THORIQOH QODIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH

Meskipun ada sementara pendapat bahwa agama Islam sudah masuk di Indonesia pada abad ke-7/8 M, namun berdasarkan bukti-bukti historis yang kuat, kelompok-kelompok masyarakat Islam baru berkembang sejak abad ke-13 M, yaitu abad perkembangan tarekat yang pesat di Dunia Islam. Akan tetapi, sampai sekarang belum jelas bagaimana peranan tarekat-tarekat dalam penyiaran Islam di Indonesia pada masa pertama penyebarannya.

Secara terpisah, Tarekat Qadiriyyah sudah mulai menyebar ke Indonesia pada abad ke-16 M. Menurut Rinkas, Syekh Hamzah Fansuri adalah seorang pengikut tarekat Qadiriyyah dan berusaha menyebarkannya ke daerah-daerah yang dikunjunginya sampai ke Jawa. Sebaliknya Tarekat Naqsyabandiyyah menurut Trimingham masuk ke Indonesia melalui Mekah. Pada tahun 1840 M, seorang Syekh berasal dari Minangkabau diresmikan menjadi pemimpin tarekat Naqsyabandiyyah yang pertama untuk Indonesia. Selanjutnya, Tarekat Naqsyabandiyyah berkembang pesat di Nusantara. Menurut Hawash Abdullah ada dua versi tarekat Naqsyabandiyyah yang tersebar di kawasan ini, yaitu Naqsyabandiyyah al-Khalidiyah yang dipelopori oleh Syekh Ismail ibn Abdillah Al-Khalidi dan Naqsyabandiyyah Muzhariyah yang dipelopori oleh Sayid Muhammad Saleh al-Zawawi. Di Jawa pada abad ke-19 menurut Kartono Kartodiharjo, tarekat Naqsyabandiyyah merupakan tarekat yang paling banyak pengikutnya melebihi tarekat-tarekat Qadiriyyah dan Syatariyyah.

Penyebaran Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN) diperkirakan sejak paruh kedua abad ke-19, yaitu sejak tibanya kembali murid-murid Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi di tanah air. Di Kalimantan Barat, daerah asal Syekh Khatib Sambas, TQN disebarkan oleh dua orang muridnya; Syekh Nuruddin (berasal dari Filipina) dan Syekh Muhammad Sa'ad (putra asli Sambas). Karena penyebaran tarekat ini tidak melalui semacam lembaga pendidikan formal seperti pesantren, maka TQN hanya tersebar di kalangan orang awam sehingga tidak memperoleh kemajuan yang berarti. Lain halnya di pulau Jawa, TQN disebarkan melalui pondok-pondok pesantren yang didirikan dan dipimpin oleh para pengikutnya, maka perkembangannya pun pesat sekali sehingga kini merupakan tarekat yang paling besar dan berpengaruh dikawasan ini.

Syekh Abdul Karim dari Banten merupakan ulama berjasa dalam penyebaran TQN di Jawa. Dia murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib al-Sambasi pendiri TQN di Mekah. Dialah yang diangkat gurunya (Khatib Sambas) untuk menggantikan kedudukan sebagai pemimpin tertinggi Tarekat Qadiriyyah di kota suci Mekah sepeninggalnya pada tahun 1875 M. Syekh Abdul Karim pun mematuhi pengangkatan tersebut dan dia pun berangkat ke Mekah pada tahun 1876 M.

Syekh Khatib Sambas memang banyak mempunyai murid yang berasal dari Nusantara. Karenanya, TQN tersebar di berbagai daerah seperti; Bogor, Tangerang, Solok, Sambas, Bali, Madura dan Banten. Kecuali Madura, semua pengikut TQN di daerah-daerah tersebut mendapat bimbingan dari Syekh Abdul Karim. Di Madura pemimpin TQN adalah Syekh 'Abdadmuki, putra asli.

Syekh Abdul Karim tiba kembali ke Banten pada awal tahun 1870-an, sebelumnya dia mampir di Singapura dalam perjalanan pulang dari Mekah setelah berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Sambas. Setibanya di Banten dia mendirikan pesantren, yang sekaligus dijadikan pusat penyebaran TQN di daerah trsebut. Karenanya, tarekat Qadiriyyah yang diduga sudah ada di Banten sejak ke-16 M dengan kedatangan Syekh Hamzah Fansuri di daerah ini, mendapat angin segar sehingga TQN berkembang pesat. Malah kedatangan Syekh Abdul Karim di Banten juga berhasil mempersatukan para ulama dan pesantren-pesantren di daerah tersebut dan mengobarkan semangat anti penjajahan, yang akhirnya bermuara pada pemberontakan rakyat Banten di Cilegon pada tahun 1888 M yang terkenal itu. Dia dianggap sebagai salah seorang dari tiga ulama yang berperan dalam mencetuskan pembrontakan rakyat tersebut meskipun pada tahun itu dia berada di Mekah dalam statusnya sebagai pemimpin tertinggi Tarekaot Qadiriyyah Naqsyabandiyyah menggantikan gurunya Syekh Khatib Sambas.

Menurut Dhofier, lima pondok pesantren di Jawa yang sekarang menjadi pusat penyebaran TQN di Indonesia, semuanya menelusuri silsilahnya kepada Syekh Abdul Karim. Kelima pondok pesantren tersebut adalah;

  1. Pesantren Pegentongan di Bogor (Jawa Barat)
  2. Pesantren Suryalaya di Tasimalaya (Jawa Barat)
  3. Pesantren Mranggen di Semarang (Jawa Tengah)
  4. Pesantren Rejoso di Jombang (Jawa Timur)
  5. Pesantren Tebuireng di Jombang (Jawa Timur)

Adapun pesantren Suryalaya didirikan oleh Syekh Abdullah Mubarak ibn Nur Muhammad pada tanggal 7 Rajab 1323 H (5 September 1905 M). Beliau menerima TQN dari gurunya, Syekh Ahmad Tholhah di Cirebon, yang menerima dari Syekh Abdul Karim Banten. Setelah merasa tua dan uzur Syekh Abdullah Mubarak menyerahkan pimpinan pesantren dan TQN kepada putra beliau; Syekh A. Sahahibilwafa Tadjul 'Arifin (yang terkenal dengan sebutan; Abah Anom), pemimpin pesantren Suryalaya sekarang ini. Pada masa kepemimpinan beliau inilah TQN menyebar luas ke seluruh pelosok Indonesia, malah sampai ke berbagai negara Asean, seperti; Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.

Demikianlah asal-usulnya, di kota suci umat Islam Mekah al-Mukarramah, Tarekat Qadiriyyah dan Tarekat Naqsyabandiyyah menyatu dalam diri seorang mursyid dengan nama baru Tarekat Qadiriyyah Naqsyabandiyyah (TQN). Dari kota suci inilah pula tarekat baru tersebut memancar ke Nusantara, tanah air tercinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar