PERJUANGAN KULTUR MELALUI DZIKIR

PERJUANGAN KULTUR MELALUI DZIKIR...dari Episode Wali Sanga, NU, hingga sekarang Dengan semangat dzikir kaum thariqah berjuang mengislamkan nusantara dan mempertahankannya dari upaya penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Dan kini, melalui Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah kaum tarekat Indonesia berhimpun untuk memajukan bangsa. Dalam hal nasionalisme dan pengabdian terhadap tanah air, kaum thariqah memang bisa diacungi jempol. Betapa tidak. Perjalananan penjang sejarah kebangsaan negeri ini telah mencatat dengan tinta emas kiprah kaum thariqah. Tak hanya sibuk mendidik umat dengan dzikir dan kluhuran akhlak, mereka juga berada di barisan terdepan pejuang yang berjibaku mempertahankan tanah air tercinta dari upaya penjajahan bangsa asing. Tak hanya di Indonesia, di berbagai belahan dunia kaum thariqah juga diakui sebagai kelompok yang paling mampu membawa dan menyebarkan nilai-nilai sejati Islam yang tercermin dalam idiom rahmatan lil ‘alamin. Tak mengherankan jika kemudian thariqah atau tarekat berkembang pesat dan menjadi salah satu khazanah umat Islam yang mendunia. Tengok saja fenomena Thariqah Naqshabandiyyah Haqqaniyyah di Amerika Serikat yang dibawa oleh Syaikh Muhammad Hisham Kabbani Al-Hasani asal Cyprus dan Thariqah Syadziliyyah di Eropa yang perkenalkan oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim Al-Ya’qubi Al-Hasani asal Damaskus, Suriah. Meski perlahan, pertumbuhan kedua tarekat itu sangat signifikan di berbagai negeri-negeri barat, seiring pertumbuhan jumlah umat Islam di negeri-negeri yang sejak lama telah kehilangan rasa dengan agama nenek moyangnya. Di Indonesia sendiri aktivitas thariqah telah dikenal sejak awal mula masuknya Islam ke Nusantara. Berbagai riset dan penelitian kesejarahan yang di lakukan oleh para sejarawan, baik lokal maupun mancanegara, membuktikan, para para penganut thariqahlah yang telah membawa agama tauhid ini masuk ke nusantara. Menilik sejarahnya yang panjang, tak mengherankan jika saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah mengklaim bahwa jumlah pengikut thariqah saat ini berkisar antara 35 -40 jutaan orang. Rentang waktu yang telah dilalui kaum thariqah yang membentang melintasi puluhan generasi tentu merupakan obyek yang menarik untuk dikaji. Sebab dipastikan, kaum thariqah pasti terlibat dan mempunyai andil besar dalam dinamika pertumbuhan Islam di Nusantara. Berikut sekelumit kisah masuk dan berkembangnya thariqah ke Indonesia, berikut keterlibatannya dalam jatuh bangunnya bangsa ini. Serat Banten Islamisasi nusantara secara besar-besaran terjadi pada awal abad 14, bersamaan dengan masa keemasan perkembangan tasawuf akhlaqi yang ditandai dengan munculnya aliran-aliran thariqah di Timur Tengah. Fase itu sendiri telah dimulai sejak Imam Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (wafat 1111 M) merumuskan konsep tasawuf yang moderat yang memadukan keseimbangan unsur akhlaq, syariat, dan filsafat. Konsep itu diterima secara terbuka oleh kaum fuqaha yang sebelumnya menentang habis-habisan ajaran tasawuf falsafi yang kontroversial. Tasawuf falsafi adalah ajaran tasawuf yang mencampur adukan antara konsep tauhid, akhlaq dengan filsafat Yunani. Di antara doktrin kontroversialnya adalah hulul dan ittihad, yakni penyatuan ragawi antara Allah dan makhluk yang juga dikenal sebagai paham wahdatul wujud. Karena bertentangan dengan doktrin umum syariat, pertumbuhan tasawuf falsafi sangat berdarah-darah. Aksi-aksi kontroversial para sufi falsafi kontan menyulut kemarahan jumhur ulama dan penguasa masa itu. Beberapa tokohnya, seperti Al-Hallaj dan Abu Yazid Al-Busthami, kemudian dibawa ke meja hijau dan dihukum mati. Setelah Al-Ghazali sukses dengan konsep tasawuf moderatnya yang dianggap selaras dengan syariat, berturut-turut muncul tokoh-tokoh sufi yang mendirikan zawiyyah pengajaran tasawuf akhlaqi di berbagai tempat. Sebut saja Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (wafat 1166 M), yang ajaran tasawufnya menjadi dasar Thariqah Qadiriyyah. Ada juga Syaikh Najmudin Kubra (wafat 1221 M), sufi Asia Tengah pendiri Thariqah Kubrawiyyah; Syaikh Abul Hasan Ali Asy-Syadzili (wafat 1258), pendiri Thariqah Syadziliyyah asal Maghribi, Afrika Utara; Ahmad Ar-Rifa’i (wafat 1320) yang mendirikan Thariqah Rifa’iyyah. Selain itu, awal abad keempat belas juga menjadi fase pertumbuhan Thariqah Naqsyabandiyyah yang didirikan oleh Syaikh Muhammad Bahauddin An-Naqsyabandi (wafat 1389) dan Thariqah Syathariyyah yang didirikan Syaikh Abdullah Asy-Syaththari (wafat 1428 M). Kedua thariqah tersebut belakangan menjadi yang thariqah besar yang memiliki banyak pengikut di tanah air. Para sejarawan barat meyakini, sebagaimana dikuti Martin Van Bruinessen dalam bukunya Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Islam bercorak sufistik itulah yang membuat penduduk nusantara yang semula beragama Hindu dan Buddha menjadi sangat tertarik. Tradisi dua agama asal India yang kaya dengan dimensi metafisik dan spiritualitas itu dianggap lebih dekat dan lebih mudah beradaptasi dengan tradisi thariqah yang dibawa para wali. Salah satu referensi keterkaitan para wali dengan dunia thariqah adalah Serat Banten Rante-rante, sejarah Banten kuno. Dalam karya sastra yang ditulis di awal berdirinya kesultanan Banten itu disebutkan, pada fase belajarnya Sunan Gunung Jati pernah melakukan perjalanan ke tanah Suci dan berjumpa dengan Syaikh Najmuddin Kubra dan Syaikh Abu Hasan Asy-Syadzili. Dari kedua tokoh berlainan masa itu sang sunan konon memperoleh ijazah kemursyidan Thariqah Kubrawiyyah dan Syadziliyyah. Untuk menguatkan cerita tersebut, Serat Banten Rante-rante juga mencantumkan 27 tokoh ulama yang pada masa yang sama juga belajar kepada Syaikh Najmuddin Kubra, dan belakangan menjadi tokoh penyebar Thariqah Kubrawiyyah ke seluruh dunia. Mereka antara lain Syaikh Jamaluddin Muhammad Al-Khalwati, Qadhi Zakariyya Al-Anshari dan Syaikh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani. Terlepas dari kebenaran fakta cerita dalam Serat Banten Rante-rante, pendiri Kesultanan Cirebon itu diyakini sebagai orang pertama yang membawa Thariqah Kubrawiyyah ke tanah Jawa. Faham Wahdatul Wujud Thariqah lain yang masuk nusantara pada periode awal adalah Thariqah Qadiriyyah, Syaththariyyah dan Rifa’iyyah. Ketiga thariqah tersebut masuk ke Sumatra sepanjang abad 16 dan 17 secara susul menyusul. Thariqah yang pertama kali masuk adalah Qadiriyyah yang dibawa oleh Hamzah Fansuri, sastrawan sufi kontroversial dari Aceh. Meski meninggalkan banyak karya tulis, namun sang sufi yang sempat berkelana ke negeri-negeri di Asia Selatan dan Tenggara itu diyakini tidak menyebarkan thariqahnya kepada khalayak umat Islam. Jejaknya hanya diikuti oleh murid utamanya, Syamsudin As-Sumatrani, yang belakangan justru menyebarkan Thariqah Syaththariyyah. Ijazah kemursidan Syaththariyyahnya diperoleh dari sufi asal Gujarat, Syaikh Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri. Meski berbeda thariqah, guru dan murid itu mempunyai kesamaan kecenderungan, yakni mengajarkan paham wahdatul wujud. Ajaran itulah yang kemudian memicu konflik tajam dengan sufi lain yang menjadi mufti kerajaan Aceh, yakni Syaikh Nuruddin Ar-Raniri. Usaha kelompok Ar-Raniri dalam memerangi ajaran panteisme ala Syamsudin itu tak main-main. Selain pembakaran kitab pegangan dan zawiyyah-zawiyyahnya, Ar-Raniri juga berhasil meyakinkan pemerintah untuk menghukum bakar Syamsudin beserta para pengikutnya. Sepeninggal Ar-Raniri, jejaknya diteruskan oleh Syaikh Abdul Rauf As-Singkili asal Singkel, Aceh. Ulama muda yang pernah belajar di Tanah Suci selama sembilan belas tahun itu membawa Thariqah Syaththariyyah yang lebih bercorak akhlaqi. Ijazah kemursyidan Syaikh Abdul Rauf Singkel diperoleh dari dua sufi besar Madinah, Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi (wafat 1660M) dan Syaikh Ibrahim Al-Kurani (wafat 1691). Setelah mendengar konflik antara pengikut Syaththariyyah ala Syamsudin yang kontroversial dan Syaikh Nuruddin Ar-Raniri, Abdul Rauf diutus gurunya untuk kembali ke Aceh guna menyebarkan thariqah Syaththariyyah yang benar. Kedatangannya diterima dengan tangan terbuka oleh kerajaan. Bahkan ia lalu diangkat menjadi salah satu mufti kerajaan. Tokoh lain yang hidup semasa dengan Syaikh Abdul Rauf Singkel dan pernah juga berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Kurani serta ulama sufi lainnya di Timur Tengah adalah Syaikh Yusuf Al-Makassari, ulama pejuang asal Sulawesi Selatan. Setelah mengembara hingga ke Damaskus, Syaikh Yusuf pulang ke Nusantara dengan mengantongi ijazah kemursyidan Thariqah Naqsyabandiyyah, Qadiriyyah, Syaththariyyah, Ba’alawiyyah dan Khalwatiyyah. Di Makassar, Syaikh Yusuf lalu mengajarkan Thariqah Khalwatiyyah yang dipadu dengan beberapa ritual thariqah lain yang dikuasainya, dan dikenal kemudian dengan nama Khalwatiyyah Yusufiyyah. Pengikut thariqah ini juga dikenal sangat militan. Beberapa kali mereka terlibat bentrokan dengan penjajah dan ditangkapi. Syaikh Yusuf sendiri kemudian hijrah ke kesultanan Banten, ikut membantu perjuangan rakyat Banten sambil terus mengajarkan thariqah Khalwatiyyahnya. Karena simpati dengan ketulusan perjuangan Syaikh Yusuf, ulama itu kemudian diangkat menantu Sultan Ageng Tirtayasa. Sepeninggal Sultan Ageng yang gugur di penjara kompeni Belanda, Syaikh Yusuf meneruskan perjuangan sang mertua. Ia membangun basis pertahanan di sekitar Tangerang. Membela Penjajah Namun sayang, karena Sultan Haji, raja Banten berikutnya lebih cenderung membela kepentingan penjajah, perjuangan Syaikh Yusuf pun semakain meleham hingga akhirnya tertangkap pada tahun 1683. Setelah dipindah-pindahkan dari penjara Cirebon ke Batavia, akhirnya pada tanggal 12 September 1684 ia dibuang ke Ceylon, Afrika Selatan. Di negeri itu ia menghabiskan sisa usia dengan berdakwah, mengajar dan menulis kitab. Hingga kini masyarakat Ceylon masih menganggap sang Syaikh sebagai wali dan pahlawan kebanggan mereka. Abad enam belas dan tujuh belas memang merupakan masa-masa penting dalam penyebaran thariqah di nusantara. Pada abad-abad tersebut, mulai banyak santri dari Nusantara yang lazim dikenal dengan orang Jawah atau Jawi yang menetap di Tanah Suci untuk belajar ilmu agama. Bahkan saat itu, jumlah jamaah haji dari Nusantara termasuk yang terbesar dibanding dari dari negeri-negeri muslim lain. Para santri Jawah itu hidup dalam satu komunitas tersendiri yang terpisah dari santri-santri negeri lain. Karena kemampuan berbahasa Arab mereka yang rata-rata pas-pasan, santri-santri junior lebih banyak belajar kepada para santri senior asal Jawah juga. Setelah cukup matang barulah mereka mulai belajar kepada ulama besar setempat. Kemudian, sebagaimana yang dilakukan para pendahulu mereka, setelah usai mengaji ilmu syariat, para santri Jawah itu lalu berguru ilmu tasawuf kepada ulama sufi terkenal di kota itu. Setelah era Syaikh Al-Qusyasyi dan Al-Kurani, pada abad 18, tokoh ulama sufi yang menjadi tujuan belajar utama santri Jawah adalah Syaikh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani (wafat 1775 M), penjaga makam Baginda Nabi Muhammad SAW. Ulama yang produktif menulis itu mengajarkan perpaduan ajaran thariqah Khalwatiyyah, Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah dan Syadziliyyah. Sufi yang dikenal banyak memiliki karamah itu juga menyusun sebuah ratib dan mengajarkan metode berzikir baru yang belakangan dikenal sebagai wirid Thariqah Sammaniyyah. Karena kehebatan karamahnya, thariqah itu sangat diminati para santri Jawah dan segera saja tersebar luas di nusantara. Salah satu murid utama Syaikh Samman asal nusantara adalah Syaikh Abdul Shomad Al-Falimbani, ulama pejuang asal Palembang, Sumatera Selatan yang mengarang beberapa kitab terkenal berbahasa Melayu. Berkat Syaikh Abdul Shomad pula thariqah itu diterima dengan tangan terbuka dan berkembang pesat di Kesultanan Palembang. Bahkan, beberapa waktu setelah sang syaikh wafat, Sultan Palembang membangun sebuah zawiyyah Thariqah Sammaniyyah di kota pelabuhan Saudi Arabia, Jeddah. Karena besarnya kecintaan para Sultan Palembang kepada Syaikh Samman dan thariqahnya, tak heran hingga saat ini Thariqah Sammaniyyah terus berkembang pesat di Sumetara Selatan, bahkan sampai pulau-pulau lain. Di beberapa daerah di pesisir utara Jawa, misalnya, hingga ssat ini syair tawassul kepada Syaikh Samman masih sering dikumandangkan setiap usai shalat tarawih dan witir di bulan Ramadhan. Thariqah ini juga menjadi alat pemersatu rakyat, ulama dan umara Palembang dalam pertempuran penjajah pada tahun 1819. Dalam sebuah karya sastra setempat dikisahkan, sekelompok pengikut thariqah yang mengenakan pakaian serba putih dan menyandang senjata tampak berzikir dengan keras hingga mencapai fana atau ekstase. Kemudian tanpa rasa gentar mereka menyerbu dan mengobrak-abrik barisan tentara Belanda. Syaikh Abdul Shamad Al-Falimbani sendiri di masa tuanya hijrah ke Pattani, untuk berdakwah dan membantu umat Islam setempat yang tengah berjuang melawan penjajah eropa yang datang silih berganti. Seiring kepulangan santri Jawah yang telah selesai belajar di tanah suci, menjelang akhir abad delapan belas, berbagai thariqah telah tersebar luas di nusantara. Setiap daerah memiliki kekhasan thariqahnya sendiri, sesuai yang dianut petinggi agama setempat. Beberapa daerah juga memiliki tradisi yang merupakan perpaduan dari berbagai thariqah terkenal. Bermodal Kesaktian Jejak Thariqah Qadiriyyah dan Rifa’iyyah, misalnya, bisa dikenali lewat kesenian debus yang tersebar mulai di berbagai kesultanan seperti Aceh, Kedah, Perak, Minangkabau, Banten, Cirebon, Maluku, dan Sulawesi Selatan. Bahkan kesenian yang mengedepankan aspek kesaktian itu juga dikenal di komunitas Melayu di Cape Town, Afrika Selatan, yang mungkin mendapatkannya dari Syaikh Yusuf Al-Makassari dan murid-muridnya. Pada mulanya ilmu kebal debus diberikan para guru thariqah untuk menambah semangat juang murid-muridnya dalam menghadapi penjajah. Tak heran pertempuran demi pertempuran meletus di berbagai daerah yang digelorakan oleh ulama dan pengikut tarekat. Selain di Pelambang, pertempuran lain melawan penjajah yang dilakukan para pengikut thariqah juga tercatat pernah meletus di Kalimantan Selatan (tahun 1860an), Jawa Barat (1888) dan Lombok (1891). Dua pertempuran yang disebut terakhir itu digerakkan oleh ulama dan pengikut Thariqah Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah (TQN), tarekat baru yang didirikan oleh ulama sufi Makkah asal Kalimantan Barat, Syaikh Ahmad Khatib As-Sambasi (wafat 1878). Sufi besar itu mempunyai tiga orang khalifah (asisten, yang kelak bisa menggantikan sebagai guru utama), yakni Syaikh Abdul Karim Banten, Syaikh Tholhah Cirebon dan Syaikh Ahmad Hasbullah Madura (tinggal di Makkah). Sepeninggal Syaikh Ahmad Khatib Sambas, kepemimpinan tertinggi Thariqah Qadiriyyah wan Naqsyabandiyyah di Makkah dipegang oleh Syaikh Abdul Karim Banten. Kharisma kuat yang memancar dari diri Syaikh Abdul Karim membuat thariqah ini segera tersebar luas di nusantara, khususnya Jawa Barat, Jawa Tengah bagian utara dan Jawa Timur. Setelah Syaikh Abdul Karim wafat, kepemimpinan TQN tidak lagi terpusat. Thariqah itu berkembang pesat di berbagai daerah di bawah kepemimpinan para khalifah generasi seudahnya. Pada paruh kedua abad dua puluh, terdapat setidaknya empat pusat TQN yang penting di Pulau Jawa : Rejoso (Jombang – Jawa Timur) yang dipimpin oleh Kiai Musta’in Romly, Mranggen (Demak –Jawa tengah) dipimpin Kiai Muslikh, Suryalaya (Tasikmalaya – Jawa Barat) dipimpin oleh Abah Anom, dan Pagentongan (Bogor – Jawa Barat) dipimpin oleh Kiai Tohir Falak. Di antara keempat tokoh besar TQN itu, hanya tinggal Abah Anom yang masih hidup. Dan hanya tinggal Suryalaya pula yang sepeninggal pengasunya, kepemimpinan thariqahnya masih efektif hingga saat ini. Sementara ketiga pusat pengajaran lainnya tidak berhasil melakukan regenerasi. Di Jawa Timur, misalnya, Kiai Mustain Romly yang terjun ke politik praktis mulai ditinggalkan pengikutnya. Ketokohannya kemudian digantikan oleh Kiai Adlan Aly dari Tebuireng. Sepeninggal Kiai Adlan Aly, ketokohan TQN di Jawa Timur dipegang Kiai Utsman Al-Ishaqi Surabaya dan dilanjutkan oleh putranya yang legendaris, K.H. Asrori A-Ishaqi yang wafat tanggal 18 agustus 2009 lalu. Sementara di Jawa Tengah, sepeninggal Kiai Muslikh yang kharismatik, kiprah kethariqahan Mranggen berangsur-angsur tenggelam. Hal yang sama juga terjadi di Pesantren Pagentongan, Bogor, yang sempat berjaya pada masa kepengasuhan Abah Falak. Selain thariqah-thariqah yang sudah disebut di muka, masih banyak lagi thariqah besar yang masuk ke nusantara pada pertengahan abad 19. Yang paling besar tentu saja Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah (TNK), hasil pembaruan thariqah Naqsyabandiyyah yang dilakukan oleh Maula Khalid Al-Baghdadi. Thariqah ini, menurut berbagai sumber yang dikutip Martin VB dalam Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, masuk nusantara untuk kali pertama melalui Syaikh Ismail Al-Minangkabawi, yang mengajar di Singapura. Melalui tokoh mendapat ijazah dari Syaikh Abdullah Barzinjani (khalifah Maula Khalid) itu TNK-pun menyebar ke Kerajaan Riau, Kerajaan Minang kemudian seluruh tanah air. Perang Paderi Di Minang, para pengikut Naqsyabandiyyah Khalidiyyah yang dipimpin Syaikh Jalaluddin Cangking sempat terlibat bentrokan dengan pengikut tarekat Syattariyah yang berpusat di Ulakan. Para penganut Naqsyabandiyyah yang menganggap diri mereka pembaharu mengecam kaum konservatif di Ulakan, yang ajaran thariqahnya dianggap sudah tercemari sinkretisme. Belakangan, para tokoh Naqsyabandiyyah di Cangking terlibat peperangan melawan penjajah Belanda dalam perang Paderi, yang dipimpin Imam Bonjol. Cerita seputar hubungan antara Perang Paderi dengan thariqah Naqsyabandiyyah belakangan kembali dipertanyakan, terutama oleh sejarawan Minang dan Tapanuli. Pemicuya adalah beberapa buku sejarah yang menyatakan Imam Bonjol dan pasukannya adalah penganut paham Wahhabi yang bermaksud menggusur kaum muslim tradisionalis di kawasan itu. Wallahu a’lam bish shawwab. Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah semakin berkembang pesat di tanah air melalui jamaah haji sejak Syaikh Sulaiman Zuhdi, khalifah thariqah tersebut membuka zawiyyah di Jabal Abi Qubais, Makkah Al-Mukarramah. Untuk wilayah Jawa, misalnya, Syaikh Sulaiman menunjuk tiga khalifah: Syaikh Abdullah Kepatian (Tegal), Syaikh Muhammad Ilyas Sokaraja (Banyumas), dan Syaikh Muhammad Hadi, Girikusumo (Girikusuma, semarang) Khalifah pertama hingga wafatnya tidak mengangkat pengganti. Sedangkan kekhalifahan Syaikh Ilyas diteruskan oleh putranya Kiai Abdul Malik, Purwokerto, lalu oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan. Sementara kekhalifahan Syaikh Muhammad Hadi Girikusumo dilanjutkan oleh putranya Kiai Manshur Popongan Klaten, lalu oleh cucunya Kiai Salman Dahlawi dan muridnya Kiai Arwani Amin Kudus. Selain mewariskan Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah, Kiai Abdul Malik juga mewariskan ijazah kemursyidan beberapa thariqah kepada Habib Luthfi Bin Yahya, salah satunya adalah Thariqah Syadziliyyah. Bahkan, belakangan pemimpin tertinggi Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah itu lebih identik dengan tarekat yang berasal dari Afrika Utara tersebut. Selain melalui jalur Kiai Abdul Malik, Thariqah Syadziliyyah di Jawa juga dibawa oleh K.H. Muhammad Dalhar Watucongol, Muntilan, Magelang. Dan pada akhir abad dua puluh, pusat pengajaran Thariqah Syadziliyyah terbesar berada di beberapa pesantren : Pesantren Peta di Tulungagung dengan guru mursyidnya Kiai Abdul Jalil Mustaqim, Pesantren Watucongol Magelang dengan mursyid Kiai Muhammad Abdul Haqq bin Dalhar alias Mbah Mad, Pesantren Parakan Temanggung oleh Kiai Muhaiminan Gunardo, dan Pesantren Cidahu Pandeglang oleh Abuya Dimyathi. Selain di beberapa pesantren tersebut, pengajaran Thariqah Syadziliyyah juga diberikan oleh guru mursyid non pesantren. Yang terkenal di desa Kacangan Boyolali oleh Kiai Idris dan –yang terbesar-- di Noyontakan Pekalongan yang diasuh oleh Habib Luthfi bin Ali bin Hasyim Bin Yahya. Namun sayangnya saat ini hanya tinggal Habib Luthfi dan Mbah Mad saja yang masih hidup, sementara yang lain telah wafat sepanjang satu dasa warsa lalu. Yang menarik, meski baru tersebar luas di awal abad dua puluh, konon Thariqah Syadziliyyah sudah masuk negeri ini, khususnya Jawa Timur, sejak awal akhir abad 18. Pembawanya adalah Syaikh Maulana Abdul Qadir Khairi As-Sakandari, seorang ulama asal dari Iskandariyyah Mesir yang kini dimakamkan di makam auliya Desa Tambak, Kelurahan Ngadi, Kecamatan Mojo, Kediri, Jawa Timur. Ijazah Dari Rasulullah Thariqah besar lain yang ikut mewarnai khazanah muslim nusantara adalah Thariqah Tijaniyyah yang didirikan oleh Syaikh Ahmad At-Tijani (1737 – 1815) Sufi dari Afrika Utara. Karena usianya yang masih muda, thariqah ini baru masuk Indonesia setelah tahun 1920an, melalui Jawa Barat. Pembawanya adalah Syaikh Ali bin Abdullah At-Thayyib Al-Azhari, ulama pengembara kelahiran Makkah. Di negeri ini kehadiran Thariqah Tijaniyyah sempat mengundang polemik, karena pendirinya mengaku mendapat ijazah langsung dari Rasulullah dalam keadaan sadar dan thariqahnya menyempurnakan serta menutup thariqah-thariqah lain. Meski sempat ditentang oleh ulama thariqah lain, Tijaniyyah tumbuh subur di Cirebon dan Garut dengan Pesantren Buntet, Cirebon sebagai pusatnya. Saat ini terdapat tak kurang dari 28 muqaddam, istilah untuk guru mursyid dalam thariqah ini, yang tersebar di seluruh Indonesia. Masih banyak lagi thariqah-thariqah lain yang saat ini terus tumbuh dan berkembang di tanah air, baik yang mu’tabar (keabsahannya diakui) maupun yang belum diakui. Dari yang diperkirakan datang bersamaan dengan tibanya wali songo seperti Thariqah Kubrawiyyah, sampai yang baru masuk Indonesia di penghujung abad dua puluh, seperti Thariqah Naqsyabandiyyah Haqqaniyyah. Masalah kemu’tabaran itu memang selalu menjadi isu krusial dalam dunia thariqah, karena dengan menyandang status mu’tabar suatu thariqah diakui ketersambungan sanadnya sampai kepada Rasulullah. Kemu’tabaran suatu thariqah sekaligus juga menyiratkan kemurniannya dari pengaruh ajaran metafsik lain yang menyesatkan. Untuk menjaga kemurnian dan kemu’tabaran ajaran thariqah-thariqah tersebut, sejak tahun 1979, pada muktamarnya ke-26, warga Nahdlatul Ulama membentuk Jamiyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, badan otonom NU yang melaksanakan mandat warga nahdliyyin seputar dunia pertarekatan. Dan saat ini Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah telah mengakui kemu’tabaran empat puluh empat thariqah di Indonesia. Dan tanggal 26 - 30 Juni 2008 yang lalu, organisasi kaum tarekat di lingkungan NU itu menggelar musyawarah kubra tingkat nasional yang selalu digelar di pertengahan masa kepengurusan suatu periode. Mudah-mudahan akan semakin banyak kemanfaatan lahir dan tersebar di nusantara. Sebagaimana selama ini insan thariqah telah membuktikan jati dirinya melalui dakwah, dzikir dan perjuangan merebut kemerdekaan. Semoga!. Sumber : Martin VB (Tarekat Naqsyabandiyyah di Indonesia dan Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar