Cinta (mahabbah) merupakan sumber dari hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, yakni manusia dan alam semesta. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadis dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopularkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, harap (rajaa’), takut (khawf), fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkul, dan cinta (mahabbah) yang termasuk di dalamnya rindu (syawq), kekariban (uns), dan rela (ridlaa) yaitu puas terhadap kehendak-Nya.
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu. Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq ataupun mahabbah) mempunyai makna luas, cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Sebagaimana diungkap dengan indah oleh Abu Nu’aym al-Isfahani di dalam Hilyat al-Awliyaa’ bahwa cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur keadaan jiwa, “Hati orang arif adalah sarang cinta (‘isyq), dan hati pencinta birahi (‘ashiq) adalah sarang rindu (sawq), dan hati orang rindu (sawqi) adalah sarang kedekatan (uns).”
“Perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabbah atau cinta, dan ma’rifah. Kadang-kadang keduanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang cinta dianggap lebih utama, dan adakalanya ma’rifah dipandang lebih tinggi,”
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifah mendahului cinta (mahabbah) sebab “Cinta tanpa ma’rifah tidak mungkin, orang hanya dapat men-cintai sesuatu yang dikenal.” Pernyataan tentang ma’rifah yang paling menyentuh diberikan oleh al-Junayd, “Ma’rifah ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu agung untuk dimengerti, dan menyatakan bahwa Ia terlalu dahsyat untuk dilihat. Ma’rifah adalah pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikannya.”
Namun, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, cintalah yang mendahului ma’rifah, cinta yang tulus kepada Tuhan akan dibalas oleh-Nya dengan terbukanya tabir antara manusia dan Tuhan, dan sufi melihat Tuhan dengan mata-hatinya. Karenanya, tatkala ditanya apakah ia melihat Tuhan yang ia sembah, Rabi’ah menjawab, “Jika aku tak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.” Selanjutnya tentang ma’rifah, Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa “Buah ilmu ruhani adalah agar engkau palingkan wajahmu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja sebab ma’rifah itu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya”. Jadi, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, mahabbah mendahului ma’rifah sekalipun keduanya berdampingan dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam perspektif Dzun Nun al-Mishri, ma’rifah terstruktur menjadi tiga tingkatan, pertama, ma’rifah awam yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, ma’rifah ulama yaitu mengetahui Tuhan dengan logika akal; ketiga, ma’rifah sufi yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati-sanubari.
Demikian pula, cinta (mahabbah) menurut al-Sarraj, ada tiga tingkatan, pertama, mahabbah biasa dengan selalu mengingat Tuhan; kedua, mahabbah orang yang shidiq, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, lalu hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya; ketiga, mahabbah orang arif, cinta yang benar-benar mengetahui terhadap Tuhan, yang dirasa bukan lagi cinta, melainkan Diri yang dicintainya.
Dengan mencintai Allah, maka terbukalah rahasia ciptaan Allah, baik yang nyata maupun yang gaib, yang di dunia maupun yang di akhirat (cinta tingkat biasa, I). Dengan terbukanya rahasia itu, seorang sufi dapat melihat cahaya kekuasaan dan keagungan Allah (cinta tingkat orang shidiq, II). Selanjutnya, di saat cinta itu semakin mendalam, maka akan terbuka tabir antara manusia dan Tuhannya, sangat merindukan-Nya sebab telah melihat keindahan-Nya melalui hati-sanubari (ma’rifah sufi). Di dalam hati-sanubari inilah orang arif mempertemukan cintanya dengan cinta Allah, cinta Tuhan bertemu dengan cinta hamba-Nya (cinta tingkat orang arif, III). Pada keadaan jiwa demikian seorang sufi seperti Rabiah al-Adawiyah menyatakan pengalamannya bahwa antara mahabbah dan ma’rifah saling me-ningkatkan keberadaannya sekalipun selalu dimulai dari kecintaan terhadap Allah (mahabbah).
Menurut Imam al-Ghozali di dalam Ihyaa’ ‘uluum al-Diin bahwa cinta dapat diidentifikasi menjadi
(1) Cinta diri, berupa keinginan akan kesempurnaan diri, mencakup cinta kepada kesehatan, kekayaan, istri, anak, karib- kerabat, dan lain-lain; (2) Cinta yang terbit disebabkan adanya keuntungan yang diperolah dari objek yang dicintai; (3) Cinta yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4) Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw; (5) Cinta yang lahir karena munaasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara Pencinta dengan Kekasih-nya. Dalam hal ini pencinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh sebab cinta terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.
Tokoh sufi yang dianggap paling mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal:
Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku kara
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Menurut Imam al-Ghozali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.
Cinta model pertama itu perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa) “...karena Kau singkap/Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu.
Al-Junayd mendeskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta.”
Al-Ghazali juga memetaforakan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh al-Qur’an, buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksud-kan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya.
Dalam perspektif sufisme, cinta Tuhan mendahului cinta dari manusia terhadap Tuhannya sebab apabila Tuhan sudah mencintai hamba-Nya, maka sang hamba tak pernah bisa menolak cinta-Nya sebab prakarsa terlebih dahulu datang dari Tuhan. Pandangan demikian berangkat dari pernyataan al-Qur’an bahwa “Ia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya”.
Tentang cinta Ilahi yang sempurna itu ada tingkatan-tingkatan cinta, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam)
Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H/1072 H) melalui bukunya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompleks sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).
Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan, (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyq-i kulli) yang merupakan tujuan ruh.
Menurut Ruzbihan, cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya; kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyem-purnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.
Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tauhid), di atasnya sudah tidak ada lagi. Pada titik inilah pantas untuk mengatakan dalam ungkapan-ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.
Wa Allahu a’lambi ash-shawab.
Al-faqir irul AB
(ikhwan TQN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar