Kata “tajali” (Ar.: tajalli) merupakan istilah tasawuf yang berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang artinya “menyatakan diri”.
Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali.
Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi. Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga martabat melalui sifat dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah, martabat wahidiyah, dan martabat tajalli syuhudi.
Pada martabat ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat diketahui.
Martabat wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun awwali) atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas (emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Mahasempurna (al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah).
Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas (emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalu asma dan sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain, melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden (sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam. Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf. Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul dan tenggelam tanpa akhir.
Konsepsi tajali Ibn ’Arabi kemudian dikembangkan oleh Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri (ulama India abad ke-16) dalam tujuh martabat tajali, yang lazim disebut martabat tujuh. Selain dari tiga yang disebut dalam konsepsi versi Ibn ’Arabi, empat martabat lain dalam martabat tujuh adalah: martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat insan kamil.
Martabat alam arwah adalah”Nur Muhammad” yang dijadikan Allah Swt dari nur-Nya, dan dari nur Muhammad inilah muncullah ruh segala makhluk. Martabat alam mitsal adalah diferensiasi dari Nur Muhammad itu dalam ruh individual seperti laut melahirkan dirinya dalam citra ombak. Martabat alam ajsam adalah alam material yang terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin, tanah, dan air. Keempat unsur material ini menjelma dalam wujud lahiriah dari alam ini dan keempat unsur tersebut saling menyatu dan suatu waktu terpisah. Adapun martabat insan kamil atau alam paripurna merupakan himpunan segala martabat sebelumnya. Martabat-martabat tersebut paling kentara terutama sekali pada Nabi Muhammad saw sehingga Nabi saw disebut insan kamil.
Tajali al-Haq dalam insan kamil ini terlebih dulu telah dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428, tokoh tasawuf) dalam karyanya al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ’il (Manusia Sempurna dalam Mengetahui [Allah] Sejak Awal hingga Akhirnya). Baginya, lokus tajali al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat kadim lagi azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa–salam Allah atas mereka semua—dan lain-lain hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad saw. Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup (khatam awliya), yaitu Isa as yang akan turun pada akhir zaman.
Dalam tradisi esoterisme Syi’ah, para imam Syi’ah Imamiyah—sejak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib hingga Imam Mahdi (yang digaibkan Allah)—merupakan wali-wali yang memanisfetasikan diri sebagai insan kamil hakiki. Kepada merekalah, para pengikut Syi’ah Dua Belas sering kali bertawasul agar kebutuhan material-spiritual mereka terpenuhi.
Demikianlah proses tajali al-Haq pada alam semesta. Wadah tajali-Nya yang paling sempurna adalah insan, sementara insan yang paling sempurna sebagai wadah tajali-Nya adalah insan kamil dalam wujud Nabi Muhammad saw. Allahumma shalli ’ala Muhammad wa âli Muhammad!
KATA al-Haqq dalam karya-karya Ibn ’Arabi memiliki beberapa pengertian yang berbeda dalam konteks-konteks yang berbeda juga. Dalam hal ini, makna al-Haqq yang dibicarakan dibatasi dalam konteks hubungan ontologis antara al-Haqq dan al-khalq. Dalam konteks ini, al-Haqq adalah Allah, Sang Pencipta, Yang Esa, wujud, dan wajib al-wujud. Sementara, al-khalq adalah alam, makhluk, yang banyak, al-mawjudat dan al-mumkinat.
Menurut Ibn ’Arabi, hanya ada satu Realitas. Realitas ini kita pandang dari dua sudut yang berbeda. Ketika kita menganggapnya sebagai Esensi dari semua fenomena, Realitas itu kita namai al-Haqq (the Real). Sementara, ketika kita memandangnya sebagai fenomena yang termanifestasi dari Esensi tersebut, kita menyebutnya al-khalq. Al-Haqq dan al-khalq, Realitas dan Penampakan, Yang Satu dan Yang Banyak hanyalah nama-nama untuk dua aspek subjektif dari Realitas Tunggal.
Lantas, apakah hubungan ontologis antara al-Haqq dan al-Khalq, antara Allah dan alam, antara Sang Pencipta dan ciptaan, antara Yang Satu dan Yang Banyak? Sebelumnya, dalam masalah wujud, telah disebutkan bahwa satu-satunya wujud adalah Allah; tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik al-Haqq. Segala sesuatu selain al-Haqq sesungguhnya tidak memiliki wujud. Karena itu, wujud hanya satu yaitu al-Haqq. Jika satu-satu wujud adalah al-Haqq, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq? Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau, apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali?
Jawaban Ibn ’Arabi tampak ambigu. Menurutnya, alam adalah al-Haqq dan bukan al-Haqq, atau dengan kata lain, “Dia dan bukan Dia” (huwa la huwa).
Dalam Futuhat-nya, Ibn ‘Arabi mengatakan,
Maka tidak ada dalam wujud kecuali Allah dan sifat-sifat dari entitas-entitas al-mumkinat yang dipersiapkan untuk disifati dengan wujud. Karena itu, dalam wujud adalah ia [entitas-entitas mumkinat] dan bukan dia. Karena yang nampak (azh-zhahir) adalah sifat-sifatnya, maka [itu] adalah ia [dalam wujud]. Tetapi ia tidak mempunyai entitas dalam wujud karena ia tidak ada [dalam wujud]. Dengan cara yang sama, ”[Itu adalah] Dia [Allah] dan bukan Dia; karena Dia adalah yang nampak, maka itu adalah Dia. Tetapi perbedaan antara maujudat ditangkap oleh akal dan indra karena adanya perbedaan sifat-sifat dari entitas-entitas, maka itu bukan Dia. (Noer, 47)
Istilah-istilah paradoks dalam irfan Ibn ’Arabi memang diakui juga oleh Bulent Rauf, seorang peminat Ibn ’Arabi masa modern. Menurutnya, Ibn ’Arabi acap menggunakan istilah-istilah ”pencipta adalah yang diciptakan”, ”Aku adalah Dia dan Dia adalah aku”, ”Aku adalah Dia dan bukan Dia”, ”Al-Haqq adalah al-khalq dan al-khalq adalah al-Haqq”, ”al-Haqq bukan al-khalq dan al-khalq bukan al-Haqq” dan seterusnya. Paradoks ini sebetulnya bukan paradoks sama sekali. Ia adalah konsep relatif dari dua aspek Realitas. Sesungguhnya, ada resiprositas utuh antara Yang Satu dan Yang Banyak sebagaimana dipahami oleh Ibn ’Arabi. Seperti halnya dua korelasi logis, tak ada suatu makna apa pun tanpa yang lain. (Rauf, 12)
Pada bagian lain dalam bukunya lain, Ibn ‘Arabi mengatakan,
Karena itu, alam menjadi tampak (zhahara) sebagai yang hidup, yang mendengar, yang melihat, yang mengetahui, yang berkehendak, yang berkuasa, dan yang berbicara. Ia [alam] bekerja sesuai dengan cara-Nya, sebagaimana Dia katakan, Katakan, ”Segala sesuatu bekerja sesuai dengan cara-Nya”. Alam adalah perbuatan-Nya karena itu ia menjadi tampak (zhahara) dengan sifat-sifat al-Haqq. Jika Anda mengatakan sesuatu tentang alam, ”Ia [alam] adalah al-Haqq”, Anda telah mengatakan kebenaran, karena Allah berkata, dan tetapi Allah telah melempar. Jika Anda mengatakan sesuatu tentangnya, ”Ia [alam] adalah ciptaan (khalq), Anda telah mengatakan kebenaran karena Dia berkata, ”ketika engkau melempar” (QS al-Anfal: 17). Karena itu, Dia terungkap dan terselimuti, mengafirmasi dan menegasi. Jadi, [itu adalah] Dia dan bukan Dia. Dia adalah yang tidak diketahui dan yang diketahui. Dan Nama-nama Indah adalah milik Allah [QS al-A’raf: 180], sedangkan penampakan-Nya melalui Nama-nama itu dengan menyerap Nama-nama lain (al-takhalluq) adalah milik alam. (Noer, 47)
Ayat-ayat yang dikutip di atas, menurut Chittick, merupakan ayat-ayat yang sering dirujuk Ibn ’Arabi guna memperlihatkan ”ambiguitas radikal” dalam wujud. Ibn ’Arabi sendiri mengakui betapa sulit dan rumitnya memahami hubungan ontologis antara Tuhan dan alam. Kesulitan dan kerumitan ini diungkapkannya berulang-ulang di antaranya ungkapan berikut,
Tetapi formula yang jelas tentang persoalan ini sangat sulit. Ungkapan verbal (‘ibarah) tidak mencukupi baginya dan konseptualisasi (tashawwur) tidak bisa mendefinisikannya karena ia lepas dengan cepat dan sifat-sifatnya berlawanan satu sama lain. (Noer, 48)
Hal yang lumrah, jika pada akhirnya banyak orang salah paham tentang pemikiran Ibn ’Arabi dan menuduhnya sebagai orang yang menyamakan Tuhan dengan alam, yang dalam istilah modern disebut ”panteis”, ”monis”, ”monis panteistik”, dan yang sejenis.
Kesulitan memahami relasi ontologis antara Tuhan dan alam muncul karena relasi itu selalu bersifat ambiguitas, mengandung pertentangan-pertentangan dalam dirinya tetapi merupakan suatu kesatuan utuh yang harmonis. Kesatuan pertentangan-pertentangan ini disebut al-jam’ bayna al-adhdhâd (”kesatuan antara pertentangan-pertentangan”) atau coincidentia oppositorum dalam bahasa filsafat Baratnya.
Dalam pandangan Ibn ’Arabi, alam adalah penyingkapan-diri atau tajali al-Haqq. Dengan demikian, segala sesuatu dan segala peristiwa di alam ini adalah entifikasi (ta’ayun) al-Haqq. Karena itu, baik Tuhan maupun alam, keduanya tidak bisa dipahami kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ontologis dalam realitas bukan hanya bersifat horizontal tetapi juga vertikal seperti yang terlihat antara Nama al-Zhahir dan al-Bathin, al-Awwal dan al-Akhir.
Ibn ’Arabi memandang, realitas itu Satu, namun memiliki dua sifat yang berbeda: sifat ketuhanan dan sifat kemakhlukan. Kedua sifat ini hadir dalam segala sesuatu yang ada di alam. Dalam wujud hanya ada satu realitas yang dapat dipandang dari dua aspek yang berbeda. “Tidak ada dalam wujud kecuali satu realitas. Dipandang dari satu aspek, realitas itu kita sebut Yang Benar, Pelaku, dan Pencipta. Dipandang dari aspek lain, ia kita sebut ciptaan, penerima, dan makhluk.” (Noer, 50) Dengan demikian, al-Haqq dan al-khalq adalah dua aspek bagi wujud yang satu atau realitas yang satu.
Dalam Fushush al-Hikam, Ibn ’Arabi berkata:
Tidakkah engkau memahami bahwa al-Haqq tampak melalui sifat-sifat segala sesuatu yang baru, ketika Dia memberitakan diri-Nya dengan demikian, bahkan melalui sifat-sifat kekurangan dan sifat-sifat kesalahan atau celaan? Tidakkah engkau memahami bahwa al-makhluq tampak melalui sifat-sifat al-Haqq dari awalnya sampai akhirnya, semuanya itu adalah benar baginya sebagaimana sifat-sifat segala sesuatu yang baru adalah benar bagi al-Haqq. (Noer, 50)
Dilihat dari satu aspek, Allah adalah satu, tetapi dilihat dari aspek lain Dia adalah semuanya (kull) yang mengandung keanekaan. Dalam hal ini Ibn ‘Arabi berkata, “Ketahuilah, apa yang dinamakan Allah adalah satu (ahadî) nelalui Zat dan semua (kull) melalui Nama-nama.” Apa yang dinamakan Allah, jika dilihat dari segi zat-Nya, adalah keesaan, tetapi Dia, jika dilihat dari segi penampakan-Nya dalam segala yang ada (mawjudat) dengan bentuk Nama-nama, adalah keanekaan.
Cinta (mahabbah) merupakan sumber dari hubungan antara Tuhan dengan ciptaan-Nya, yakni manusia dan alam semesta. Mahabbah menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq (699-756 M), yang dianggap sebagai pencetusnya, ia juga seorang ahli hadis dan tafsir. Mahabbah juga dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, Harits al-Muhasibi, dan terutama sekali dipopularkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Pada saat dikembangkan oleh para sufi tersebut tingkat keruhanian terpenting yang tersusun meliputi taubat, sabar, harap (rajaa’), takut (khawf), fakir, zuhud, tauhid (selaras dengan kehendak Tuhan), tawakkul, dan cinta (mahabbah) yang termasuk di dalamnya rindu (syawq), kekariban (uns), dan rela (ridlaa) yaitu puas terhadap kehendak-Nya.
Menurut Rumi, hanya cinta yang dapat membawa seorang pelaku sufi (saalik) berhasil dalam perjalanan mereka mencapai Diri Yang Tinggi sebab cinta merupakan cara unggul mencapai pengetahuan tentang hakekat segala sesuatu. Di dalam sistem estetika sufi, cinta (‘isyq ataupun mahabbah) mempunyai makna luas, cinta bukan dimaknakan secara umum, melainkan lebih pada keadaan dan tingkatan ruhani yang membawa seseorang mencapai pengetahuan ketuhanan. Sebagaimana diungkap dengan indah oleh Abu Nu’aym al-Isfahani di dalam Hilyat al-Awliyaa’ bahwa cinta merupakan gabungan dari berbagai unsur keadaan jiwa, “Hati orang arif adalah sarang cinta (‘isyq), dan hati pencinta birahi (‘ashiq) adalah sarang rindu (sawq), dan hati orang rindu (sawqi) adalah sarang kedekatan (uns).”
“Perhentian terakhir di jalan mistik ialah mahabbah atau cinta, dan ma’rifah. Kadang-kadang keduanya dianggap saling melengkapi, kadang-kadang cinta dianggap lebih utama, dan adakalanya ma’rifah dipandang lebih tinggi,”
Menurut al-Ghazali bahwa ma’rifah mendahului cinta (mahabbah) sebab “Cinta tanpa ma’rifah tidak mungkin, orang hanya dapat men-cintai sesuatu yang dikenal.” Pernyataan tentang ma’rifah yang paling menyentuh diberikan oleh al-Junayd, “Ma’rifah ialah keraguan hati antara menyatakan bahwa Tuhan terlalu agung untuk dimengerti, dan menyatakan bahwa Ia terlalu dahsyat untuk dilihat. Ma’rifah adalah pengetahuan bahwa apapun yang terbayang dalam hatimu, Tuhan adalah kebalikannya.”
Namun, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, cintalah yang mendahului ma’rifah, cinta yang tulus kepada Tuhan akan dibalas oleh-Nya dengan terbukanya tabir antara manusia dan Tuhan, dan sufi melihat Tuhan dengan mata-hatinya. Karenanya, tatkala ditanya apakah ia melihat Tuhan yang ia sembah, Rabi’ah menjawab, “Jika aku tak melihat-Nya, maka aku tidak akan menyembah-Nya.” Selanjutnya tentang ma’rifah, Rabi’ah al-Adawiyah menyatakan bahwa “Buah ilmu ruhani adalah agar engkau palingkan wajahmu dari makhluk agar engkau dapat memusatkan perhatianmu hanya kepada Allah saja sebab ma’rifah itu adalah mengenal Allah sebaik-baiknya”. Jadi, bagi Rabi’ah al-Adawiyah, mahabbah mendahului ma’rifah sekalipun keduanya berdampingan dan tidak dapat dipisahkan.
Dalam perspektif Dzun Nun al-Mishri, ma’rifah terstruktur menjadi tiga tingkatan, pertama, ma’rifah awam yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan ucapan syahadat; kedua, ma’rifah ulama yaitu mengetahui Tuhan dengan logika akal; ketiga, ma’rifah sufi yaitu mengetahui Tuhan dengan perantaraan hati-sanubari.
Demikian pula, cinta (mahabbah) menurut al-Sarraj, ada tiga tingkatan, pertama, mahabbah biasa dengan selalu mengingat Tuhan; kedua, mahabbah orang yang shidiq, cinta yang dapat menghilangkan tabir antara manusia dan Tuhan dengan cara menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, lalu hatinya dipenuhi perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu kepada-Nya; ketiga, mahabbah orang arif, cinta yang benar-benar mengetahui terhadap Tuhan, yang dirasa bukan lagi cinta, melainkan Diri yang dicintainya.
Dengan mencintai Allah, maka terbukalah rahasia ciptaan Allah, baik yang nyata maupun yang gaib, yang di dunia maupun yang di akhirat (cinta tingkat biasa, I). Dengan terbukanya rahasia itu, seorang sufi dapat melihat cahaya kekuasaan dan keagungan Allah (cinta tingkat orang shidiq, II). Selanjutnya, di saat cinta itu semakin mendalam, maka akan terbuka tabir antara manusia dan Tuhannya, sangat merindukan-Nya sebab telah melihat keindahan-Nya melalui hati-sanubari (ma’rifah sufi). Di dalam hati-sanubari inilah orang arif mempertemukan cintanya dengan cinta Allah, cinta Tuhan bertemu dengan cinta hamba-Nya (cinta tingkat orang arif, III). Pada keadaan jiwa demikian seorang sufi seperti Rabiah al-Adawiyah menyatakan pengalamannya bahwa antara mahabbah dan ma’rifah saling me-ningkatkan keberadaannya sekalipun selalu dimulai dari kecintaan terhadap Allah (mahabbah).
Menurut Imam al-Ghozali di dalam Ihyaa’ ‘uluum al-Diin bahwa cinta dapat diidentifikasi menjadi lima, yakni:
(1) Cinta diri, berupa keinginan akan kesempurnaan diri, mencakup cinta kepada kesehatan, kekayaan, istri, anak, karib- kerabat, dan lain-lain; (2) Cinta yang terbit disebabkan adanya keuntungan yang diperolah dari objek yang dicintai; (3) Cinta yang disebabkan keindahan dan kebaikan, dan ini termasuk cinta sejati; (4) Cinta yang diilhami oleh keindahan dan kebaikan dalam arti moral seperti cinta seorang muslim kepada Nabi Muhammad Saw; (5) Cinta yang lahir karena munaasabah atau afinitas rahasia, umpamanya cinta yang wujud antara Pencinta dengan Kekasih-nya. Dalam hal ini pencinta tidak memandang kesenangan yang akan diperoleh sebab cinta terbit karena adanya pertautan istimewa antara keduanya.
Tokoh sufi yang dianggap paling mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal:
Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku kara
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Menurut Imam al-Ghozali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan.
Cinta model pertama itu perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa) “...karena Kau singkap/Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu.
Al-Junayd mendeskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta.”
Al-Ghazali juga memetaforakan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh al-Qur’an, buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksud-kan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya.
Dalam perspektif sufisme, cinta Tuhan mendahului cinta dari manusia terhadap Tuhannya sebab apabila Tuhan sudah mencintai hamba-Nya, maka sang hamba tak pernah bisa menolak cinta-Nya sebab prakarsa terlebih dahulu datang dari Tuhan. Pandangan demikian berangkat dari pernyataan al-Qur’an bahwa “Ia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya”.
Tentang cinta Ilahi yang sempurna itu ada tingkatan-tingkatan cinta, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam)
Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H/1072 H) melalui bukunya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompleks sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).
Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan, (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyq-i kulli) yang merupakan tujuan ruh.
Menurut Ruzbihan, cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya; kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyem-purnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.
Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tauhid), di atasnya sudah tidak ada lagi. Pada titik inilah pantas untuk mengatakan dalam ungkapan-ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.