping sejarah dijejalkan ke dalam tempurung kepala. sebagai perca penuh darah dan nanah. sebagai kanak-kanak mereka berlari mengejar bayang-bayang. dalam tatap bengis orang dewasa. dalam letus senapan. dalam ledak bom. mereka berlari memegang ranting zaitun. menggambar burung merpati di setiap tembok kota. mereka adalah kanak-kanakmu, menyeru namamu. merindu negeri jauh itu. Demikianlah Sunyi :ts pinang dihembus sunyi bersama nafasmu, o pejalan sendiri. menembangkan suluk kerinduan pesisir pada hamparan sawah-sawah: bulir-bulir padi yang penuh padat merunduk tunduk. kusampaikan salam hangat angin garam dari lautan. seasin airmata. seasin airmata. dihembus sunyi bersama nafasmu, o pejalan sendiri. menembangkan suluk kerinduan pesisir pada puncak merapi: o asap yang mengepul dari mulutmu, seperti kurasa gelegak di dasar bumi. kusampaikan salam hangat angin gelombang lautan. seamuk mimpimu. seamuk mimpimu. di sebalik sunyi, sehuruf puisi menari sendiri. menemu kenangan kembali. 23:34:37 7/07/2002 malam menebarkan bunga. menyalakan lilin. mengasapkan dupa. sebisik rindu yang diucap: ingin dikekalkan segala. dalam kata. walau kau tahu segala fana. segala fana. bahkan... 23:31:25 7/07/2002 demikian engkau kabarkan luka. sebagai halaman yang membuka. ingin diterjemahkan silam. sorot mata. lenyap di titik hitam. sedikit lagi. sedikit lagi. di tikungan. belokan. sebaris usia mengucapkan salam bagi upacaranya sendiri. sampai di mana tapak dijejaki. sedikit lagi. hingga... 23:26:54 7/07/2002 ada yang ingin menerbangkan pikirannya seperti ilalang yang ditiup angin. pada usia yang berangkat dengan segala sia-sia dan putus asa. ada engkau yang menjenguk dengan dada berdebar dari balik jendela. menunggu jam berdenting. tepat di titik nol. dia datang dengan selimut kabut. dan cucuran embun dari matanya demikian deras menyapamu. malam itu.. Seorang Yang Menyimpan Kisahnya Sendiri ada yang menyimpan kisahnya sendiri. di derai daun-daun jatuh. sebuah taman kota. dingin angin memagut. gerimis menyapa. sesorot mata yang jauh. ke silam yang riuh. di dada sendiri. di ingatan sendiri. tapi mata adalah jendela. kutemu engkau menangis. sendiri. di sudut lampau. mengekal bayang. mengekal ingatan. di baris sajak. segores luka menyimpan jejak. dirimu. Depok, 2002 Seputih Lupa Sebiru Ingatan seputih lupa, katamu. tapi ingatan berwarna-warna. dengan jemari kulukisi kanvas waktumu. hingga sorot matamu menerawang menerbang ke masa lalu. terowongan yang tak habis kau telusuri. hingga warna segala warna memasuki tidurmu. mimpimu yang berwarna. mungkin biru. ingatan yang biru. ingatan demikian biru. seperti langit. seperti laut. seperti rindu dari masa lalu. tapi ada yang ingin menghapus segala kenang. seputih lupa, katamu. di sudut mata. menggenang butir airmata. Engkau Yang Memasuki Mimpi Lautan :jibsail engkau yang memasuki mimpi lautan kata-kata sepi yang menyeringai seperti perempuan, katamu ini malam purnama yang kesekian di antara desau angin dan arus pasang o, benderang bulan berbaris puisi diapungkan gelombang berbuih-buih memain-mainkan seperti segelas bir, katamu tapi sebagai kerinduan bayang menyelinap dari daratan : pinggul dan dada perempuan Imaji dia seorang perempuan "karena ia adalah imaji. sebagai ilusi. yang telah memabukkanku. maka kuterima bayang-bayangnya menyetubuhi diriku." dia seorang perempuan "karena demikian indah kenangan itu. walau tak sampai. walau. maka aku tolak saja segala kenyataan. yang tak seindah imaji. ilusi yang memabukkanku hingga kini." dia seorang perempuan "karena ia adalah imaji. sebagai ilusi. yang telah memabukkanku. maka akan kuusir ia. jika datang sebagai daging segar lelaki!" dia seorang perempuan di imaji lelaki Matahari berikan aku kepada matahari, katamu, setiap pagi melihat mencorong cahaya hingga ketakjuban menyelimuti jantung hati. tapi ia tak tahu bahwa matahari akan membakarnya jadi abu. menjadi tiada. sungguhkah aku akan menjadi tiada, katamu tak percaya. seperti biasa, kaubacakan hukum kekekalan energi dan ayat reinkarnasi. seperti matahari yang lain. cahayamu panas sekali. aku pun lebur dalam matahari! bermilyar trilyun matahari mengada dan meniada. Bulan Merah lalu ditenggak darah bulan merah lolongnya yang serigala hingga ujung benua sebayang lindap sebayang lindap melayar-layar bulan merah mengucur airmata dengusnya yang api memunahkan negeri-negeri sebusur waktu sebusur waktu meluncur-luncur tatap bulan merah di waktu malam merapat di ubun-ubun hingga purnamanya penuh sempurna sebugil bulat sebugil bulan menggigil-gigil o, bulan merah di puncak sunyi geliat sepi amuknya! Burung Kata-Kata jutaan kata melesat ke angkasa terbang tak tentu sampai ke mana (jutaan burung kata-kata menyerbu langit mencari arah pulang menabrak mega-mega menabrak atmosfir menabrak bulan menabrak bintang menabrak nebula menabrak meteor menabrak asteroid menabrak lubang hitam) --- di mana tahta Sang Raja kata-kata? Batu Hitam batu hitam. batu hitam. meluncur di malam kelam. dari langit jauh. dari waktu yang entah. batu hitam. batu hitam. mendiam di sudut. seperti kenangan yang melesat. batu hitam melesat dari ruang entah pada saat entah. bintang jatuh katamu. pada malam yang rapuh. menemu gigil lelaki. yang mendirikan kenangan dari sorga yang jauh. Memasuki Kota Menhir memasuki kota menhir sayatan pahat pada batu-batu aroma purba arus mimpi mengundangku datang menemu wajahmu kota tua seperti kutemukan wajahku di situ tubuh yang disalibkan di pancang batu telah tersesat domba-domba beterjunan ke lumpur hitam hingga mengembik di sekarat legam doa doa apa yang dilontarkan ke langit sebagai deru sebagai teriak jerit pahit memasuki kota menhir, lingga patah, yoni retak wajah mimpiku pecah berderak Titik Diam jarum jam menunjuk. waktu bergegas dengan wajah merah padam. mungkin hatinya remuk. detik berhenti pada pejam dan diam. terbanglah terbang angan mimpi dihembus napas dari lubuk dalam demikian hibuk, ninggal biduk sebrangi langit. ucapkan selamat malam. pada bintang yang nyelinap di kelam dihembus napas dari suntuk melebam Mabuk Rembulan Keemasan :saut dan yono jadi kuingat penyair tua itu, mabuk dan menulis sajak tentang rembulan. sinarnya yang kuning keemasan. sampai ke jendelamu. (siapa yang berjalan pada asap sepanjang jalan, sihiran lampu dan perempuan yang menyapa. inilah surga seribu tiga) pada buih, berenang rembulan dalam gelas! Kapak Merah Puisi Berdarah diacung kapak digedor-gedor pintumu belah-belah kepalamu berdarahlah puisi berdarahlah dalam alir nadi tubuhku kata-kata dalam sumsum otakku "habisi saja masa lalu juga segala yang bernama dosa" lihatlah tari itu dalam genang, o, sang pemberontak, dalam tikam dalam dendam dalam kelam dalam geram "mampuslah! mampuslah! segala yang bernama kelemahan!" tak bermata hati hatimu membatubatu karena segala tegar adalah dirimukah segala pasti tak ada demikiankah "demikian, aku mencium darah puisi begitu harum terasa” Kau Jiwa Yang Lapar kau jiwa yang lapar dan haus menagih-nagih sekucur darah dari luka luka nganga di langit yang pecah berhamburan dalam dadamu yang rapuh tak henti keluh melempar-lempar aduhnya hingga getarnya sampai mengguncang guncang gegunung lembah bebatu berlesatan ambruk ke dalam gelegak lava yang menguapkan kepedihan dalam jiwamu yang lapar dan haus akan darah hingga wajah wajah masai tak berupa menjadi lukisan abstrak pada pasir pasir pantai dihanyutkan arus gelombang keperihan yang meraja dalam jiwamu yang lapar memagut aksara demikian liar dan nanar menyimpan rindu berdebu di buku-buku yang tak mencatatkan penanggalan di mana bermula segala riwayat derita dan bahagia manusia yang terlontar di rimba pergulatan di jalan jalan penuh dusta dan petaka di mimpi mimpi buruk tak berujung pangkal carut marut tak habis menelikung menggunting menikam dengan hunusnya yang tajam hingga kau adalah penyandang kutuk yang tak henti-henti menagih dengan cucuran airmata yang menetes di rerumputan padang-padang perburuan dan peperangan di mana dipanaskan segala mesin demi segala yang kau ingin demi tuntas segala nyeri rindu dan rasa lapar yang tak henti-henti menyayat-nyata jiwamu yang terus berteriakteriak tak henti dilecut-lecut api yang mencambuk-cambuk kepalamu sendiri hingga benak otak berhamburan di medan-medan keberanian dan kebodohan di jalan-jalan penuh lubang nganga di lubang-lubang pemakaman massal dan rumah-rumah sakit jiwa karena engkau demikian lapar dan gigil yang tak henti memanggil dirimu untuk kembali! Narasi Pembantaian dan Nisan Tanpa Nama : sihar ramses simatupang seperti mimpimu: nisan, sebuah batu duka, bertanda gambar tengkorak yang ditatah di situ. tanpa nama. tanpa tahun kelahiran dan kematian. hanya kengerian. terbayang di wajahmu. yang menziarahi dengan puisi di suatu waktu. bagaimana dapat digambarkan kebuasan, kekejian dan keliaran, dalam kata-kata. pembantaian! bayangkan amis darah, anyir daging yang tersayat, ditusuk belati, dilubangi peluru panas, luka nganga, dan ulat yang menggeliat di sela-sela tulang dan patukan burung di lembah terbuka. inilah kengerian yang memasuki sajak-sajak yang hitam dalam kepak sayap gagak berputar meriuh di atas padang-padang berserak mayat dengan mata yang tercungkil, tangan yang hilang, kaki yang remuk dan daging dada serta kepala yang mengelupas tercabik-cabik di paruh burung gagak dan nazar. jika malam tiba, rasakan dingin udara, hawa kematian dan bayang hantu-hantu berkeliaran, ingin mencekik lehermu yang merindingkan sebulu-bulu pada tubuhmu, hingga tak sadar bau pesing menguar dari celana. mimpi ini demikian buruk, katamu. sambil mencatat sajak di duka batu. nisan tanpa nama. puisi hitam. mimpi kelam di hitam malam. Puisi Mencakar Wajahmu dengan Kuku Jemarinya Yang Lentik puisi yang diam-diam ingin kau tulis mencakar wajahmu. dengan kukunya yang tajam. dan kau menulisnya sebagai kepedihan. inilah puisi, katamu, sambil membayangkan kuku di jemarinya yang lentik. dan menyisakan perih di wajahmu. puisi yang kau kira sebagai kucing manis. berbulu lembut halus. ingin kau timang-timang dalam untaian kata di dalam sajak-sajak. yang ingin kau tulis di sebuah senja yang indah. saat matahari menyemburatkan warna jingga di langit. tapi tak kau tahu siapa puisi. karena kau terbius oleh mabuk kagum. dengan debar di dada. seperti debur perlahan gelombang di pantai-pantai landai berpasir putih gemerlap tertimpa cahaya. di pantai mimpimu. dengan harap untuk dapat mengetahui segala rahasianya. kelembutannya. sebagai kedamaian yang hadir dalam hatimu. sebagai ekstase yang menuntaskan segala birahi. membuat hidup jadi demikian gairah. menyala terang seterang purnama bulan. maka kau ingin mengabadikan puisi dalam huruf-huruf, kata-kata, frasa, kalimat, bait, sajak… sebagai puisi, katamu. tapi tak kau tahu puisi sebenar-benar puisi. seperti saat ini. tak dapat kau menuliskan puisi sesungguhnya. karena yang kau ingat hanya kuku jemarinya, yang melukai wajahmu. maka kaupun mulai membenci puisi. dan mencoba menghapusnya dari ingatan. tapi puisi hadir di mana-mana. dengan senyumnya. dengan kerling matanya yang menggoda. dengan gerai rambutnya yang melambai-lambai. dengan suara lembutnya. dengan desah manjanya. dengan tawanya. dengan lembut jemarinya. dengan …. puisi mengejekmu. dengan segala kenangan. dan kau tenggelam dalam pusaran arus gelombang puisi yang memabukkan. tenggelamlah engkau dalam puisi yang menjelma jadi lautan mimpimu. hingga di dasarnya kau tahu: puisi! Nanang Suryadi, lahir di Pulomerak, Serang pada 8 Juli 1973. Salah seorang redaktur di Cybersastra.net. Puisi-puisinya dimuat berbagai media massa di dalam dan luar negeri, antara lain: Jurnal Puisi, Bahana (Brunei) dan Perisa (Malaysia), Horison, Suara Pembaruan, Kompas, Republika, Pikiran Rakyat, Korantempo, Lampung Post, Jawa Pos, serta disiarkan melalui Radio Jerman Deutsche Welle, situs cybersastra.net, bumimanusia.or.id dan detikplus.com. Buku-buku puisi yang menyimpan puisinya, antara lain: Orang Sendiri Membaca Diri (SIF, 1997), Silhuet Panorama dan Negeri Yang Menangis (MSI,1999) Telah Dialamatkan Padamu (Dewata Publishing, 2002), Antologi Puisi Indonesia (Angkasa-KSI, 1997), Resonansi Indonesia (KSI, 2000), Graffiti Gratitude (Angkasa-YMS, 2001), Ini Sirkus Senyum (Komunitas Bumi Manusia, 2002), Hijau Kelon & Puisi 2002 (Penerbit Buku Kompas, 2002). Serta di CD Antologi Puisi Digital Cyber Puitika (YMS, 2002), Email: nanangs@cybersastra.net Ramon Damora Perpisahan kutulis cintaku pada sehelai papirus kau kutunggu, dalam rindu yang aus adakah angin telah mengirimnya pada sia sisa doa batu-batu penuh lumut dari fragmen purba lentik api menari di tapal batas ini membakar burung-burung yang menyeberang sesekali bahkan darah yang riam sempurna diam dalam di sana awan tak bergerak memandangmu mencumbui beranda keranda yang sebentar lagi tiba batam, 03 Jam Malam batang-batang bintang yang menyusun pagar langit telah simpan perih menit jam memejam tapi marus jarum itu masih memburuku hingga ke balik-balik rumrum punggung matamu aku kesepian batu kesekian terundak memapah babi-babi penuh luka di pundak sajak sajak cinta: rahasia yang selalu kau kira lebih renta dari usia dusta saat paling gentar menginginkanmu adalah ketika ranting bakau memelukmu dari belakang sebelum kekunang menyiangi jejak bulan dari kubang kenangan yang pelan-pelan ruyup dan melangkah ke tepi ranjang menjura sekarat mimpi: hai surup sungai yang tak pernah sampai mungkin dadaku akan terus menetes di atas pualam rambutmu, kejutan dalam hidupku serupa amsal rintik embun di ubun karang dalam kisah para nabi menggali liang kuburnya sendiri setakzim malam dan suruk pagi batam, 03 Di Bawah Hujan di bawah hujan angin taung ditoreh lembab cahaya berkabung belatung kulihat seorang lelaki dengan senja membusuk di matanya berdiri di halaman sebuah sekolah sore menelan sisa-sisa serenade kanak-kanak berlari mendahului lonceng terakhir seakan tetamu kecil yang tak betah di rumah paskah: memburu karnaval aku mengutip pecahan-pecahan kertas berderai dari ransel mereka mengarsir huruf-huruf basah tak terbaca tapi, sesungguhnya, mulutku lebih dulu terkelupas melebihi garis tanganku sendiri berpiuh, mengejar takwil tentang kebencian yang tak pernah kau miliki hati hati batam, 03 Ortodoksi tubuh yang tergenang syahwatmu : di situ syahadat kutalkinkan kata-kata menjauh tanpa sauh menggetarkan rima tapi, sungguh, aku tak memilih khianat, sayang cinta tak selamanya berpusar di jarum jam yang selalu menusuk rusukku bagai mao, kita berharap pada senjata dan malam-malam dingin di klandestin mungkin tapi aku kini kaca menyembunyikan serpih lilin antara retak dan nyala dari tubuhmu, puisi luruh tanpa sebenangpun kain sayang, mengapa manusia bisa demikian bahagia? batam, 03 Prelude Hujan malam mengalun bulan seperti lingkar bandana di pinggangmu yang bermanik-manik arsir hujan bulan mengalun: aku ... ketika masih kauketatkan pagutmu (tiada kuduga sebiru itu) dengan cemas kanak yang melipat kenangan seruas origami: rumah-rumah kertas azali begitu ganas musim mempecundangi kita seperti para eksil yang terusir dari negerinya tiada bertanya dari mana ke sana kelak di negeri yang jauh itu desis tak lagi piatu, kau masih yang dulu: muallaf cinta dengan scarf menyentuh bahu batam, 03 Gurindam Setengah Mayam abu bakau mengendap lagi dalam gelas bekas teh mawar hitam entah sudah berapa kali kubunuh dendam di tungku paru di jantung malam tapi cinta di pucuk tiba, tuba yang mengulam ah semayam rindu semayam kukubur saja kau di balik sekam atau kupagut selalu nisan tanpa makam batam, 03 Nudes : nota untuk desember tidurlah rebahkan alismu yang cermin sebab di sana peri-peri menyerlah dan dosa pun tak ingin tebing hilang curam puing dulang manikam bila kau terpejam gagak membuang dendam malam kian dalam bila kau terpejam tidurlah dengan mimpi yang sangat kau sayangi: tikar pandan di ladang tebu setelah film-film biru ''apakah semalam aku mendengkur, honey?'' tidurlah, rebahlah, mendengkurlah ... hingga kau terjaga aku kan tetap menjaga rahasia kelam kelamin batam, 03 Sebelum Aku Membunuhmu, Ibu -satu- ibu kukirim surat ini pada segala ababil di langit yang penuh humus sungguh, aku hanya tak mau daun-daun rindu ini hangus sebagai tumbal sebelum kau baca tuba batu bermekaran di hatiku -dua- telah kuketam waktu sepanjang jejak sepanjang air matamu, ibu: memanggul doamu kembali aku kini berdiri di beranda penuh genangan bangkai antara masa silam berderai dan peperangan hari ini yang mesti dilerai kelopak musim gugur menggamit igauku tentang semayam musik masa depan kusematkan ajal yang mematung pada puncak karang agar segera dilamun badai dan pecah terserak ke segala pantai mengapa rabi'ah adawiyah ingin menutup neraka dengan tubuhnya mengapa seseorang telah menutup usia saat cinta bergetar di seluruh asma bimbang jam, wahai, merah nafasmu telah melarutkan persinggahan sementara cuaca yang gaduh kian menuntunku menghunus perlawanan sujudku berdarah ditikam tangismu, ibu yang tak pernah basah -tiga- aku berkeras untuk tak berdusta dengan sejarahku sendiri, ibu yang aus dan diselubungi kabut pernah rahangku patah menyebut namamu sedang igaku berderak digulung ular sakati muna aku tak berdusta untuk mencintaimu begitu rupa walau hutan, sungai, segalanya telah menyeret bangkaimu yang pengap agar senantiasa kudekap aku benci berdusta dari nista pada kusta di tubuhmu, ibu sepasang dadamu yang picak tak boleh kubayangkan sebagai buah ranum bergelayut di tali kutang berenda lemakmu hangus mendengus darahku yang telah lama tumpah di kuala sedang para kelenjar di selangkanganmu terus saja mencucuk ari-ariku yang tertanam sebagai jadah tapi bukankah pantang seorang lelaki berdusta? dengan perih yang masih tersisa aku menakik dadamu menampung susu yang tak lagi meleleh sementara jejak darah di lingkar putingmu telah kusirami garam sebelum anjing dan ular dan lipan memburumu dengan bisa terjulur karena bagi mereka ratapmulah ibu dari segala -empat- ibu balaslah suratku jemputlah letihku sayatlah dagingku lemparkan buat iblis di kubur-kubur: sebelum aku lebih dulu membunuhmu sambil menenggak anggur! batam, 03 Sekarat Rindu, Sekerat Kau biarlah kini kukepayangi dulu derit engsel yang luruh di ujung sajadah itu mungkin beban paling berat adalah rindu perhentian masa kanak ketika kau sapa gemuruh siak antara cecak juga daun-daun pintu biarkanlah kucumbui dulu gurindam yang mengeras di pori-pori tingkap itu kerana entah pabila lagi kuhirup angin yang khatam di jala nelayan ini ketika rahasia tersimpan mengembarai mimpi ke semua jauh melempar sauh biar, biarkanlah riuh kenangan menuba melukai setiap igauku aku kan selalu setia untuk tetap mengingat karat tak karat batam, 03 Teratai : bagi penakluk teguh sekali pandang tangkaimu jadi sepotong petang tersangkut rindu yang lusuh sungguh pada lanskap merah disalib senja kesabaran waktu terbakar kolam hitam saga tempat unggas-unggas berkaca membincang cinta yang mekar antara mitos tanda jasa dan sia-sia sekali mengapung padamu jua sajakku relung: diri yang dibesarkan lumpur adalah persinggahan ikan-ikan dalam salam dan pelipur batam, 03 Hibahkan Satu hibahkan satu, muhammad, padaku cinta yang senja agar rumah-rumah kaca memantulkan perih sua hibahkan satu, ahmad, cinta yang senja agar selaksa mata kail meghunjam dada darah kan jadi bambu, jelma pancing padamu, aku gemburkan tanah sebagai zikir cacing walau jaring dunia meminta lelaba penuh lalat dan lipas dan serangga di dalamnya aku tetap merayumu --seronok, seronoklah-- menghibah cinta yang senja tengok, matahari hampir sempurna di linangan ufuk jingga hibahkan padaku satu padamnya saja jadilah biar sinar segala batam, 03 Sekadar Posmo kupu dan rerama mengecup ubun darah yang menggenang di jalanan hujan masih belia mengarsir peluru yang tiba sendiri dari halaman ibu yang telah lama menitipkan payung hitam itu padaku, berkata: ''kalau mami menjemputnya nanti mami sudah tak melihat kau membujang lagi.'' batam, 03 Fragmentasi Hijrah 1 aku bertanya datang biru malammu dengan sewirid neon tapi mengapa selalu saja angin bersiap menghisap gugur laron firmanmu sering menunjuk lebuh tempat riuh menabal dan diam batuku setubuh berabad-abad telah kususun aspal hanya seluruh nama keretakan yang tergenapkan aku bertanya, bertanya: mengapa dari sangkar bulan kudus selalu berlepasan burung rindu yang hangus batam, 03 Fragmentasi Hijrah 2 hari demi hati dayung rakaat sampai selat aku tak kenang lagi mula kesumat bila cinta dimulai ada kerling bulan diparut parit umur kadang berkelebat jua giring-giring kaki betina tapi bagai tanah yang dilampaui dedaun gugur akulah ranting yang tak lagi merindu punca kaukenangkah sekarat lukisan rumah bunda yang diseberangkan gerimis senja setelah sentak dari mimpi tenung anjing jantan ke parak-parak purba terasing dari riuh jalanan pada mulanya adalah perempuan amuk yang jumbuh dengan akar di sekujur malam dirajuk jalang yang jembut dan kelenjar di sebuah dendam aku tak ingat lagi tengah dosa bila sembahyang dimulai selama Nya batam, 03 Ke Hadiratmu: Perang -satu- di liang anyir ini, luka membilangmu penuh rindu aku belajar jadi seseorang yang melesat jauh dari masa depan seperti belajar menekan pelatuk untuk sesuatu yang telah lama tembuk sisipus, sisipus, aku mencium bau batu berzikir di punggungmu -dua- angin memang selalu gusar dan kita lahir dari tualang sangsi memalsukan fana: perang tak berakhir tak pernah akan berakhir di ujung tarikh, orang-orang mengungkai kepedihan meyisihkan doa yang terlalu kepayang akan kemerdekaan abadi di ujung tarikh, orang-orang mengungkah rahim bunda sambil sesekali mengokang senjata: minta dilahirkan kembali sebagai bayi yang ranggi dan tak berdosa -tiga- demikianlah, bendera demi bendera kibar menyanyikan lagu kebangsaan yang lapar pada musim kemarau yang letih menerjemahkan debu dengan bahasa-bahasa romantik tak ada percakapan di sini: tak ada kecuali tamasya sungkawa bahwa kita harus punya tanah sendiri menjaganya dengan apapun cara -empat- di lubang bacin inilah luka memanggilmu bertalu-talu sebab tak ada yang tersisa pada biru nafas kita kecuali gemetar kawat perbatasan dalam hening sunyi ditoreh kabut juga rerama kecuali cinta yang tinggal gema dalam kering perigi menyudahi mimpi menyudahi warna pekanbaru, 03 Segigil Rindu Kau Ketatkan hujan belum jua reda dari malammu seperti genangan sampah bunga plastik di pucuk parit itu kau ludah bayang bulan dengan kutuk sisa doa semalam masih tersimpan dalam mantel busuk segigil rindu kau ketatkan antara derak seng, paku tua dan halte yang diam angin memang telah membentang dena memantul-mantulkan luka yang belum selesai dibakar tapi seseorang telah menyimpan bara di sebalik jas bekasnya entah padahal aku lama menunggu unggun itu membeku, katamu segigil rindu kau ketatkan seperti menganyam derak seng dan paku tua dihujan hujan entah sudah berapa kantuk kau tunda sekadar menunggunya membalaskan dendam batam, 02 Roman Tak Selesai 1 telah kudengar derit yang menyeret geletak waktu dan sudah kupastikan pula bahwa engkau memang menangis pada dingin subuh, azan yang mengiris lalu kau lekatkan bibirmu di balik jendela kereta pagi lama, dan sisa-sisa embun menguap di sana seperti memintamu untuk menuliskan sesuatu di tubuhnya sebutlah, misalnya, seberapa syahwatkah eranganmu malam tadi di pelukanku dan seberapa butuhkah butuhmu merindukannya kembali: apakah yang lindap di pucuk hati di pucuk-pucuk sangsi ini akhirnya menjerit jua peluit penghabisan sua, betapa, demikian sebentar dan bercadar sesaat satu demi satu gerbong ungkai angin mencela rindu yang tak sampai di luar peron-peron alit diam meregang gegas pintu-pintu tertutup ketika masinis melambaikan tanda dan sebatang tembakau menyala di jakun gerunku kepulan asap yang menanti giliran tanya yang tak seluruhnya lepas: sempurnakah alamat pada karcis-karcis itu batam, 02-03 Roman Tak Selesai 2 aku mengarsir kapal-kapal ungu di alismu yang ranjang menepikan gelombang derit engsel di pintu kabin mengaliri hawa dingin cintaku telah lama beku di gudang-gudang ringkih itu, sayang berdesakan di antara karung padi erangan buruh dan riung bawang tapi kapal-kapal ungu di sekujur alismu masih saja memetakan debur dari punggur dan sekupang aku hibur jua pelabuhan tua di hatiku bahwa esok mercusuar tak kan pernah berhenti menyala datanglah sesayat ranjang menanti kita untuk meniupkan firman-firman lama bacalah aku mengerti camar-camar perbani memang seharusnya terbang tinggi seperti juga aku harus memahami mengapa kau biarkan rambutmu tergerai di gerai-gerai plaza dan lampu-lampu trotoar yang memendarkan luka aku akan mengarsir debu yang kini melekat di pita kepang itu angin malam dini hari lalu masih menyibak tengkukmu mari biar kuseduh aroma mayat yang gelisah mencari kerandanya sendiri batam, 03 Il Fault Cultiver Notre Jardin : bagi HJ dengan seluruh cinta burung-burung barzanj hinggap di dahimu langit membentur-benturkan diri ke dadaku minta hujan, minta hujan mari menanam bulan ke dalam taman maka ingin resaku memeras pualam dari helamu bayang-bayang demikian saja melengkung di tubuhmu tapi waktu barangkali sesuatu yang lesat matahari berpendar pada kedua mata kakimu --irama tak tentu- menyiakan pertemuan yang entah sampai kepan jalan membesi berat, ayahanda, sedang di ujungnya tak kutemukan bara! burung-burung barzanj memang telah lebih dulu bersarang di suaramu sementara langit-langit menghilang dari lidahku mana hujan, mana hujan pecahan bulan mengirimkan jarum ke dalam badan lalu hari menetas dari kegamangan yang hidup seribu hasrat memencar ngepung darahku menyisakan pencarian ke segala entah penjuru cakrawala memucat pasi, bapanda sedang hingga kini pun tak kutemukan cinta! pekanbaru, 02-03 Asbak Satu Babak pernah aku berpikir hidup ini tak ubahnya setubir asbak terbuka: menerima begitu saja segala dengan bentangan dada atau menunggu cuma takdir tembakau menyelesaikan cerita tanpa harus terbakar jengkal-jengkal nikotin dan tar lalu ketika akhirnya puntung-puntung menumpuk dan lubang telah penuh tinggal soal memilih belaka: bersiap lusuh atau menyaksikan manusia menjauh batam, 03 Lagu Germo ini kabutku kuserahkan sehelai demi sehelai pada pucuk-pucuk gunung di matamu sekadar menangkup magma yang bersemu merah itu duhai, debar gugup dan malu-malu sebab sekejap lagi tarian akan dimulai merentak sekujur risalah gairah mencium ubun batu dan lentik bangkai tanjungpinang, 03 Retur Cinta Sekujur Catur bukan pamrih bila kau ucap lagi cintamu yang dulu pernah hamil tua meregang, memerih ketuban melahirkan kanak-kanak pion yang kau elu menjaga raja kasihmu kelak tapi hitam, tapi putih kan tiba juga waktu akhirnya terbaca: kau tak bahagia, ternyata mengerang, di belakang, setiap kali beri sayang sudah, jatuhkan saja: cumbui aku sehijau melon atau pekikkan itu: skak! barangkali hanya dalih (apalagi yang lebih sembilu?) sebab kau tak berhenti bertanya: mengapa adakah yang tak sia-sia sesungguhnya apakah setia mengukur jejak kuda hutan atau membangun benteng dari papan pada tiap sekon tak berjarak? angin memang telah lerai, menyerpih tapi burung-burung petang masih saja menorehkan biru seperti hujan akan selalu ada mengilhami lumut dalam lumat ciuman paralon tua tak retak tak batam, 03 Untuk Tak Mengatakan Setia mengapa matamu selalu berdengung kuat dalam lampu pucat itu ketika rinduku berdesakan bersama sayap-sayap laron terbakar jatuh ke krah baju harum lehermukah yang seperti hangus seperti gentar ah, aku masih pantas berkabung rasanya kubuka horden hujan juga masih di sana menghapus jejak segalanya menghapus esok dan kau tiada selebihnya adalah genangan angin gerangan lain menggali parit-parit air mata sebagai tempat terakhir bunga-bunga ''abang, apakah nanti aku kan menjelma bintang?'' ''ya, ya. dan kau terbanting ke bumi kita bercinta di loteng ...'' batam, 03 Dongeng awak bilang ini rahasia: ada seekor rimau yang rebah baringnya ditangkup lalang dibentang padang savana jangan cakap ke orang, jangan cakap ke orang nanti datuk marah, mengerkah arwah ssst, ia sedang berburu, menanti mangsa beku dan moksa siapa lengah kena simak tatapnya redup mendena lengah angin utara kabut saja telungkup saat jarak pecah ia menerkam lebih dulu sebelum kita sempat kata: dia! maka itu, baik awak diam baik pura-pura tak nampak belang tak sudi berbagi talam ia pasti lebih ingin sering berburu bila mulutmu tak henti meracau ia membisu. tak nampak hanya dengus-dengus lalang dan lapar angin menyisakan arah menyiakan jejak sekali silap kau mengatup lidah ia mengerkah lebih dulu sebelum kami sempat salak: kau! batam, 03 Philosophes cuma misal yang lewat melambaikan berkubur enggan mengekalkan hasrat daun-daun di nun menyelundup ke sebalik perumpaan riuh angin sayup-sayup kudengar gazali di ujung salon membicarakan karma seorang lelaki yang tengah berdiri dalam bayang-bayang utopian dan puisi tapi hanya tanya yang lintas tentang ambisi, mungkin antusias beban-beban kemanusiaan abad 19 holobis kuntul baris, holobis kuntul baris pembaruan, katamu, telah menghanguskan harapan di jalan-jalan kerontang yang pernah menyatukan doa, kata-kata sia bersama apapun sah menyetubuhi ketakterhinggaan hampa hai keasingan ini, baiklah, akan kukatakan hanya sisa mimpi semalam jika harus kutenggelamkan jua rindu biarlah kukuliti dulu diri meski tanpa catatan kaki seperti nietzche, karl marx barangkali mengurapi waktu dan menunggu tuhan sampai mati sampai candu batam, 02 Sihar Ramses Simatupang Tafsir Apologia buat: scb perempuan dan lelaki menafsir hidup tak serupa debu dan daun-daun detak malam memburu jalan di mulut musim yang buram satu halte satu trotoar satu ngiluku hujan rintik satu langit satu bintang satu sadarku di atas batu sebuah surat sebuah potret :menuju tempat tidurmu! Taman Ismail Marzuki, 2002 Metafora Para Pendosa :sutan dan sajakku yang kugeleparkan malam itu dan mengelepak ke jendela rumahmu, adalah anak-anakku. : yang lahir bukan dari kata, melainkan kedukaan yang terus menyala, bahkan membakari jantungku. pernah aku menjadi tengkorak karena panasnya kata-kata itu. mereka yang menyala garang, tak selalu atas namaku. mereka yang meliar, memporak-porandakan bukit kejantanan: adalah kuasa lain yang berpacu dalam kegarangan dunia dan batu-batu. apakah lagi metafora yang kususun untuk memenjara mereka? sebab terali telah hancur dan bahasaku koyak ketika mereka siap pergi dan berjalan bahkan saat aku tertidur. mereka yang merobek selaput mimpiku, berlari-lari di atas kepala. adalah duka kita sendiri, yang terlanjur berdarah nanah. : sebuah sejarah manusia, yang engkau dan aku tak akan mampu mengingkarinya. Rawamangun, 2002 Pejalan Kaki di Sebuah Pulau perempuan itu telah tertidur di sampingku. tapi bukan raganya, sebab aku hanya menari di samping jiwanya dalam kemabukan, sebelum fajar datang dan matahari merampok jadi mimpi-mimpi panjang. larut malam di laut pulau jawa, aku menggelepar sangsai. lelah mataku terbang, dari tidur satu ke pucuk-pucuk mimpinya. di antara lekuk tubuhnya yang putih bagaikan pualam. engkau tak lagi nyata di mimpi ini. aku tahu, engkau juga akan menghilang seakan tubuhmu telah siap kau persembahkan buat pejantan lain yang sejarahnya tak pernah aku kenal. tubuhku sesak, pemabuk yang menghindar dari keterjagaan. sebab kesadaranku hanyalah kesedihan. dari pantai ke pantai, terus kubentuk jiwanya tapi misteri tubuhnya barangkali tak lagi pernah bisa aku terima. Surabaya, Awal 2002 Tentang Kesepian Nelayan sebutlah dia, lelaki nelayan yang renta. tatkala musim-musim tak sampai di depan matanya. dari mercusuar yang beku, dari jaman purba, tak ada kapal yang datang mengabarkan tentang pulau lain yang telah tergambar dalam lautan mimpinya. tak ada yang melemparkan selendang atau saputangan, atau bendera di tengah kapal. dia yang ngelangut sendiri, pada perahu yang robek oleh duka dan aksara masa lalu. haruskah cerita ini dikabarkan? sementara laut masih saja bisa bijak dengan bahasa diam? tidak, dia berbicara pada karang. pada bunga-bunga ganggang. pada berita yang bukan ditujukan untuk siapa-siapa. kecuali untuk dirinya sendiri. musim dan masa lalu, haruskah datang pada kepak camar pada pinggiran bibir pantai? Jakarta, 2002 Bunga-Bunga tak Mekar : surat buat pablo neruda nyatanya, hingga saat ini pun aku masih melihat bunga-bunga tak bermekaran kecuali lumut yang masih tumbuh dari kaki para pengemis jalanan. gembel dan pengamen tetap saja menyiulkan lagu-lagu bukan kebangsaan. sejarah duka belum usai untuk pergi. di sini, tak ada almanak yang berubah menjadi embun para tunawisma masih menangis di sejarah yang tak lagi mereka miliki masa depan, dongeng-dongeng tentang pedesaan telah lenyap di aspal, sejak keberangkatan mereka yang pertama kali. etalase kaca telah tumbuh beranak pinak, dan tangan mereka berubah menjadi bayangan pencoleng jalanan memperkosa kota yang tak lagi berwajah perawan. ada desah terampas di pucuk lorong metropolitan, orang-orang keranjingan martabatnya sendiri. tak lagi perduli bendera, atau mawar yang terselip di antara almanak-almanak tua para pahlawan kami. : semua sejarah telah pergi, ketika orang-orang kota telah tersihir. di dalam pesona kaca dan televisi. Jakarta, 2002 Padamu, Kesucian itu Masih Kau Jaga padamu, kesucianku itu masih kau jaga menerbangkan merpati ke langit-langit yang juga biru, sejak ribuan tahun yang lalu. danau masih bening, dan sungai masih menyenandungkan nada-nada yang tak berubah. padamu, kesucianku itu masih kau jaga nada apakah yang akan kusulingkan dari sini untuk mengirimkan kabar buat telingamu agar bisa tertidur dan tak terjaga oleh kesakitan demi kesakitan yang kuberikan, atas penantian panjangmu yang tak pernah bisa mengantarkan diriku agar bisa kembali ke haribaan. Yogyakarta, 2002 Sajak Bugil Tanpa Anatomi engkaukah fajar yang kerap menghilang setiap kubuka kelopak mata? kau sisihkan cahaya. agar aku tak berupa kau berikan malam agar tubuhmu menghilang dalam kesesatan dunia tanpa peta. : aku bugil tanpa anatomi. Jakarta, Medio Agustus, 2002 Tanpa Cahaya misalkan bulan itu terbelah dua ingin kurekatkan satu sisinya ke keningmu agar ada makna yang bisa diceritakannya tentang kegelapanku aku haus serpihan cahaya dari setiap anak rambutmu : berilah aku tanda sejak perjalanan ini yang kuraba hanyalah kebutaan malam dan mimpi melegam gosong tak lagi bisa bernyala : aku bisa apa? Jakarta, Medio Agustus 2002 Menguntai Untailah sajakku ini Seirama burung Yang berkicau Menjelang senja Agar sepi Tak lagi rata Hanya dengan kata-kata Untailah rasaku ini Seirama bunga Yang tumbuh Di kala fajar Agar harumnya Tak jadi pupus Cuma dalam sekejap mata 2002 Sajak Pejantan Mabuk : wajah saut situmorang malam itu, kami telah menjadi pejantan di tanah perantauan "kawan, siapkan tuak, masa silam dan parade lisoi-lisoi!" katamu. lalu mengalirlah jutaan nada-nada kejantanan kita, pada bulan, sejarah dan kegarangan yang menancap di tubuh-tubuh perempuan "perantau selalu punya mantera-mantera padaku tak ada airmata kecuali kekejaman sejarah. seperti perjalanan yang dilebarkan oleh nenek moyang dan datu-datu.seperti pada saat kita berangkat demikian juga sejarah kembalinya" kataku. mengelepak jadi elang di pulau-pulau kita bariskan parade aek sibundong, yang menggetarkan berahi perempuan-perempuan malam. : kita yang menjadi pejantan di tanah-tanah asing seperti kekalnya persahabatan. kukatakan: "kau saja yang melepas panah". lalu menarilah engkau dalam tarian tor-tor buatku saat engkau pergi ke medan cumbu dan bergumul bersama bulan separuh… Agustus, 2002 Percakapan di Ujung Senja "engkau membakar senja buatku, merapal kata-kata mantera langit membuih awan yang berlumpur di wajah laut menggelegak dalam pembakaran senyum kekejaman," ujar bidadari itu kepadaku. (aku adalah kegetiran mata lelaki yang berdarah di kakimu penyair yang mengelepak dalam kengerian bahasa diam surga adalah wanita dan anggur maka, jadilah dia gua yang kesepian sejak ratusan kelelawar telah dirampok dari kamar tidurnya.) gelinjang adalah kebiadaban, atas masturbasi yang padam oleh luka yang digarami pada suatu senja: awal pertemuan kita. Jakarta, 2002 Tentang Rahasia Aku lelah membuat peta-peta Menggerus kwas pada kanvas lukisanmu Engkau tak menghadirkan warna lain Kecuali merah Yang terus tercatat Amarah itu menjadi api Engkau terus bergerak Dalam kelok-kelok Kebencian dan dendam masa lalu Bagaimana mungkin kuceritakan semua rahasia seperti aku yang menyerahkan rahasiamu untuk dikubur pada kekakuan senja : biar seribu pertanyaan terbungkam agar nyala agar aku tetap memeluk atau mencumbu lihatlah, malam jadi beku bila engkau tak cemburu. (bulan jadi mirip perawan kaku). Jakarta, 30 Agustus 2002 Dukamu Adalah Perjalanan dukamu adalah perjalanan roda kereta yang hitam menuju malam. engkau pergi, ketika senja belum usai kulukis di atas marmer stasiun. Tak ada grafiti namamu. Kecuali lamunku yang menjelma serigala, ketakutan telah bersarang hingga ke persembunyian dewa. Engkau pergi saat waktu belum selesai kucatat di atas tugu kota. dari stasiun, waktu mengalir bersamamu. Bidadari pergi tak lagi dengan kesedihan masa lalu. Cuma hiasan bunga padma yang menghias di biru hatimu. Jika Menghitung Puisi di Tubuhmu jika menghitung puisi di tubuhmu maka berkelepasanlah rembulan : sisa peradabanmu di tengah malam ketika terkenang aku yang masih bergelut matahari. 2001 Amorphophallus Titanum danau sepi, bangku taman jadi keranda aku merangkai indah kematian senada kelopak yang berlepasan lalu akar menjuntai pemandangan purba membuat luka menganga kelopak jatuh lagi terdekap berat penghabisan dilempar ke jurang dunia berpagut kelu langit kotor, malam terpupus warna kelelawar terbang dari gua burung-burung pulang hinggap di pohon : semua memburam. mulutku cuma pengantin malam sia-sia menyusur jejak, dan tanda-tanda angin enggan membisik rahasia terbeku sekarat musim yang lata renungan tanpa cerita menyunyi seketika (waktu tertebar racun dan jelaga). Bogor, 2002 Dari Perjanjian di Tepi Danau : perantau yang tak kembali (sugari boi ahu nian tarsongon lali habang ahu tariparakku lauti lao mandapothon ho tu si…)* sayap yang kukepak melintas waktu menimang untaian rindu mengukir huruf-huruf jadi namamu “pernahkah kau tahu” sepi merayap di atas lekuk-lekuk danau toba sejarahmu kutimbang dari bukit hingga petiduranku nyanyi getir berdenting dari dawai gitar sunyiku menghempas ganas melahap kenanganku padamu “kau katakan, engkau merindu” di pinggir bukit simanjarunjung kutunggu kebenaranmu menjadi penjaga merangkai cinta di desau angin di rerindang pohon : sunyi yang meraja menguatkan aku pada kenangan tentangmu Jakarta, 2002 *) lagu populer yang saya lupa penciptanya, bermakna: seandainya bisa seperti elang aku ini, akan kuterjang lautan itu, untuk mendapatkan kau disana… Histeria kepada hitam, aku telah bersedia menjadikan gelap sebagai rumah yang paling dapat dipercaya. dan engkau, pasti tak akan pernah mengenal wajahku lagi. Depok, 1996 Doa Gelandangan di Malam Natal Bersalju “Tuhanku berilah aku kehangatanMu untuk kita rasakan berdua, melewati malam-malam natal ini” (esoknya, dia ditemukan mati di pinggir jalan. Di dekat sebatang pohon cemara tua) “inilah sebabnya, mengapa Tuhan tidak selalu mendengar doa-doa kita” ucap cemara, nyaris tanpa suara. Surabaya, 1995 Berburu Masa Lalu biarkan matahari memasuki mata dan rembulan jadi wajahnya sebab cahaya yang kugenggam akan padam disantap angin tujuh penjuru yang terus menderu di sepanjang labirin waktu. Manado, 1992 Sajak Laut kau buat laut dari airmata ku campur lautmu dengan tetesan-tetesan darah : tapi mengapa tak kunjung ada camar yang melintasinya? Surabaya, 6-11-1995 Epitaf Tanpa Ujung : Sitor Situmorang tak bisa begitu saja engkau lantakkan persemayamanku hanya dengan gerimis satu malam ayo kita pasang dan kepakkan: ribuan tortor di atas kepala yang berkunang-kunang ribuan tahun cahaya aku menantimu seperti rengek anak dari kejauhan pada sejarah. ribuan tahun cahaya engkau menghilang dalam pekikan penderitaan. engkaulah batu, masih ada terpercik sisa larutan air yang sempat membawa tubuhmu pada sebuah negeri, tatkala senja tak lagi melayarkan dongeng para ibu. dan aku sama sekali menjaga kesunyian, bukan atas namamu. nanggar tullo nyatanya tetap menari sepanjang sejarah di atas ulos dan hamparan rumput dan bukit berbatu di antara segara dan pantulan airmukamu. engkau adalah duniamu sendiri, seperti aku yang lahir dari peradaban kosong. ku sibak riak-riak kata yang mengalir dari suratmu, serasa engkau penguasa negeri datu-datu. tak ada tersisa nostalgia tentang danau atau sarune atau sigale-gale dan bukit gundul di antara batu kering. sebab telah lama kita berpisah di antara pejalan kaki. memetik edelweis merah muda yang kesepian karena lama tak engkau pagut dengan bibirmu. bukitmu memang bukan bukitku, namun entah mengapa bayangannya jadi pekat ketika lereng terjal tak lagi kujumpai di depan mata. tidak sadari engkau terus lahir di antara duka dan perjalanan dari ribuan halte yang menyisakan perjalananmu masih tersisa beberapa puisi yang kutanam dalam taman-taman sejarah besarmu. Agustus, 2001 Ode Gerimis Satu Menit buat: m.m dari rerimbunan ilalang yang masih setia menjamu perjalanan kita engkau masih menjadi mawar yang tertiup angin beribu musim ada sisa anak rambut dan batu-batu yang menjadi jantung pada tubuhku dan dadamu rinai gerimis memancar dari sungai-sungai masa lalu berkelok menembus samudera wajahmu kita melayarkan batu kaca pada laut yang tak lagi manis menguntai tembang-tembang kehidupan. satu menit, dari ribuan detik waktu yang berpacu dalam desah nafas senja bangkit berani mengupasi kerak langit yang berjelaga waktu bukan lagi persembahan para dewa habis tandas kesunyian batu-batu. kita mencicip keperihan masa lalu dengan gairah yang lahir dari kerinduan langit pada matahari barangkali sisanya masih bersarang di tubuh kita. barangkali masih ada dongeng nawangwulan dalam peta sejarah dunia hidup bukan apa-apa, lantak masa lalu di hadapan kita. anak-anak menatap dengan pandangan muram. satu demi satu berlepasan dan pergi dari rahimmu. Kita menghayati perjalanan, dengan bahasa yang kita timang : sampai pagi. kita terbangun. bersandar kelelahan yang tanpa prasangka. Jakarta, September 2001 Lithani Dewa-Dewi (1) ketakutanku terbesar adalah ketika engkau berlari dari taman itu menjangkau bunga-bunga perdu dan tak lagi mau menyebut namaku janganlah pergi, atau melambai, seperti masa lalu yang lahir dari sebuah almanak tua kerinduan tak ada gunanya ketika dia tak lagi bisa dilahirkan mari kita membuat rahim seperti sebuah persetubuhan sepanjang umur bumi aku mencintai seperti mencintai kematian dari lumpur-lumpur yang memerah telah tercetak tubuhmu dari kerataan tulangku masih terdengar namamu di panggil dari sini, di sebelah kamar ini aku masih setia mengulang namamu malam membusuk dalam cawan-cawan kesunyian satu tetes airmata mengalir bersama waktu pisau menancap di ujung dadaku, adakah engkau yang terus mengirimnya. pada dendam yang keberapa. sementara senja kita masih dilayarkan dari selimut-selimut perjalanan hangat, mengeringkan tubuhku, mencairkan salju. terlafalkan namamu, menyusut doa yang sangsai ketakutanku terbesar adalah ketika engkau kelelahan berjalan di atas pigura-pigura kaca yang terus kita cetak bersama nyatanya suaramu masih mengguncang nadiku, mengikuti detak bumi, tertatih di batas garis ujung ajal dan usia kecuplah aku seperti membina kesunyian pertapaan kita masih panjang, mari kita petik kebijakan dari para brahmana. jadilah engkau matahariku sebab aku masih kanak-kanak dalam pelajaran masa lalu Kagulan-Jombang, medio 2001 Lithani Dewa-Dewi (2) pada kita bukan lagi gemuruh nafas manusia ada yang meniup keningku tapi bukan angin ada yang menggores jantungku tetapi bukan duri --- bahkan bukan sekedar karang sebab dari ujung kota telah kita terbangkan sebuah berita matahari yang berdarah di ujung telapak kita suaramu yang lirih mengoyak mimpi dewa-dewa sebuah orkestra kesunyian menembus udara yang berkeriapan. di antara nafas kita tertangkap isyarat yang kau kirim dari pelayaran itu Lithani Dewa-Dewi (3) ada kau sisakan: anak rambutmu melambai yang mengelepak menjadi camar merindu waktu dan perjalanan senja anak rambutmu yang bersimpuh, di bawah dadaku melebar jadi cakrawala seribu bidadari telah dilayarkan seribu kelepak duka dan kesunyian terhanyut dari pulau-pulau keheningan terbukalah semesta malam di dahimu : seperti perjalanan ratusan bintang, engkau terus melahirkan anak-anak kenangan kita. Kagulan-Jombang, medio 2001 Sihar Ramses Sakti Simatupang. Kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah bergabung di Teater Puska dan Teater Gapus di Surabaya dan Komunitas Seni Tanah Depok. Karya antologi puisinya antara lain Upacara Menjadi Tanah (Gapus, 1996), Adakah Hujan Lewat Di Situ (Gapus, 1996), Keberangkatan (KSTD, 2002), Antologi Puisi Digital Cyberpuitika (YMS, 2002) dan Antologi Lampung Kenangan “Krakatau Award” (Dewan Kesenian Lampung, 2002), "Dian Sastro for President" (Terbitan ON/OFF Yogyakarta, 2002) dan Malam Bulan (Masyarakat Sastra Jakarta, 2002). Salah satu cerpennya dibukukan bersama penulis lain pada antologi Tak Ada Pilihan Lain (Sumbu, 1998). Menamatkan studi di Fakultas Sastra Universitas Airlangga. Ikut baca puisi demonstrasi sejak awal menjadi mahasiswa di Surabaya hingga selesai. Tulisannya berupa essei, cerpen dan puisi pernah dimuat antara lain di majalah kampus Suara Airlangga Unair, Gatra F. Sastra Unair, majalah Amigos dan Dedicatio. Pernah memenangkan Pekan Seni Mahasiswa Regional juara II Jawa Timur tahun 1995. Karyanya berupa esai, cerpen dan puisi juga dimuat di harian umum Republika, Pikiran Rakyat, Jawa Pos, Surabaya Post, Warta Kota, Harian Banten, Memorandum, Karya Darma, Pos Kota, Sinar Harapan, majalah Plot, Radio Nederland dan Trans-TV. Karyanya termuat di situs sastra antara lain www.cybersastra.net dan www.poeticallyspeaking.net. Penulis saat ini sebagai wartawan budaya di Harian Umum Sore Sinar Harapan. TS Pinang Tak Adakah Metafora Lain Buat Cinta? menjawab kerinduanmu aku teringat kisah tentang batu dan lumut. ada batu dan lumut di keriap rambut yang marah oleh ketombe. meski tetabuhan tetap bertalu, ulat bulu masih tertidur di kepompongnya, berjanji akan menjadi kupu-kupu yang indah dalam lukisan Shiela kecil yang asyik dengan pensil krayonnya. itulah gambar peristiwa yang sedang ditanggung oleh matahari. lelah. seperti mereka, kelelahan itu pun tampak belaka, terhentak oleh sol sepatu kerja yang mereka kenakan, mendaki tangga gedung-gedung kantor. semua elevator macet hari itu. kemarahan rindu seorang pencemburu telah menurunkan layar panggung. ganti adegan. sutradara tersenyum, juga juru lampu demikianlah, kisah teater tak pernah berganti. juga hikayat lumut dan batu. meski begitu, rumput perlu disiram teratur agar semut betah bersembunyi di sela rimbunan rizomanya. siapa itu diam-diam mengunyah sebongkah umbi? lantai retak. meja kantor berserak. kertas kerja menjadi klilip pada mata kaki. brankas terbuka kuncinya dengan paksa. mari bercerita tentang negeri kita. di sudut kelas ada yang membaca hak-hak warganegara. pak guru harus buru-buru, ada janji mancing di empang sore nanti. televisi matikan saja. saatnya mengirim telegram indah aku harus pulang. selalu ada cinta untuk mereka yang haus. tapi aku tak punya kulkas, hanya selimut hadiah pacar kesekian. patah hati kesekian. puisi kesekian. marah kesekian. mereka bukan yang pertama. kita ini pecinta mesin fotokopi, kan? ibu, ada terasi di dapurmu? aku akan membawa banyak tamu di beranda. jangan percaya kalau ada yang melamarmu jadi mertua. kau tahu, aku tak pandai memanjat kelapa: semua bisa dibeli di supermarket, juga santan dalam kemasan tapi aku ini memang perindu. ada tiket di saku jaket. aku benci kereta, tak adakah metafora lain buat cinta? *2003 Babad Kalacakra menganga gua kalacakra membuka pintunya. mengalir sungai dari rawa di dalam kemihnya. gua itu tertawa pada setiap kupu-kupu yang singgah, atau dengung lebah. ada yang runtuh di kejauhan. para ibu riuh di titian. ini subuh tak bertuan. sepasang gadis kembar membuka kain lembar demi lembar membuka rahasia paling nanar: ada hutan sedang terbakar bintang bajak kusebut lagi dalam sajak ini karena di sana sembunyi para raksasa mengasah gigi seri, para petani menyeduh kopi. semoga dewi sri masih setia tak tergoda rayuan media massa. di dalam pelukan bintang bajak itu kanak-kanak bermain roda, mengajari para orang tua cara berbahagia bahkan jika hujan tak juga tiba tangga kayu, bawakan sebakul nasi merah menuju perhelatan para pujangga. juga tuak dalam botol-botol aqua. mereka sedang menggambar bendera, mungkin sedang berlumba memanah rembulan warna sumba di ambang pintu ada yang mengintip, sepasang payudara ingin menghirup udara. malam masih begini muda, ke mana perginya para jejaka? dara-dara pun beterbangan meninggalkan gundukan jerami, musim panen belum lagi usai. pelangi tampak kusut, masai. bedug dari surau di televisi menandai jejak matahari. apa kelanjutan kisah ini? lalu berangkatlah merpati. ada janji-janji yang harus ditepati pada bumi. ada telur yang harus ditetasi dan pacuan yang harus dilintasi. mungkin ini halusinasi sebuah puisi tetapi merpati tak pernah menyimpan kerikil di lemari besi. meski tak bisa menyanyi, mereka percaya reinkarnasi ada yang sedang mengaji mungkin dari surau di televisi, atau gambar minaret masjid wali di koran pagi. di radio para kyai menawarkan resep mustajab: cara instan menjadi sufi lalu saat maghrib tiba akan terdengar sayup-sayup suluk para wali yang tertinggal di angin kali. anak-anak menyimak. para gadis masih mengikatkan tali jerami di pangkal jari. para jejaka masih berolok sambil menggosok punggung sapi. ini mungkin juga ilusi lalu semua kisah pun hanyut di kali senja itu. ada yang mengendap di cangkir kopi. sebatas daya ingat. tertulis kembali dalam puisi ini *2003 Fermentasi Puisi 1. sepasang mata itu menatapku seperti kedip venus pada bulan yang terlambat bangun. daun talas sobek tepinya. embun menetes di salah satu sudutnya, bersamanya melayang kartupos bergambar cangkir retak dan langit warna pasir seperti takdir: warna orange bajumu pun mubazir 2. imajinasi tentangmu selalu membangunkanku pagi-pagi, juga warna sabun mandi. aku kehilangan warna bunga-bunga. mungkin karena hujan semalam. warna-warna memudar. juga cintamu imajinasi tentangmu kini makin kelabu, seperti gurun pasir di gambar kartupos. gradasi ini bukan pelangi 3. aku ingin mengiris puisimu untuk bumbu. aku sedang memasak. kenangan tentangmu mulai mendidih, saatnya memasukkan catatan harian dan surat-surat. sedikit takut-takut. ini pertama kali aku memasak sup kompor itu menyala dalam paru-paru kiri. gedoran pada pintu, atau degub jantungmu? aku masih menunggu. hujan akan bertamu 4. engkau sedang sembahyang, kutahu. ada kaus bergambar menara jam. demi waktu, katamu. aku juga tahu, tuhan telah hidup kembali. reinkarnasi dalam bank berjenis kelamin perempuan. aku ingin sembahyang, sayang. memuja wajahmu kembali *2003 Memori Hujan Malam hujan telah menjadi senyuman bagi rambutku sejak mulai kukenali bau tanah dan batu. aku tampung hujan itu dengan dadaku, dengan pusarku, dengan lutut dan mata kakiku. aku mengerti bahasa hujan seperti aku bicara dengan rasi bintang bajak dan jembatan susu, jauh sebelum aku belajar bahasa ibu hujan yang jatuh malam bercerita dongeng yang beda. tentang rahasia dari setetes ingus hingga birahi yang hangus, dari dering telepon hingga sabun tergelincir di lubang kakus, tentang gosip tikus-tikus di lubang telinga, di bulu mata hujan yang jatuh malam tak pernah bohong, karena gelap melindungi wajahnya. ia suka kisah misteri. aku berkenalan dengan hujan malam ketika ia menyodorkan sekupas durian yang wangi dengannya aku berbagi rahasia. kuceritakan juga padanya tentang ibu yang mencuci celanaku, atau belaiannya menjelang tidur. aku tahu, hujan jatuh malam suka bersekongkol dengan para ibu, dengan ibuku. tapi bahasa hujan tidak seperti omelan ibu. hujan malam suaranya lebih merdu aku cinta pada hujan. aku cinta pada hujan yang jatuh malam. ribuan tahun kami membangun persahabatan. malam menjadi pelindung kami dari dusta anak kali, kaca jendela jadi saksi malam ini hujan jatuh. daun rambutan juga jatuh. aku ingin bermain hujan, telanjang. lalu bersama hujan aku jatuh, melayang bersama daun rambutan, meluncur di celah dada: punyamu *2003 Merindukan Kekasih siapa itu mengetuk pintu? aku ular sawah sedang menisik lumut di kulitku, masih ada seekor bebek di dalam perut. senja telah datang. ada dewa melayang dengan guci dan air hujan kekasih telah mati terbunuh oleh film biru dan ilmu jiwa. tetapi buku suci tetap dipuja, seperti dongengan satwa menjelang tidur. atau wastafel yang setia kita kunjungi: penyegar muka pagi-pagi siapa memanggilku? mungkin aku pernah punya kekasih. telah kubungkus dalam sampul surat. salah alamat. lalu kita berjabat tangan tanpa melepas sarung. kadang-kadang potret pahlawan terasa menggetarkan semangat, juga gambar-gambar erotis di majalah pria ah, kita lelaki. kekasih mungkin hanya mitos yang kita rindu sembari kita ingkari, cukuplah ia dibingkai oleh doa dan buku teologi. ayolah, ada rumput mesti dipangkas, juga alang-alang di ladang "di punggungku kutulis tattoo. ada dewi cantik telanjang memeluk bumi. di kepalanya menyala daun seledri dan mahkota duri. di sebelah kiri kugambar sulur-sulur dan buah kuldi. sekedar pengingat. juga anak panah dan tombak, berjajar dengan tulisan kaligrafi. di sebelah kanan gambar hati" aku tak percaya pada kecantikan kupu-kupu. atau pesona ular laut di malam hari. jendela kubiarkan tetap terbuka. angin lebih cantik dan lembut, tetapi kekasihku hujan telanjang maka kuulur kabel telepon ke dalam kamar, agar bisa kujerat lehermu dengan bisikan saat tidur *2003 Lagu Nostalgia minta meja untuk dua orang, ya. ada yang harus kami bicarakan. penting. tentu saja bukan soal puisi. ini soal hidup dan mati. masa depan kami kalau nanti kami berciuman di sini, tolong tak usah peduli. kami ini remaja. belum begitu percaya pada agama, atau bahkan sudah lupa. bawakan saja hidangan anda yang paling istimewa. juga lagu nostalgia tentang cinta kalau nanti ada airmata mengalir di pipi kami, biarkan saja. itulah cara kami menulis prasasti, agar ada bahan untuk buku diary. tetapi jika anda punya sedikit saran yang bijak, boleh juga kami dengar, siapa tahu jalan kami ini kurang benar, atau terlalu kurangajar. kami ini remaja. masih perlu banyak belajar minta meja untuk dua orang, ya. kami ingin mendengarkan Frank Sinatra. lagu kesukaan orang tua kami saat pacaran. siapa tahu lagu itu membawa berkah, bagi kami yang sedang dirundung gairah. ada yang ingin tumpah, tapi kami belum mau menyerah kalau ada orang tua kami mencari, dan kami tak ada lagi di sini, katakan saja kami sudah mengerti. bagi kami Romeo-Juliet adalah kisah basi *2003 Berita Pernikahan kepada EOM ada tukak di lambung buku harianku. di sana mengalir Musi dan kota yang tenggelam dalam asap hutan yang dibakar. potretmu meloncat-loncat ingin melayangkan sebuah ciuman tetapi kau sudah tak punya perangko tersisa. di lidahku masih ada decap rasa kopi Pagaralam nomor satu, ungkapan cintamu padaku seperti aku masih menyimpan nomor teleponmu dalam daftar VIP juga puisi-puisi cinta atau foto-foto kita aku tak pernah mengharapkan legenda perempuan gurun atau kesetiaan Otsu, di duniamu sungailah yang mengabarkan berita para perantau, tak ada angin berpasir di sana sedangkan aku adalah Sahara, atau anak gembala, atau sebutir pasirnya. kita telah begitu saling mengerti: kisah asap dan sisip kopi, juga puisi engkau memang bukan perempuan gurun. telah engkau tetapkan batas penantianmu bersama daun yang jatuh, ada yang rontok di sini suatu tempat yang sama kita mengerti. aku hanya ingin menjadi si gembala domba yang mengejar mimpi. mimpimu telah berganti. aku mengerti ada selembar uban yang jatuh, aku merayakannya bersama cicak dan pensil arang. biarlah kunikmati sepiring cerita sekarang dan kutimbun kenang sebagai kompos atau pupuk kandang, karena cintamu aku tak ragu. aku hanya rindu terik mentari: belajar bahasa ini bisa lama sekali dan aku senang engkau mengerti. aku ini Musashi, engkau bukan Fatima, bukan pula Otsu. engkaulah Musi. kucintai engkau karena tetap mengalirmu dan aku akan tetap belajar bicara dalam bahasa angin, bahasa gurun, bahasa semesta *2003 -32° C (sore datang dini) sendi ruas jemari kaki gemeretuk kaku nyeri oleh jepitan gigil winter, frost meruncing di ujung rumputan. sore ini aku datang di gerbang dairy farm-mu disambut bau kencing sapi dan kompos jerami, hanya ada sepi dan kristal-kristal salju melayang sesekali, tak ada keramahan. kehangatan seperti apa mungkin hadir dalam musim dingin begini? tetapi ada hangat uap nafas menyapa bibir tropisku yang membiru beku dan sedikit kilat lip-gloss menjelma jadi birahi. hidung siapa itu menyala di sebelah pipi? sedangkan aku mulai bosan menjadi musafir, negeri ini terlalu beku dan tak lagi menyisakan peduli, tapi basa-basi apa lagi yang kuperlukan dari pelukanmu yang terperam berhari-hari? (ada yang retak di sini) seperti gergaji es dan garam pasir, seperti pisau sepatu luncurmu menggores permukaan yang mengeras oleh musim yang lain di album mimpi, mari kita masuk ke ruang yang hangat di mana ada kayu api, secangkir cider panas dan sekerat roti: kita akan membakar banyak kalori sore ini (setelah pagutan pertama, dan sedikit percakapan basa-basi) biarlah kita tunda dulu makan malam, aku masih mengeringkan kaos kaki. "asal jangan kau keringkan hati," bisikmu sambil kaunyalakan televisi. aku membayangkan dirimu menari, dalam langkah empat ketukan yang rapi, tetapi ada yang meloncat-loncat di jilatan api mataku. mungkin juga di tungku api, atau radio melaporkan ramalan cuaca: badai akan datang besok pagi (maafkan sayang, di mana kamar mandi?) "mari kita merayakan natal lebih awal," katamu, karena desember akan membawa bau tubuhku pergi dari ruangan ini. lalu kaukenakan topi merah santa dan jaket tebal serat biri-biri ah, betapa kurindu matahari *vanderhoof 1995 – jogja 2003 Belajar Melukis mungkin di sinilah asal mula kata-kata mata air ini, rahim air mata: nutfah kata yang pertama darinya meleleh air ketubannya menjelma sungai menghanyutkan kitab-kitab suci di setiap anak airnya, sedangkan bayi yang terlahir itu kelak berkalung ribuan nama yang ditulis dengan huruf besar dan lagu-lagu puja ribuan hikayat ribuan tahun menguap menggumpal lalu rintik, menderas dalam hujan menyiram humus menyuburkan sawah-sawah dalam hati para petani yang tiada henti mencari bayi: dalam diri imajinasi menyeruak berupa bulir-bulir padi, harumnya melahirkan dewa-dewi, malaikat, dan piring sesaji. lalu matahari datang dengan seperangkat bunyi-bunyi dan sepotong foto bergambar fajar pagi. maka siang dan malam tak lagi seputih-hitam lukisan di dinding kuil-kuil para padri kini, saat kata-kata begitu berwarna-warni mengapa tak kita rayakan pelangi? *2003 Prasasti Kelahiran mungkin aku terlahir dengan sebongkah batu dalam dada agar rindu selalu terpelihara, pada terik kemarau dan geredap hujan pada atap, lalu keduanya melahirkan butir-butir pasir yang hanyut dalam aliran sungai tanpa muara, sementara kerikilnya menciptakan riam di setiap simpang aortaku mungkin aku adalah anak kandung gunung karena dari rahimnya batu-batu bertapa dan kemudian terlahir dengan letupan penuh semangat, lengking tangisan paling kuat. mungkin aku adalah anak kandung langit karena di sana juga terkubur batu-batu sebanyak butir pasir dalam sulur-sulur darahku maka sungai pun terasa sangat akrab, tak henti menyetubuhi batu dalam dadaku, seperti kisah incest Sangkuriang dan perempuan Sumbi. dan di pucuk-pucuk gunung bersemayam para lelaki menarikan ritual lingga atas nganga yoni di celah pusar bumi sementara aku masih didera pertanyaan purba tentang ayah-ibu dan hikayat kelahiranku lalu malam pun menjelma, menjadi kekasih setia karena siang dan matahari adalah dendam, sedangkan bulan dan gerhana malam adalah kenangan atas masa depan. semacam déjà vu, kukumpulkan serpih-serpih ingatan pada bau setiap kelopak rambutmu dan warna kerakap yang gigih mengikis batu dalam dadaku dan butir-butir pasir masih tetap menjalari setiap buluh dalam diriku, denyarnya seperti riak gelombang lautan yang menghanyutkan, lalu menghempaskan tubuhku pada bibir pesisir: mungkin aku adalah pokok pandan atau sebongkah karang tua tiba-tiba kulihat pasir di mana-mana dan sebongkah batu masih di sana, dalam dada adakah di situ kau baca terpahat sebuah nama? *2003 Breeding Season karma demam rindu kandung tanah langit mega pasir koma titik ruas-ruas jari memanas oleh sel-sel darah yang mendidih. buku-buku belulangku berderak ngilu dalam tubuh manja. seperti mimpi-mimpi buruk yang mencubiti sulur-sulur otak. ada ular menggerogoti pencernaan dan demam masih menyembur dari ujung-ujung jari. aku leleh menjadi air. atau bubur kental. adakah tuhan yang kekal? lempeng jam bayang mengukur panjang jejak dalam pantulan yang tumbuh. layar itu berwarna coklat tua. mitos kain mori adalah kebohongan yang pedih. tak ada yang suci selain darah yang mengering. bayang-bayang tak pernah berani menyapa dengan sapuan mata. mengapa repot melambai? karma membentuk liat lempung yang kaucuri dari tanah kubur menjadi jambangan rindu bergambar kandung langit. arsir pasir menggores mega dengan ribuan titik ribuan koma. aku masih demam, sayang. (telepon berdering lagi) pulsa rindu kelapa hijau sungai juga meriang gunung gerah ingin melepas kutang laut memicing mata pasir hilang kata *2003 Katakanlah katakanlah tentang monster vampir bermata merah tentang pisau bara menyayat-nyayat jantung tanpa basa-basi tentang malam-malam kehilangan mimpi tentang lelaki yang rongsok oleh debu kosmik terguyur di kepalanya tentang burung gagak dan burung pelatuk tentang daun jeruk dan kisah-kisah misteri tentang angka-angka di gambar proyeksi ilmu falaq tentang bilangan-bilangan biner yang mati menjadi bangkai dalam kotak komputer tentang rumah yang nyaman dan dapur bersih tentang gelegak birahi dalam setiap puisi tentang setiap pelukan tertunda tentang rentang tangan menunggu lepas belenggu tentang dada yang tercabik-cabik kuku pancanaka tentang rajah palsu kalacakra tentang malam tak diharap tentang romantika ibunda tentang kaki-kaki keranda yang timpang tentang punggung yang kejang tentang perempuan yang menyaksikan tentang mereka yang tertawa tentang panggung teater dan puisi tentang bayi yang tertidur pulas tentang sahabat yang datang tentang dada yang nyeri tentang pantai yang ingkar janji tentang lelaki laut dan nelayan yang masih bayang tentang para pejalan malam tentang cuping telinga yang haus darah tentang malaikat pembagi uang tentang hutang piutang tentang naskah perjanjian tentang hasrat yang mendingin tentang kulkas yang menyimpan remah-remah sayuran tentang masturbasi dan persekongkolan bintang-bintang atau sinkronisasi debu angkasa tentang telepon mesra dan sms cinta untuk sarapan pagi tentang selimut yang tebal tentang percakapan makan malam tentang roti bakar isi tuna keju tentang kopi tentang topi pemancing tentang sepeda motor bersadel kuning tentang puisi-puisi yang semakin ringkih tentang tanda titik di dalam larik tentang mata yang sebentar binar sebentar layu tentang apa saja juga tentang ramalan zodiak tentang jodoh katakanlah tentang kaus bergambar menara jam tentang pangkal ujung tanda tanya yang melingkar-lingkar tentang senyuman yang mengulum buah dadamu! *2003 Belajar Membaca Bima betapapun kau ceritakan kisah Kurusetra aku akan tetap bergeming dan mencoba hening bila harus kutanggung dosa pertapaanku ini, akan kuberitakan hanya kepada daun-daun nyiur di pekarangan belakang rumah nenekku. perang tak pernah mengusik tidurku. seperti kebodohanmu mencintaiku, kebodohanku mencintai gigimu. kelelahan tak begitu nyata mengganggu urat-urat, seperti papan ketik yang tetap berketuk oleh ujung jemari. mengulang ritual sehari-hari. seperti kesibukan di padang Kuru. ritual yang begitu kita kenal. seperti mandi pagi dan sikat gigi. selongsong panahku telah kusimpan lama di para-para jantungmu. kini aku memuja rambut sendiri, lalu menyemai puisi di setiap ujungnya. seperti gigimu menabur debar di dada kiriku. tetapi aku bukan ksatria yang mengejan nyali oleh api pertempuran: kita menghafalnya sebagai doa. jika aku adalah Bima yang gersang merindu air suci, maka biarlah engkau menjadi Sang Ruci. lalu aku menyibak lebat rambutmu mencuri pintu di telingamu. seperti kalpataru kaugendong di pinggang, di dalam dadamu kuingin mengunyah rembulan. maka jadilah. di samudera itu bayangan peristiwa tenggelam dilarung ombak. riaknya terpercik di ufuk matamu. lalu menguap dalam rangkuman kabut kelabu dini hari. senyap. tinggal derap ladam kuda bedebam di ladang dada. lebam. torehan bara di dinding rusukku masih terasa perihnya. hujan tak cukup basah. air mata bersembunyi di lumbung padi. katakan padaku bila kautemukan Ruci dalam samudera dadamu. agar segera kurasuk relung telingamu. dan aku segera belajar jajaran huruf. aksara yang menuliskan seluruh kisah ini. suatu saat. akan kubacakan untuk mengantar tidurmu. tidur kita. *2003 Sajak Jangkrik dalam Kotak Sepatu erangan semalam adalah gelegak bubur putih untuk sesaji hari ini. ada baji mengunci kedua bahu lenganku. dari mulutku yang kering masih mengepul asap tembakau tropika, imitasi cinta dan agama, kuhembuskan pelahan seperti catatan harian. rahasia. lingga yang manja menjelma rudal-rudal para jenderal yang terbahak dalam masturbasi di kamar mandi. lalu puisi menjadi asap yang sublim dalam gelas kopi. perbincangan dalam hujan, semacam diskusi. fiksi. aku membenci televisi karena debunya menjadi klilip mengganggu mataku yang rabun. jangan tawari aku impian yang membuatku tertawa. aku mau berenang, dalam dirimu. maka kutuklah aku menjadi seekor jangkrik melompat-lompat dalam kotak sepatu! *2003 Luruh Puisi luruh. luruh seluruh kisah runtuh dari lembar-lembar daun tal. dan ngengat. sekelebat tersiar sepotong demi sepotong. ingat. rimbun daun pohon beringin dan sulur-sulur akar angin, melibat sepasang pecinta. seperti rambut ikal menyimpan anak kunci ke negeri antah. luruh. tukak kambium lepuh. hamil sekuncup tunas. akar angin. luruh. hikayat babad terungkap selapik demi selapik. tersuguh di cangkir kopi. bibirmu. selamat pagi, sayang. luruh. bapak mengayun kapak. kita perlu persediaan kayu bakar. tungku. tungku dari batu bata. dan wajan raksasa. ada perhelatan apa, pak? luruh. lengan ini sudah tua, anak. kita harus bersiap. musim dingin sebentar lagi tiba. dan pohon beringin mulai rontok. luruh. ini memang bukan negeri utara. musim rontok. tetapi lidah yang pahit telah kelu. gejala flu. jatuh. cerita-cerita tua. berulang. luruh. di televisi. *2003 Sebuah Negeri Berwarna Merah di Seberang Sungai kepada Randu adalah Gangga. dan di tepian itu gadis kecil menggumamkan cerita pada bayang-bayang merah. mereka mendengar, katanya. aku tersedu. seperti kisah yang direbut dari dongeng keluarga, aku mendengar gumam yang sama. sungai itu mencatat diam-diam. pembicaraan ini seperti perzinaan yang tak semestinya. kamar tidur pun menjadi kulkas. mengawetkan remah-remah sayuran. adalah Gangga, dan layar memantulkan bayang-bayang merah: senja yang beku, juga fajar yang marah. tetapi gadis kecil itu tak lagi percaya kisah Cinderella. ada anak tangga yang patah. juga dongeng pengantar tidur. dan gadis kecil itu takut pada jendela. aku tersedu. di meja, sebungkus rokok dan secangkir kopi. siapa itu mengetuk pintu? *2003 Sajak Demam 1. demam ini menjadi kepompong bagi tubuhku yang rubuh oleh musim sungsang. langit berisik, para dewa dan malaikat sedang berdebat tentang garis nasib. telapak tanganku adalah air, katamu di dalam taksi. maka ia mengalir di pundak-pundak yang letih oleh batu. mengapa suka sekali memikulnya? demam ini kepompong dan aku ulat bulu. menggeliat menggapai kupu-kupu berwarna kuning di teras rumah. ada empat mata di sayap-sayapnya. kilasan-kilasan sekejap tentang garis lingkar tahun di batang jati menghitung patok-patok menandai jejak-jejak kejadian. dalam kepompongku aku membaca buku peristiwa. aku masih demam. suhu yang meninggi ini hanyalah tanda. aku tak risau. tetapi aku masih demam. kupu-kupu kuning pun masih hinggap di lelangit teras rumah sewa. mirip lelawa. akukah? 2. mungkin ini aku. demam tak pergi juga. sms dari keponakan yang manis membelai kupu-kupu kuning di teras rumah itu. tak banyak yang percaya cinta. aku percaya demam di dada. juga debarnya. seperti selimut, ia membantumu terlelap. sedikit gesekan saja pada paha. lama sudah tak kudengar cerita. mari berkisah tentang fabel rimba. sungguh jauh lebih mudah ketimbang jadi manusia. aku ulat bulu. engkau kepompong. aku demam. engkau panasnya. *2003 Minggu Pagi /1/ telepon jarak jauh. menggambar subuh. kita dulu kartunis. pasti mengerti betul fungsi kuping dalam komik (bukan strip). itulah mengapa kupanjangkan rambutku. kuping bisa panas kalau telepon kelamaan. imbas elektromagnetik. kau tak henti menggelitik. kau suka ciuman di leher. lalu aku masturbasi dengan gambar seks di majalah indie. pada awalnya adalah puisi, pada akhirnya senggama basi. klik. /2/ pembacaan puisi di acara ulang tahun. kau bacakan sepenggal roman tempat tidur. menghitung tanggal. berdebar. damn! sial! /3/ selamat berfantasi. ini negeri kabel. adalah telepon yang menulis puisi. semua adalah setting yang pas untuk sebuah percintaan. juga cerpen koran minggu pagi. minggu pagi yang agak mendung. cocok untuk melakukan puisi. /4/ maka puisi. klik. *2003 Pada Akhirnya Adalah Waktu aku memang sedang belajar membaca. membaca dada. konon di belahannya terletak jalan menuju langit. aku memang penari tetapi bukan tarian mimpi. aku menarikan puisi. puisi birahi. bukan sufi, karena aku pecinta kopi. dalam suaramu resah aku dengarkan keraguan. kita diikat oleh cinta yang jahat. tetapi biarlah aku mencintaimu dengan sebongkah jambangan tanah liat. tanpa harus diisi bunga. aku hanyalah penyemai kata-kata yang demam, merencanakan kencan perzinaan yang mendebarkan. persetubuhan haram yang nikmat. lalu senyum tanpa sesal. memaku waktu dalam lenguhan jarum-jarum jam. tetapi ada yang menulis kaligrafi di dada. padahal aku tak lancar membaca. lalu semua menua. pada akhirnya adalah waktu. *2003 Arsitektur Cangkir Kopi menara eiffel dan louvre kubaca dalam buku-buku teks arsitektur. anak-anak yang bergairah membangun istana pasir. bukan di pantai. di ruang-ruang kuliah. ada i.m. pei yang mencintai baja dan sekrup sebagai kuas dan kanvas. aku mengantuk. tetapi kita adalah anak-anak cuaca. mestinya kita bangun rumah panggung dan atap rumbia. tetapi kita lebih mencintai batu dan dinding. tak ada eiffel dalam lukisan di atas tempat tidurku. hanya langit hijau dan petani yang mencangkuli sepi. sedangkan louvre telah takluk oleh situs-situs candi, dalam riam-riam darah: museum itu. tak ada lukisan. tak ada lelang. tak ada lelang lukisan. di dadaku ada juga museum itu. di sana tersimpan buku-buku gambar masa kanak-kanak. dari potret pahlawan gundala hingga ki ageng selo. aku melukis petir di ujung rambutmu. arsitekturku telah kutafsir dalam puisi. meskipun selalu ada garis yang salah, perspektif yang tidak menjumpa titik. sedangkan mataku bukan milik burung, atau ikan. di sini tak ada ruang dalam, tak ada eksterior. ruang lahir dari cahaya. lalu terciptalah bayang-bayang. tetapi bukan eiffel. bukan paris. ia tak jauh. museum itu. sedang bergoyang. petir. gempa bumi. lalu aku melihat kelahiran semesta dan asal-usul puisi: pada secangkir kopi! *2003 Komposisi Gagal Untuk Blues Harp dalam B Mol kepada Cecil Mariani ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam parau harmonika bluesku yang masih saja enggan melagukan warna biru. mungkin karena baju warna merah jambu bermotif cakram waktu, mungkin karena bibirku telah lelah menceritakan kisah-kisah dari sejarah Mataram Islam dan sisa batu gilang. mungkin pula karena jemariku yang gagu memeluk harmonika bluesku, karena telah terbiasa memeluk tabu di dada mungilmu. ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam kenangan atas lukisan-lukisan tua, meski tinggal satu tersisa: potret kesepian petani dan langit hijau, teman tidur yang meredam mimpi-mimpi buruk. mungkin karena telah gagal kumainkan komposisi musik untukmu, dan telah menyerah aku pada kuasa harmonika bluesku yang telah menuliskan puisinya sendiri untuk bekal perjalananmu kembali besok pagi. semacam sarapan dalam kereta, atau ciuman perpisahan yang cukup lama. mungkin aku memang bukan petarung yang cukup heroik bagimu seperti tertuang dalam kisah-kisah saga dalam sejarah masing-masing kita. tetapi aku tetap mainkan juga harmonika sialan ini, dalam komposisi tak tercatat, sekedar menggaduhkan bilik malam ini, agar tak terdengar hingar-bingar di kepala kita, gelegar debar di jantung kita. ingin kubagi malam terakhir ini denganmu, dalam catatan-catatan kecil yang kita tuliskan di remah-remah tembakau sigaret yang melekat di sudut-sudut bibirmu, semacam alasan bagiku menyentuh dagumu. lalu senyummu juga kedipan matamu akan mengisyaratkan sebuah percakapan makan malam, atau kita akan disibukkan oleh kesendirian kita masing-masing, kau dengan pensil grafit lunak dan kerrtas sketsa, aku dengan harmonika blues b-mol dan khayalan eros. maka secangkir kopi instan, seperti biasa, akan mengambil alih semua liukan nada dan mengajarkan padaku cara bermain blues yang sesungguhnya. *kaliurang 2003 Ada Sehelai Rambut di Pahamu Yang Kurus kepada Cecil Mariani ada sehelai rambut di pahamu yang kurus. bersilang seperti sumbu-sumbu koordinat dalam gambar peta gairah. kautuliskan simbol-simbol dalam guratan garis menelusuri rautku yang letih oleh debu jalanan Jogja. polusi timbal hingga psikoanalisis mengalir bersama asap rokok yang bubung dalam meditasi kita atau tergelincirnya kopi instan hangat ke dalam lorong tenggorokanku. ada sehelai rambut di pahamu yang kurus. paha itu yang padanya tak bosan kutitipkan kepala tanpa jaminan, tanpa kontrak perjanjian. seperti lirik-lirik Noa yang kauhayati dalam senyummu yang murah hati. rambut di pahamu itu telah bercerita tentang cinta, kekasih setia yang pernah kaucandu seperti puisi-puisimu. begitu pun jemari tanganmu yang merekam gurat keringat bau hormon dan angin yang mulai kemarau, gerah gairah yang acak, kacau. kini di pahaku telah kupinjam kekasihmu agar aku bisa menuliskan puisi untukmu, dan kesaksianku atas rambut sehelai yang melekat di pahamu. paha yang bersilang seperti tanda jejak anak-anak pramuka di hutan kata. kini di pahaku telah kuheningkan sikapku agar menjelma menjadi sketsa yang brutal di buku gambar murah yang telah lama tak kugambari. masih putih, seperti guci porselen Dinasti Ming yang bertuliskan puisi cinta, pahamu telah menjadi kertas di mana kuketikkan puisi ini. kertas itu pula pengganti majelis Paskah yang tak sempat kauhadiri, demi puisi. maka sehelai rambut di pahamu yang kurus itu pun telah menjadi semiotika kita. akan tercatat sebagai dokumentasi jejak sejenak perjalanan menghindar, mengitar, mencari titik tengah. tetapi lingkaran kala pula telah mengembalikan kita pada ziarah di kota lama, di sana kautunjukkan kepadaku makara di ambang gerbang rumah Kalang. aroma perak menjelang Maghrib di masjid tua itu menggariskan jejala menakar skala peta kosmik yang sekian lama kita bahas dalam perbincangan. juga angin sejuk di pekarangan belakang istana raja, dalam kipasan beringin dan tudung ketapang, lalu kuhiasi dengan polusi asap rokok dari sigaret Amerika dari celah bibirku. kini di pahaku telah kupinjam kekasihmu untuk menyanyikan jazz itu, agar dapat kutuliskan puisi ini. lelaki renta yang kalah dalam permainan yang tak diikutinya, terpuruk oleh kesombongan senyummu yang lucu, juga ciuman-ciuman tanpa basa-basi. lalu semua cerita sehari ini akan menyusut nanti dalam segores garis yang kaugambar di buku sketsa murahan anak sekolah dasar, atau segaris rambut sehelai yang menempel di paha kurusmu yang porselen, yang kurus. *kaliurang 2003 Sajak Uap Nafas* dada ini keranjang yang mencoba menangguk air tetapi bulan belum penuh, maka bersabarlah setiap malam kita begitu lepuh, rebus dalam marah ringas yang kerontang. lalu telah diperkenalkan kembali danau di tanduk-tanduk kepala kita setiap kesumat telah dijudulkan dalam sajak tetapi ada yang meringkuk di sudut sel, menolak menjadi musuh bagi matahari yang mencuri masuk dari kisi-kisi. pintu telah lama ingkar terkuak wajah yang tengadah telah mengelupas, mengerak kita terkutuk sebagai saudara rahasia. membagi aliran darah dalam bibir cangkir minuman kita begitu pula lingkaran doa, malam tetap harus didada dengan kemarahan sekali masa, isak tangis seketika tetapi selalu ada yang bersembunyi di balik tirai ketika cermin terbalik dan cahaya menusuk lubang hidung. mata kita telah rabun, cekung melumpang oleh derap hari-hari yang meninggalkan, melayang kadang-kadang tangan ini rindu menggambar kembang dan sayap kupu-kupu yang mulai cabik dan berlubang ketika usia terkuak dan topeng kita telah luntur bedaknya. tinggal debu yang tersisa di klilip mata lalu pedas yang kita rasakan itu kita ingkari sia-sia di mana genggaman tangan itu akan kita simpan bila setelah perjamuan kita akan kembali tidur dalam kandung ibu yang selamanya tak pernah kita tinggalkan. seperti denting piano yang selalu terbaca sebagai sobekan foto tua warna sephia: emulsi doa mungkin waktu telah menipu selama ini, mungkin saja pelukan kita tak akan mudah dipahami, kecuali oleh puisi tetapi sudahlah. dada ini memang keranjang berjala renggang. dan air biarlah tetap mengalir, atau melinang dan seperti gembala piatu yang telah kauceritakan semalam, bocah itu akan kembali menekur dirinya dalam ringkuk di sudut sel. mencoba menepis matahari yang mencuri masuk lewat kisi-kisi. menghangatkan bola mata yang pucat hingga terbasuh semua kisah riang, semua kisah luka lalu himne akan terdengar dari kuntum-kuntum bibir sambil jemari kita mengurai benang-benang, menggulungnya kembali dalam jentera yang telah kita kenali iramanya *2003 (judul oleh Cecil Mariani) Lomba Menggambar kepada Shiela Aspahani lihatlah Shiela dan meja pikniknya ada kertas di atas meja itu. Shiela sedang menggambar Shiela menggambar pohon. daunnya biru. ia tak suka menggambar api. Shiela suka menggambar matahari kuning oranye. Shiela menggambar perahu di dalam akuarium, dan putri duyung berwarna ungu. "dia sedang flu," kata Shiela malu-malu Shiela menggambar balon warna maron. "warna merahku telah habis," kata Shiela. kemarin ia memang menggambar perang. Shiela menggambar mega. ia tampak ragu mewarnainya Shiela menggambar petak sudahmanda. merah, kuning, hijau muda. seorang anak duduk di pinggirnya. "kakinya luka," kata Shiela. mungkin kena pecahan kaca. Shiela menggambar laut, ada gawang sepak bola di sana. "lapangannya terbakar bom," Shiela tersenyum simpul Shiela menggambar langit senyumnya menguap seketika *2003 Doa Rumah Yang Rapuh wahai rumah yang rapuh dengan ujung telunjukku ingin kutuliskan sepotong nama pada lapisan debu di dindingmu sesuatu yang kelak akan terlupa tetapi setidaknya setiap penggal jalan mesti ditandai seperti gigil demam ini bukan karena virus flu tetapi aku mendengar bisik seperti tonikum untuk debar dada menjelang sarapan pagi segalanya sempurna siapakah berani menyuarakan bisikan semesta, seolah kesucian hati adalah mahkota yang layak dibanggakan. bersahabat dengan malaikat sedangkan aku ingin memelihara setan dalam deru darah di rumah yang hampir rubuh agar ada yang selalu membuatku menangis saat malam yang rabun menggoyang tiang di ruang tengah. hingga hanya ranjang tertinggal dengan kelambu bergoyang dinding bilik tidurku telah terbakar kayunya di sana-sini, berlubang nanar aku merindukan mimpi, dan sengguk tangisan tengah malam. membangunkanku dari lelap dengan sesak dada dan panas saluran nafas wahai rumah yang rapuh dari lubang di tingkap atap aku melihat bintang-bintang menari mengejekku dalam dendam yang binal sedangkan demam ini bukan metafora yang kutulis dalam sajak-sajakku lantai tanah telah mengelupas rengkah seperti tulisan rajah mengikat kisah-kisah pertempuran dari padang kurusetra hingga ladang dada sepertinya ini puisi doa memang bukan dalam suci sajadah atau butiran biji tasbih tetapi cinta yang berdebu di pipi yang langut oleh alir air yang jatuh sebutir-sebutir tangisan itu datang dari planet venus yang lama bersemayam dalam pusarmu cintaku mungkin akan ditolak oleh surga bahkan juga neraka. tetapi telah diberikan kepadaku sebungkus bekal ini, tak adakah ruang untuk sebuah anomali, bayi yang ingkar ini? wahai rumah yang rapuh di ranjang ini ada naskah belum selesai bila ingin kulukiskan namamu dalam kaligrafi aku akan menggambar sebuah garis semacam tanda yang hanya engkau mengerti memang bukan sebuah ayat yang suci tetapi ada lantai yang masih hangat oleh cerita terjebak di sarang laba-laba (rumah yang rapuh itu kini bergoyang pelahan oleh lambaian pucuk daun alang-alang bunyi seruling gembala akan membuatnya menangis lagi malam ini) *2003 Blues Harp dua ujung musim yang kerontang telah merabuk ladang gandum kita. seperti catu jagung tergantung di para-para lumbung. kerinduan kita yang ronin, tanpa alamat pasti. perniagaan sepi. kita pun bertukar hasrat. sekedar meramaikan kamar jantung kita. sebuah salsa dan ketukan telapak kaki tanpa sepatu. kita bersijingkat mencoba endap dari hiruk-pikuk di benak kita. masing-masing membelokkan cerita. tetapi ranting akan tetap berderik oleh gravitasi tubuh kita. lalu malam pun bunting, siap meledak pada purnama yang kita sepakati. siapakah pungguk di antara kita? sering kali kita percayai gumam birahi sebagai puisi. mungkin ada yang sedang kita lupakan. sesuatu yang selama ini kita cari. entah itu darah yang mendidih, entah blues harp yang merintih. *2003 Teguh Setiawan Pinang (TSP) adalah seorang pecinta puisi, meskipun bukan penyair. Dilahirkan dari seorang ibu guru SD dan ayah petani, di desa Semirejo, kecamatan Gembong, kabupaten Pati, Jawa Tengah, 1971. Tidak pernah mengenyam bangku sekolah TK dan menjalani masa sekolah sampai SMA di Pati. Menyelesaikan kuliah arsitektur di UGM Yogyakarta, yang sempat 6 tahun ditinggalkannya demi memanjakan kegelisahan dan kemalasannya, namun tidak cukup percaya diri untuk menjual ijasahnya di lapangan kerja. Alih-alih, ia memilih menjadi buruh lepas dan paruh waktu di sana-sini demi menafkahi dirinya sendiri. TSP mempercayai cinta sebagai agamanya, dan puisi (kadang-kadang) sebagai sembahyangnya, meski diakuinya ia bukan orang yang rajin sembahyang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar